Jepang
Pasca 2014
Makmur Keliat ; Peneliti pada ASEAN Studies Center, FISIP UI
|
KOMPAS,
09 Desember 2014
PEMILU
Jepang segera dilaksanakan pada 14 Desember mendatang. Sebagian besar
pengamat di Jepang menyatakan, partai koalisi pimpinan Shinzo Abe akan
tetap memenangi pemilihan Majelis
Rendah (Diet) itu. Terlepas dari proyeksi optimistis tentang kepemimpinan nasional ini, kebijakan luar
negeri Jepang tampaknya akan terus mengalami pergeseran struktural, baik
dalam isu keamanan maupun ekonomi. Tulisan berikut berupaya
mengidentifikasikan beberapa pergeseran tersebut.
Reintepretasi Pasal 9
Dalam
isu keamanan, pergeseran yang paling tampak adalah pada operasionalisasi
Pasal 9 Konstitusi Jepang. Pemerintah Jepang baru-baru ini telah sepakat pada
prinsip berikut: penciptaan ruang interpretasi yang lebih besar terhadap
ketentuan Pasal 9. Tafsiran sebelumnya adalah bahwa penggunaan kekuatan ”pertahanan bela diri”
Jepang hanya terbatas pada situasi ketika terdapat serangan militer secara
langsung ke negeri itu. Reinterpretasi yang dilakukan kini telah memungkinkan
”kekuatan pertahanan bela diri” Jepang dapat digunakan untuk menghadapi
serangan militer terhadap suatu negara asing.
Dalam
hal ini ada tiga prasyarat yang diperlukan. Pertama, penggunaan ”kekuatan
pertahanan bela diri” itu dimungkinkan jika serangan militer itu ditujukan
kepada negara asing yang memiliki hubungan dekat dengan Jepang dan jika
serangan itu mengakibatkan adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup Jepang
dan memberikan bahaya yang jelas terhadap
hak-hak hidup, kebebasan, dan pencapaian kebahagiaan.
Kedua,
jika tidak terdapat alat-alat lainnya yang tersedia untuk menghilangkan
serangan militer tersebut dan untuk menjamin kelangsungan hidup Jepang dan
untuk melindungi rakyatnya. Ini berarti penggunaan ”kekuatan pertahanan bela
diri” itu sebagai sandaran terakhir ketika instrumen lainnya tidak dapat
digunakan.
Ketiga,
penggunaan ”kekuatan pertahanan bela diri” itu harus dibatasi seminimum
mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan.
Prinsip
umum untuk memberikan ruang interprestasi yang lebih luas dengan tiga
prasyarat itu kini tengah diterjemahkan secara lebih rinci melalui kerangka
hukum nasional. Namun, seluruh kekuatan politik di Jepang telah sepakat,
penggunaannya harus atas persetujuan parlemen.
Di
samping persetujuan parlemen, kompleksitas lainnya dalam penggunaan kekuatan
bela diri itu terkait persetujuan dari negara yang mengalami serangan militer
atau yang terkait dengan mekanisme multilateral di bawah payung PBB. Intinya,
penggunaan ”kekuatan pertahanan bela diri” Jepang telah mengalami pergeseran.
Jika sebelumnya memiliki watak ”individual” dan ”pasif-defensif”, yaitu
terbatas untuk wilayah nasional Jepang ketika mendapatkan serangan militer,
maka kini telah bergeser menjadi lebih berwatak kolektif dan ”aktif-defensif”
karena keamanan negara yang mendapat serangan militer dapat juga dipandang
menjadi bagian kepentingan keamanan Jepang.
Ada dua
sebab utama mengapa reinterpretasi Pasal 9 dilakukan. Pertama, terkait
dinamika di tingkat global. Terdapat pandangan strategis yang kian menguat di
Jepang bahwa ancaman militer di tataran global semakin bervariasi baik dari
sisi aktor pelaku maupun dari sebaran wilayahnya. Seluruh ancaman ini
dipersepsikan dapat membahayakan Jepang sebagai salah satu trading nation
utama di tingkat global.
Tidak
adanya sebutan negara dan wilayah tertentu dalam prinsip umum yang melandasi
reinterpretasi itu menyampaikan pesan yang sangat jelas. Dengan hanya
menyebut istilah ”negara asing” terdapat fleksibilitas dalam penggunaannya,
yaitu tidak hanya terbatas pada kawasan atau negara tertentu.
Kedua,
terkait kebangkitan Tiongkok sebagai aktor negara utama di tataran
internasional. Terdapat persepsi yang makin kuat di kalangan pembuat
kebijakan di Jepang bahwa terdapat kebutuhan untuk menyeimbangkan kebangkitan
Tiongkok. Tidak hanya karena Jepang bersengketa dengan Tiongkok terkait
kepemilikan Pulau Senkaku/Diaoyu di Laut Tiongkok Timur. Kepedulian strategis
ini juga didorong konflik teritorial di kawasan Laut Tiongkok Selatan sebagai
jalur lintas laut strategis bagi ekonomi nasional Jepang. Dalam hal ini
reinterpretasi Pasal 9 dapat dilihat sebagai tanggapan kebijakan strategis
Jepang menetralisasi kemungkinan tindakan militer secara unilateral Tiongkok
atas sengketa Kepulauan Spratly.
Kemitraan Trans-Pasifik
Kepedulian
strategis untuk menyeimbangkan diri dengan kebangkitan Tiongkok tidak hanya
tampak pada bidang keamanan. Pada bidang ekonomi, dorongan serupa juga kian
kuat. Jepang tampak menyambut baik dan mendukung kerangka kerja sama regional
Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Beranggotakan 12 negara tanpa keikutsertaan
Tiongkok di dalamnya telah
menyampaikan pesan bahwa TPP bentuk dukungan Jepang terhadap strategi
rebalancing Washington terhadap Beijing.
Ini
tidak berarti Jepang telah mengesampingkan ASEAN. Organisasi regional ini
tetap penting bagi Jepang. Jepang adalah negara mitra ASEAN, baik melalui
mekanisme ASEAN+1, ASEAN+3, dan juga melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif
ASEAN-Jepang. Jepang juga memberikan dukungan bagi gagasan ASEAN untuk
mewujudkan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), dengan Tiongkok
juga berada di dalamnya. Seluruh mekanisme kerja sama ini tentu saja
menunjukkan ASEAN secara ekonomi penting bagi Jepang.
Namun,
Jepang tidak sepakat terhadap upaya yang tengah dilakukan Tiongkok untuk
membangun institusi keuangan baru di Asia. Jepang, misalnya, tidak memberikan
tanggapan positif terhadap pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank
(AIIB) yang baru-baru ini disetujui Indonesia. Setidaknya terdapat dua
keberatan terhadap inisiatif Tiongkok ini. Pertama, terkait hal-hal teknis,
yaitu prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
institusi itu nantinya. Jepang merasa Tiongkok tidak memiliki tradisi yang
kuat untuk melembagakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
mengelola institusi keuangan.
Keberatan
kedua terkait ”itikad hegemonik” dari Tiongkok. Dengan memberikan kontribusi
pendanaan awal sebesar 50 persen, Jepang mencemaskan bahwa Tiongkok bermaksud
mendikte mekanisme, aturan, dan prosedur dari institusi keuangan tersebut.
Karena
itu, ada skenario bahwa Jepang bersama AS akan menggunakan TPP secara
maksimal sebagai instrumen untuk membendung kemungkinan ”itikad hegemonik”
Tiongkok itu.
Konsekuensi strategis
Ada dua
konsekuensi strategis dari pergeseran struktural ini. Pertama, dalam bidang
keamanan, Indonesia tidak perlu terlalu mencemaskan stabilitas kawasan, khususnya
menyangkut Laut Tiongkok Selatan. Reinterpretasi Pasal 9 yang telah
disepakati Pemerintah Jepang akan memberikan manfaat positif setidaknya
berupa efek penggentar terhadap kemungkinan sikap unilateral Tiongkok di
dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.
Namun,
dalam isu ekonomi, situasinya mungkin sedikit berbeda. Indonesia harus tidak terjebak
dalam strategi rebalancing AS dan Jepang vis-À-vis Tiongkok. Hal ini
disebabkan tak hanya Indonesia tidak mendukung kerja sama TPP yang didukung
Jepang dan AS, tetapi juga menyepakati inisiatif Tiongkok untuk mewujudkan
AIIB. Untuk itu terdapat kebutuhan bagi Indonesia untuk memberikan argumen
yang jelas dan logis berdasarkan kepentingan nasionalnya mengapa sikap
demikian diambil. Misalnya dengan
menyatakan tiga hal substansial berikut.
Pertama, Indonesia memiliki kebutuhan mendesak untuk segera mempercepat
pembangunan infrastrukturnya. Infrastruktur yang baik juga akan memberikan
dampak positif bagi para investor Jepang yang sejak lama telah berbisnis di
Indonesia. Kedua, dengan menyatakan AIIB adalah komplementer terhadap Bank
Pembangunan Asia (ADB), dengan Jepang sebagai salah satu negara penyandang
dana utamanya. Indonesia tidak melihat dua institusi ini dalam pendekatan
yang saling meniadakan, tetapi saling melengkapi. Ketiga, dengan menyatakan
bahwa agenda liberalisasi tanpa agenda perbaikan infrastruktur adalah agenda
yang melumpuhkan daya saing ekonomi negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar