Borges dan
Pikiran yang Mudah Dipengaruhi
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
|
JAWA
POS, 30 November 2014
MALAM
belum terlalu larut ketika dia datang dan suara anak-anak di jalanan masih
cukup riuh terdengar. Udara gerah di bulan yang mestinya sudah musim
penghujan. Guru sekolah pada masa kecil dulu mengatakan bahwa kita hidup di
negara dengan dua musim, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Musim
penghujan terjadi pada bulan-bulan Oktober–Maret dan musim kemarau
berlangsung pada April–September. Namun, malam itu, awal November, kami
seperti bercakap-cakap di mulut tungku dan hujan pertama belum turun pada
bulan kedua musim penghujan.
Tamu
saya seorang hipnotis. Kami sudah membuat janji untuk bertemu beberapa hari
sebelumnya. Dia mengatakan ingin berdiskusi dengan saya.
’’Hipnosis
bisa bekerja karena pada dasarnya pikiran manusia mudah dipengaruhi,’’
katanya ketika pembicaraan kami mulai memasuki topik serius, seolah-olah dia
menemukan rahasia besar yang belum pernah diungkapkan orang lain. Saya
mendengarkannya sungguh-sungguh. Dia melanjutkan:
’’Jika
kita menyampaikan kepada seseorang, ’Kau kelihatan cerah sekali, sedang
bahagia tampaknya’, maka dia pasti akan membenarkan pernyataan kita dan
mungkin menyampaikan pengalaman yang menyenangkan pada malam sebelumnya. Jika
kita mengatakan, ’Kusut sekali mukamu, sedang ada masalah?’ maka dia juga
akan membenarkan apa yang kita katakan sembari menyampaikan alasan kenapa dia
menjadi begitu.’’
Saya
diam, mengingat-ingat sesuatu, menguji pernyataannya dengan
pengalaman-pengalaman saya sendiri. Tampaknya, memang seperti itu.
Seseorang
pernah menyapa saya suatu hari dan menanyakan kenapa saya tampak awut-awutan.
Saya pun menjelaskan bahwa semalaman saya tidak tidur. Seseorang yang lain,
di waktu lain, mengatakan bahwa paras saya tampak lebih berseri-seri. Saya
pun seketika itu merasa senang dan meyakini bahwa paras saya memang
berseri-seri.
Selanjutnya,
ingatan meluncur ke hal-hal lain. Saya kira, pernyataannya tentang pikiran
yang pada dasarnya mudah dipengaruhi itu mungkin bisa menjelaskan kenapa dulu
saya ingin menulis seperti S.H. Mintardja setelah membaca buku cerita silat
Nagasasra dan Sabukinten. Atau, mencoba-coba menulis cerita detektif dengan
tokoh utama secerdas Sherlock Holmes ketika saya menyukai karakter fiksional
karangan Sir Arthur Conan Doyle itu. Atau, ingin menjadi seperti Abraham Lincoln
yang keras hati ketika saya membaca biografinya, termasuk kenapa saya ingin
menjadi seperti Rudy Hartono ketika saya selesai membaca biografi legenda
bulu tangkis kita itu.
Pada
masa remaja, ketika saya hampir tiap malam (kecuali hari hujan) bermain bulu
tangkis di lapangan kampung, saya selalu bermain sambil membayangkan diri
sebagai Rudy Hartono dan di dalam kepala saya berdengung suara reporter
televisi Sambas, orang yang sangat rajin mengajak kita berdoa setiap kali
pemain-pemain bulu tangkis kita bertanding –terutama jika pemain-pemain kita
sedang tertinggal oleh lawan. Gambaran yang muncul di dalam benak itu
sesungguhnya tidak berkaitan sama sekali dengan keterampilan saya yang nyaris
nihil dalam bermain bulu tangkis. Saya hanya terpengaruh riwayat hidup
seseorang yang telah menempuh jalannya sendiri untuk menjadi juara. Saya
mengaguminya, terpesona pada pengalaman-pengalamannya, dan kemudian
mengidentifikasi diri dengannya, setidaknya setiap kali saya beraksi di
lapangan bulu tangkis di kampung saya, menghadapi tetangga-tetangga sendiri
yang permainan bulu tangkisnya tidak lebih baik.
Buku
riwayat hidup paling akhir yang saya baca adalah biografi Jorge Luis Borges,
raksasa kesusastraan Argentina. Dari buku itu, saya memperoleh informasi
bahwa dia lebih banyak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan buku-buku.
Borges nyaris tidak pernah keluar rumah ketika kecil dan hanya mendekam
bersama adik perempuannya di perpustakaan milik ayahnya. Sampai dia berumur 9
tahun, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah karena alasan, ’’Nanti kau bisa
tertular berbagai penyakit yang diidap anak-anak yang suka berkeliaran di
jalanan.’’
Itu
alasan yang dibikin-bikin, untuk memudahkan komunikasi dengan kanak-kanak.
Alasan sesungguhnya sang ayah, si Borges tua, adalah karena dia terpukau pada
pemikiran-pemikiran anarkistis yang tidak mempercayai apa saja yang
diselenggarakan negara, termasuk urusan pendidikan umum. Dan, Pak Borges tua
mengambil alih semua urusan pendidikan anak-anaknya –dia sendiri yang
mendidik anak-anaknya di rumah. Mereka adalah keluarga yang akrab dengan
buku-buku dan perpustakaan. Borges kecil membaca Don Quixote mula-mula
melalui terjemahan bahasa Inggris. Ketika membaca versi aslinya dalam bahasa
Spanyol, dia menganggap versi Spanyol adalah terjemahan yang buruk dari buku
berbahasa Inggris yang pernah dibacanya.
Sebetulnya,
membaca kembali biografi Borges adalah kelanjutan saja kegiatan saya membaca
ulang cerpen-cerpennya beberapa waktu lalu. Saya sedang menulis cerpen saat
itu dan kemudian diserang perasaan jemu terhadap cerpen saya sendiri dan
kemudian saya merasa perlu membaca karangan orang lain. Saya pilih kumpulan
cerpen Jorge Luis Borges karena kebetulan buku itulah yang tampak di depan
mata begitu saya bergeser ke rak buku. Pada malam ketika saya membacanya,
saya merasa putus asa karena dia menulis terlalu bagus dan cerpen-cerpen yang
saya baca itu membuat cerpen yang saya tulis terasa sangat memalukan.
Sampai
sekarang, saya masih merasa sengsara. Bagaimana dia bisa menulis
cerita-cerita seperti itu?
Pertanyaan
itulah yang mendorong saya membaca lagi biografinya, yang pernah saya baca
bertahun-tahun lalu. Borges, Anda tahu, adalah satu di antara beberapa
sastrawan besar yang tidak memperoleh hadiah Nobel Sastra. Mengenai hal itu,
dia mengatakan, ’’Tidak memberi Hadiah Nobel kepada saya adalah tradisi orang
Skandinavia. Sejak saya lahir mereka tidak pernah memberi saya hadiah
Nobel.’’
Itu
kutipan yang lucu dan cerdas dan saya senang membaca kutipan itu. Borges
selalu memiliki cara berpikir yang melenceng menurut saya. Dia tidak tahan
menulis novel. Jika mempunyai ide yang lebih cocok untuk novel, dia memilih
menulis karangan berbentuk resensi, seolah-olah dia sedang mengulas buku yang
sudah terbit. Itu dia lakukan, antara lain, dalam cerpennya Pierre Menard,
Pengarang Don Quixote. Karangan tersebut merupakan ulasan ’’palsu’’ tentang
pengarang Prancis, yang tak pernah ada, yang berusaha menulis ulang novel Don
Quixote karangan Cervantes persis seperti aslinya.
Dari
membaca biografi tersebut, saya tahu (sesuatu yang tidak saya sadari pada
pembacaan pertama) bahwa inspirasi untuk menulis Pierre Menard
diadapatkandari Thomas Carlyle, penulis Skotlandia abad ke-19, yang menulis
Sartor Resartus (1836), sebuah novel tentang pemikiran dan kisah hidup tokoh
fiksional Herr Teufelsdrockh. Menurut pengamat, Thomas Carlyle mendapat
inspirasi dari tiga penulis sebelumnya, yakni Jonathan Swift (The Tale of A
Tub), Goethe (The Sorrows of Young Werther), dan Laurence Sterne (Tristram
Shandy).
Jonathan
Swift, Goethe, dan Sterne mendapat ilham untuk karya-karya mereka dari
orang-orang sebelum mereka, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kepada
tamu saya, yang sangat bergairah membicarakan hipnosis dan pikiran yang mudah
dipengaruhi, saya menimpali pernyataannya dengan sebuah truisme: Karena
pikiran mudah dipengaruhi, sebetulnya riwayat kreativitas umat manusia adalah
riwayat tentang orang-orang yang terilhami orang-orang dari generasi
sebelumnya.
’’Seperti
itulah,’’ katanya.
Dia
pulang agak larut dengan kulit tangan penuh bintik-bintik merah. Nyamuk di
teras rumah saya sungguh ganas. Namun, tampaknya, dia sendiri mengalami
trance ketika dengan penuh semangat membicarakan hipnosis dan lupa pada
nyamuk-nyamuk yang menyerbunya selama kami bercakap-cakap. Saya selamat
karena sudah melapisi kulit dengan lotion antinyamuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar