Mengikis
Demokrasi Elitis
Munafrizal Manan ; Alumnus University of Melbourne, Australia;
Universiteit Utrecht, Belanda
|
KOMPAS,
08 Desember 2014
MESKIPUN telah jatuh-bangun menerapkan demokrasi konstitusional
sejak berdirinya republik ini, demokrasi konstitusional kita masih belum
beranjak jauh dari corak elitis. Lebih dari setengah abad lampau, Herbert
Feith—Indonesianis terkemuka asal Australia—telah berargumen: keberlanjutan
atau kemunduran sistem demokrasi konstitusional Indonesia ditentukan oleh
ikatan personal antara elite politik dan kemampuan menjembatani konflik
kepentingan dan ideologis antarmereka. Tesis ini kesimpulan studi doktoral
Feith di Universitas Cornell, AS, dibukukan dengan judul The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia.
Feith mencatat, dari 1949 hingga 1957, Indonesia menerapkan
demokrasi konstitusional relatif sukses. Namun, praktik demokrasi
konstitusional bergerak mundur akibat konflik kepentingan politik dan
ideologis yang sulit didamaikan.
Kendati konteks tesis Feith membahas demokrasi konstitusional
era 1950-an, substansinya masih relevan menyoroti demokrasi konstitusional
sekarang. Itu karena peran elite politik tetap dominan dan menentukan
jalannya demokrasi konstitusional. Dinamika politik yang menyeruak ke
permukaan akhir-akhir ini memperjelas peran sentral elite politik.
Elite masih jadi penentu
Pro-kontra mekanisme pemilihan kepala daerah membuktikan
besarnya peran elite politik dalam menentukan desain dan redesain demokrasi
konstitusional. Melalui voting pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala
Daerah, Koalisi Merah Putih (KMP) bersepakat mengembalikan pemilihan kepala
daerah kepada anggota DPRD. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menentang
pengesahan UU ini. Setelah mendapat tekanan opini publik, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) untuk membatalkan klausul tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Ini menunjukkan, maju-mundurnya demokrasi konstitusional diputuskan elite
politik.
Ketegangan politik antara elite KMP dan KIH adalah bukti lain
mengafirmasi kebenaran tesis Feith. Selama ketegangan politik berlangsung,
DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat kerja dengan para menteri karena masih
dirundung kemelut kontroversi legalitas alat kelengkapan DPR. DPR juga tidak
menghadiri sidang pengujian UU di Mahkamah Konstitusi untuk memberi
keterangan resmi. Demokrasi konstitusional terancam macet.
Ketegangan politik antara KMP dan KIH sejenak mereda setelah
keduanya berhasil berkompromi mencapai ”kesepakatan damai”. Ada secercah
harapan instabilitas politik lebih buruk di parlemen dapat dihindari dan
elite politik segera menunaikan fungsi konstitusionalnya meski belakangan jalan
ke arah perdamaian itu masih tampak terjal.
Namun, ketegangan politik lanjutan masih berpotensi mengintai.
Presiden Joko Widodo melarang para menteri memenuhi undangan rapat dari DPR
sebelum konflik antara KMP dan KIH tuntas. Di lain pihak, sejumlah anggota
DPR dari KMP mewacanakan pengajuan interpelasi kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM). Ini mengisyaratkan praktik demokrasi konstitusional ke depan
akan terus diwarnai ketegangan politik dan ancaman kemacetan. Sekali lagi,
masa depan demokrasi konstitusional bergantung pada perilaku dan kehendak
elite politik.
Potret di atas memperjelas betapa sentral peran elite politik
dalam demokrasi konstitusional kita. Keberhasilan atau kegagalan elite
politik merajut kesepakatan politik di antara mereka memengaruhi masa depan
demokrasi konstitusional. Itu berarti fondasi bangunan demokrasi
konstitusional kita sebetulnya tak begitu kokoh karena sangat bergantung
kepada elite politik. Elite politiklah yang secara eksklusif berwenang
menentukan keberlanjutan atau kemunduran demokrasi konstitusional. Mereka
berkuasa mendesain ulang format demokrasi konstitusional kapan pun
dikehendaki, baik melalui perubahan konstitusi maupun UU.
Rakyat yang terpinggirkan
Konsekuensi dari demokrasi konstitusional elitis adalah terpinggirnya
peran rakyat. Meski kedaulatan rakyat dan hak konstitusional diakui
konstitusi, peran rakyat memutuskan dan mengontrol secara langsung soal-soal
penting ketatanegaraan tak diakomodasi di dalam konstitusi. Peran rakyat
masih sebatas pemberi legitimasi politik kontestasi elektoral elite politik.
Setelah itu, demokrasi konstitusional urusan elite politik yang terpilih.
Beberapa negara yang relatif maju demokrasi konstitusionalnya
telah mulai mengikis karakter elitis demokrasi konstitusional. Peran dominan
elite politik disusutkan dengan cara melibatkan peran rakyat dalam soal-soal
penting ketatanegaraan. Ini dijamin secara eksplisit dalam konstitusi atau
UU. Di negara-negara demokrasi konstitusional populis, pelibatan peran rakyat
difasilitasi melalui dua mekanisme: referendum dan recall oleh konstituen.
Desain dan praktik demokrasi konstitusional Indonesia belum menyediakan kedua
fasilitas konstitusional ini.
Melalui referendum rakyat dilibatkan memutuskan beragam soal ketatanegaraan strategis yang
berkaitan dengan kepentingan mereka. Sejumlah negara menggunakan referendum
untuk meminta persetujuan rakyat atas amandemen konstitusi. Spanyol dan
Afrika Selatan, misalnya, menggelar referendum konstitusi dalam proses
reformasi konstitusinya. Negara-negara di Eropa harus menyelenggarakan
referendum terlebih dahulu sebelum memutuskan pemberlakuan Konstitusi Uni
Eropa dan zona mata uang tunggal euro. Australia akan menggelar referendum
konstitusi untuk mengakui hak masyarakat asli di dalam konstitusi. Inggris
bahkan melangkah lebih jauh, menyetujui referendum untuk mencapai solusi
final atas kemelut status integrasi Skotlandia dalam monarki konstitusional
Inggris Raya.
Negara-negara demokrasi konstitusional populis juga menyediakan
fasilitas recall bagi konstituen untuk memberikan sanksi kepada elite politik
yang telah dipilih lewat pemilihan umum. Dengan fasilitas recall ini, elite
politik yang mencederai janji kampanye, terlibat dalam kejahatan, atau
berkinerja buruk dapat diberhentikan dari jabatannya langsung oleh rakyat
tanpa menunggu pemilu berikutnya.
Korea Selatan, misalnya, mengadopsi fasilitas ini, dinamai the
residents’ recall system. Jongcheol Kim (2009: 111- 112) menjelaskan, di
Korea Selatan, pengaturan tentang hak recall atas pejabat publik oleh
konstituen tidak diatur konstitusi, tetapi oleh UU (the Residents’ Recall
Act). UU ini memberi hak politik kepada konstituen mengajukan petisi recall
terhadap pejabat publik dengan cara menggalang tanda tangan penduduk. The
Residents’s Recall Act sebagai terobosan memberikan konstituen ruang
partisipasi lebih luas dalam demokrasi konstitusional. Fasilitas
konstitusional recall ini juga diterapkan di Uganda, bahkan eksplisit dijamin
pada Pasal 84 Konstitusi Republik Uganda (Vinod Bhanu, 2007).
Idealnya demokrasi konstitusional pengejewantahan kehendak dan
kepentingan rakyat. Namun, tak jarang justru jadi tunggangan egoisme dan
kepentingan elite politik sehingga demokrasi konstitusional jadi elitis.
Konflik politik dan tarik-menarik kepentingan di kalangan elite dapat
menyeret demokrasi konstitusional disesuaikan dengan tawar-menawar
kepentingan mereka. Maka, jika ingin mengikis dominasi elite politik, perlu
ikhtiar kolektif mendorong demokrasi konstitusional menjadi populis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar