Rabu, 10 Desember 2014

Mengikis Demokrasi Elitis

                                        Mengikis Demokrasi Elitis

Munafrizal Manan  ;   Alumnus University of Melbourne, Australia;
Universiteit Utrecht, Belanda
KOMPAS,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


MESKIPUN telah jatuh-bangun menerapkan demokrasi konstitusional sejak berdirinya republik ini, demokrasi konstitusional kita masih belum beranjak jauh dari corak elitis. Lebih dari setengah abad lampau, Herbert Feith—Indonesianis terkemuka asal Australia—telah berargumen: keberlanjutan atau kemunduran sistem demokrasi konstitusional Indonesia ditentukan oleh ikatan personal antara elite politik dan kemampuan menjembatani konflik kepentingan dan ideologis antarmereka. Tesis ini kesimpulan studi doktoral Feith di Universitas Cornell, AS, dibukukan dengan judul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Feith mencatat, dari 1949 hingga 1957, Indonesia menerapkan demokrasi konstitusional relatif sukses. Namun, praktik demokrasi konstitusional bergerak mundur akibat konflik kepentingan politik dan ideologis yang sulit didamaikan.

Kendati konteks tesis Feith membahas demokrasi konstitusional era 1950-an, substansinya masih relevan menyoroti demokrasi konstitusional sekarang. Itu karena peran elite politik tetap dominan dan menentukan jalannya demokrasi konstitusional. Dinamika politik yang menyeruak ke permukaan akhir-akhir ini memperjelas peran sentral elite politik.

Elite masih jadi penentu

Pro-kontra mekanisme pemilihan kepala daerah membuktikan besarnya peran elite politik dalam menentukan desain dan redesain demokrasi konstitusional. Melalui voting pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Koalisi Merah Putih (KMP) bersepakat mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada anggota DPRD. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menentang pengesahan UU ini. Setelah mendapat tekanan opini publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan klausul tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ini menunjukkan, maju-mundurnya demokrasi konstitusional diputuskan elite politik.

Ketegangan politik antara elite KMP dan KIH adalah bukti lain mengafirmasi kebenaran tesis Feith. Selama ketegangan politik berlangsung, DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat kerja dengan para menteri karena masih dirundung kemelut kontroversi legalitas alat kelengkapan DPR. DPR juga tidak menghadiri sidang pengujian UU di Mahkamah Konstitusi untuk memberi keterangan resmi. Demokrasi konstitusional terancam macet.

Ketegangan politik antara KMP dan KIH sejenak mereda setelah keduanya berhasil berkompromi mencapai ”kesepakatan damai”. Ada secercah harapan instabilitas politik lebih buruk di parlemen dapat dihindari dan elite politik segera menunaikan fungsi konstitusionalnya meski belakangan jalan ke arah perdamaian itu masih tampak terjal.

Namun, ketegangan politik lanjutan masih berpotensi mengintai. Presiden Joko Widodo melarang para menteri memenuhi undangan rapat dari DPR sebelum konflik antara KMP dan KIH tuntas. Di lain pihak, sejumlah anggota DPR dari KMP mewacanakan pengajuan interpelasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini mengisyaratkan praktik demokrasi konstitusional ke depan akan terus diwarnai ketegangan politik dan ancaman kemacetan. Sekali lagi, masa depan demokrasi konstitusional bergantung pada perilaku dan kehendak elite politik.

Potret di atas memperjelas betapa sentral peran elite politik dalam demokrasi konstitusional kita. Keberhasilan atau kegagalan elite politik merajut kesepakatan politik di antara mereka memengaruhi masa depan demokrasi konstitusional. Itu berarti fondasi bangunan demokrasi konstitusional kita sebetulnya tak begitu kokoh karena sangat bergantung kepada elite politik. Elite politiklah yang secara eksklusif berwenang menentukan keberlanjutan atau kemunduran demokrasi konstitusional. Mereka berkuasa mendesain ulang format demokrasi konstitusional kapan pun dikehendaki, baik melalui perubahan konstitusi maupun UU.

Rakyat yang terpinggirkan

Konsekuensi dari demokrasi konstitusional elitis adalah terpinggirnya peran rakyat. Meski kedaulatan rakyat dan hak konstitusional diakui konstitusi, peran rakyat memutuskan dan mengontrol secara langsung soal-soal penting ketatanegaraan tak diakomodasi di dalam konstitusi. Peran rakyat masih sebatas pemberi legitimasi politik kontestasi elektoral elite politik. Setelah itu, demokrasi konstitusional urusan elite politik yang terpilih.

Beberapa negara yang relatif maju demokrasi konstitusionalnya telah mulai mengikis karakter elitis demokrasi konstitusional. Peran dominan elite politik disusutkan dengan cara melibatkan peran rakyat dalam soal-soal penting ketatanegaraan. Ini dijamin secara eksplisit dalam konstitusi atau UU. Di negara-negara demokrasi konstitusional populis, pelibatan peran rakyat difasilitasi melalui dua mekanisme: referendum dan recall oleh konstituen. Desain dan praktik demokrasi konstitusional Indonesia belum menyediakan kedua fasilitas konstitusional ini.

Melalui referendum rakyat dilibatkan memutuskan  beragam soal ketatanegaraan strategis yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Sejumlah negara menggunakan referendum untuk meminta persetujuan rakyat atas amandemen konstitusi. Spanyol dan Afrika Selatan, misalnya, menggelar referendum konstitusi dalam proses reformasi konstitusinya. Negara-negara di Eropa harus menyelenggarakan referendum terlebih dahulu sebelum memutuskan pemberlakuan Konstitusi Uni Eropa dan zona mata uang tunggal euro. Australia akan menggelar referendum konstitusi untuk mengakui hak masyarakat asli di dalam konstitusi. Inggris bahkan melangkah lebih jauh, menyetujui referendum untuk mencapai solusi final atas kemelut status integrasi Skotlandia dalam monarki konstitusional Inggris Raya.

Negara-negara demokrasi konstitusional populis juga menyediakan fasilitas recall bagi konstituen untuk memberikan sanksi kepada elite politik yang telah dipilih lewat pemilihan umum. Dengan fasilitas recall ini, elite politik yang mencederai janji kampanye, terlibat dalam kejahatan, atau berkinerja buruk dapat diberhentikan dari jabatannya langsung oleh rakyat tanpa menunggu pemilu berikutnya.

Korea Selatan, misalnya, mengadopsi fasilitas ini, dinamai the residents’ recall system. Jongcheol Kim (2009: 111- 112) menjelaskan, di Korea Selatan, pengaturan tentang hak recall atas pejabat publik oleh konstituen tidak diatur konstitusi, tetapi oleh UU (the Residents’ Recall Act). UU ini memberi hak politik kepada konstituen mengajukan petisi recall terhadap pejabat publik dengan cara menggalang tanda tangan penduduk. The Residents’s Recall Act sebagai terobosan memberikan konstituen ruang partisipasi lebih luas dalam demokrasi konstitusional. Fasilitas konstitusional recall ini juga diterapkan di Uganda, bahkan eksplisit dijamin pada Pasal 84 Konstitusi Republik Uganda (Vinod Bhanu, 2007).

Idealnya demokrasi konstitusional pengejewantahan kehendak dan kepentingan rakyat. Namun, tak jarang justru jadi tunggangan egoisme dan kepentingan elite politik sehingga demokrasi konstitusional jadi elitis. Konflik politik dan tarik-menarik kepentingan di kalangan elite dapat menyeret demokrasi konstitusional disesuaikan dengan tawar-menawar kepentingan mereka. Maka, jika ingin mengikis dominasi elite politik, perlu ikhtiar kolektif mendorong demokrasi konstitusional menjadi populis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar