Rabu, 10 Desember 2014

Mencari Berkah Pelemahan Rupiah

                          Mencari Berkah Pelemahan Rupiah

A Prasetyantoko  ;   Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


MINGGU lalu, nilai tukar ditutup Rp 12.299 per dollar Amerika Serikat, sedikit menguat dari hari sebelumnya yang menembus Rp 12.300. Rupiah berada pada titik terendah sejak November 2008 yang pernah menyentuh Rp 12.400-an. Dibandingkan dengan Mei 2013, sebelum pengumuman pengurangan stimulus di AS, rupiah telah terdepresiasi lebih dari 26 persen.

Adakah berkah di balik pelemahan rupiah dan bagaimana memanfaatkannya?

Rupiah mengalami posisi terkuat pada tahun 2011, yaitu Rp 8.400-an. Saat itu, pertumbuhan ekonomi mencapai puncak, yakni 6,5 persen. Neraca perdagangan konsisten surplus dalam jumlah cukup besar, tertinggi pada Agustus 2011 senilai 3,5 miliar dollar AS. Itulah masa kejayaan ekonomi kita selama 10 tahun terakhir.

Memasuki triwulan II-2012, neraca perdagangan mulai defisit dan berlanjut hingga hari ini. Pertumbuhan ekonomi juga terus terkoreksi. Tahun ini kita akan memiliki pertumbuhan ekonomi terburuk sejak 5 tahun terakhir. Di tengah suramnya data ekonomi, indeks pasar modal kita terus mendaki mencetak rekor demi rekor tertingginya, hingga berada pada level 5.200-an akibat derasnya modal asing masuk. Pada 2008, IHSG masih pada kisaran 2.500.

Jika disimpulkan, perekonomian domestik merosot, tetapi ketergantungan kita pada likuiditas dan modal asing justru meningkat. Pelemahan nilai tukar berarti, untuk setiap likuiditas asing yang masuk, kita harus ”membayar” lebih mahal. Nilai dan daya tawar perekonomian domestik kian merosot terhadap negara lain.

Akhir-akhir ini pelemahan rupiah terjadi secara intensif. Alasannya bukan karena inflasi November tinggi, sebesar 1,5 persen, sehingga mendorong inflasi tahunan menjadi 6,3 persen setelah kenaikan harga premium dan solar sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan dampak kenaikan harga BBM sebelumnya, kali ini relatif ringan.

Bandingkan dengan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang telah mendorong inflasi 17 persen. Kenaikan harga BBM 33 persen pada 2008 mendorong inflasi tahunan menjadi 11 persen. Kenaikan harga BBM 44 persen tahun lalu mendorong inflasi menjadi 8,3 persen.

Nilai tukar merosot lebih disebabkan data neraca perdagangan Oktober yang hanya surplus 23,2 juta dollar AS. Padahal, ekspektasinya, surplus perdagangan bisa jauh lebih besar setelah kenaikan harga BBM. Seperlima total impor kita berupa produk minyak. Produk minyak dan gas menguasai hampir 45 persen impor bahan baku. Padahal, impor bahan baku merupakan 75 persen total impor. Kenaikan harga BBM tak serta-merta menurunkan impor minyak.

Pada prinsipnya, rupiah bereaksi negatif karena relaksasi defisit transaksi berjalan belum terjadi. Defisit transaksi berjalan merupakan salah satu pekerjaan rumah paling penting bagi pemerintah dalam enam bulan ke depan. Jika tak ada tanda-tanda perbaikan, bisa dipastikan nilai tukar tak kunjung menguat. Bahkan, pelemahan bisa berlanjut terkait dengan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sekitar triwulan II-2015.

Langkah strategis harus segera dilakukan, dengan memanfaatkan pelemahan rupiah untuk mendorong ekspor nonmigas kita. Sudah dua tahun terakhir, nilai ekspor berkisar 14 miliar hingga 15 miliar dollar AS. Padahal, pada 2011, ekspor pernah mencapai 18 miliar dollar AS. Namun, ada ”berkah terselubung” karena sejak dua tahun terakhir nilai ekspor produk manufaktur terus meningkat. Tahun ini, rata-rata ekspor produk manufaktur 9 miliar-10 miliar dollar AS. Adapun ekspor produk tambang terus menurun menjadi 3 miliar-4 miliar dollar AS.

Gejolak telah mengembalikan peran sektor industri manufaktur pada posisi yang seharusnya. Tanpa membuang kesempatan, pemerintah harus segera merespons situasi ini dengan mengembangkan sektor manufaktur lebih sistematis.

Salah satu kelemahan penting industri manufaktur kita adalah asupan bahan baku impor terlalu tinggi. Salah satu langkah strategis yang harus segera diambil adalah membangun industri penghasil bahan baku di pasar domestik. Biasanya pasar tak tertarik sehingga pemerintah harus turun tangan, baik lewat mekanisme regulasi maupun alokasi anggaran.

Selain produk manufaktur, produk pertanian juga perlu didorong. Komoditas pertanian memiliki kelebihan tak perlu bahan baku impor. Sebut saja komoditas teh yang justru nilai ekspornya menurun dari sekitar 13 juta dollar AS pada 2010 menjadi sekitar 9 juta dollar AS pada akhir 2014. Ekspor cokelat dan rempah juga cenderung menurun. Demikian pula dengan produk laut seperti udang.

Semestinya komoditas pertanian dan kelautan akan menjadi salah satu keunggulan ekspor kita ke depan. Ekspor produk pertanian dan perikanan memang tak sebanding besarnya dengan ekspor produk manufaktur. Namun, dengan diversifikasi dan peningkatan kapasitas produksi, akan mampu mengungkit produk ekspor kita. Selain memitigasi neraca transaksi berjalan agar mengecil hingga kisaran 2,5 persen terhadap perekonomian (PDB), membangun sektor manufaktur dan pertanian akan memberikan efek pengganda di dalam negeri.

Penurunan kualitas pertumbuhan selama ini salah satu penyebab utamanya adalah peran sektor manufaktur, pertanian, dan perikanan yang justru mengecil. Rupanya ada korelasi kuat antara memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui basis produksi yang kokoh dan daya saing ekspor serta kesehatan neraca transaksi berjalan.

Tak selamanya pelemahan rupiah menjadi kutukan. Namun, perlu sikap proaktif untuk menindaklanjutinya. Sekadar mensyukuri tak pernah cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar