Mencari
Berkah Pelemahan Rupiah
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
08 Desember 2014
MINGGU lalu, nilai tukar ditutup Rp 12.299 per dollar Amerika
Serikat, sedikit menguat dari hari sebelumnya yang menembus Rp 12.300. Rupiah
berada pada titik terendah sejak November 2008 yang pernah menyentuh Rp
12.400-an. Dibandingkan dengan Mei 2013, sebelum pengumuman pengurangan
stimulus di AS, rupiah telah terdepresiasi lebih dari 26 persen.
Adakah berkah di balik pelemahan rupiah dan bagaimana
memanfaatkannya?
Rupiah mengalami posisi terkuat pada tahun 2011, yaitu Rp
8.400-an. Saat itu, pertumbuhan ekonomi mencapai puncak, yakni 6,5 persen.
Neraca perdagangan konsisten surplus dalam jumlah cukup besar, tertinggi pada
Agustus 2011 senilai 3,5 miliar dollar AS. Itulah masa kejayaan ekonomi kita
selama 10 tahun terakhir.
Memasuki triwulan II-2012, neraca perdagangan mulai defisit dan
berlanjut hingga hari ini. Pertumbuhan ekonomi juga terus terkoreksi. Tahun
ini kita akan memiliki pertumbuhan ekonomi terburuk sejak 5 tahun terakhir.
Di tengah suramnya data ekonomi, indeks pasar modal kita terus mendaki
mencetak rekor demi rekor tertingginya, hingga berada pada level 5.200-an
akibat derasnya modal asing masuk. Pada 2008, IHSG masih pada kisaran 2.500.
Jika disimpulkan, perekonomian domestik merosot, tetapi
ketergantungan kita pada likuiditas dan modal asing justru meningkat.
Pelemahan nilai tukar berarti, untuk setiap likuiditas asing yang masuk, kita
harus ”membayar” lebih mahal. Nilai dan daya tawar perekonomian domestik kian
merosot terhadap negara lain.
Akhir-akhir ini pelemahan rupiah terjadi secara intensif.
Alasannya bukan karena inflasi November tinggi, sebesar 1,5 persen, sehingga
mendorong inflasi tahunan menjadi 6,3 persen setelah kenaikan harga premium
dan solar sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan dampak kenaikan harga BBM
sebelumnya, kali ini relatif ringan.
Bandingkan dengan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang telah
mendorong inflasi 17 persen. Kenaikan harga BBM 33 persen pada 2008 mendorong
inflasi tahunan menjadi 11 persen. Kenaikan harga BBM 44 persen tahun lalu
mendorong inflasi menjadi 8,3 persen.
Nilai tukar merosot lebih disebabkan data neraca perdagangan
Oktober yang hanya surplus 23,2 juta dollar AS. Padahal, ekspektasinya,
surplus perdagangan bisa jauh lebih besar setelah kenaikan harga BBM.
Seperlima total impor kita berupa produk minyak. Produk minyak dan gas
menguasai hampir 45 persen impor bahan baku. Padahal, impor bahan baku
merupakan 75 persen total impor. Kenaikan harga BBM tak serta-merta
menurunkan impor minyak.
Pada prinsipnya, rupiah bereaksi negatif karena relaksasi
defisit transaksi berjalan belum terjadi. Defisit transaksi berjalan
merupakan salah satu pekerjaan rumah paling penting bagi pemerintah dalam
enam bulan ke depan. Jika tak ada tanda-tanda perbaikan, bisa dipastikan
nilai tukar tak kunjung menguat. Bahkan, pelemahan bisa berlanjut terkait
dengan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sekitar triwulan II-2015.
Langkah strategis harus segera dilakukan, dengan memanfaatkan
pelemahan rupiah untuk mendorong ekspor nonmigas kita. Sudah dua tahun
terakhir, nilai ekspor berkisar 14 miliar hingga 15 miliar dollar AS.
Padahal, pada 2011, ekspor pernah mencapai 18 miliar dollar AS. Namun, ada
”berkah terselubung” karena sejak dua tahun terakhir nilai ekspor produk
manufaktur terus meningkat. Tahun ini, rata-rata ekspor produk manufaktur 9
miliar-10 miliar dollar AS. Adapun ekspor produk tambang terus menurun
menjadi 3 miliar-4 miliar dollar AS.
Gejolak telah mengembalikan peran sektor industri manufaktur
pada posisi yang seharusnya. Tanpa membuang kesempatan, pemerintah harus
segera merespons situasi ini dengan mengembangkan sektor manufaktur lebih
sistematis.
Salah satu kelemahan penting industri manufaktur kita adalah
asupan bahan baku impor terlalu tinggi. Salah satu langkah strategis yang
harus segera diambil adalah membangun industri penghasil bahan baku di pasar
domestik. Biasanya pasar tak tertarik sehingga pemerintah harus turun tangan,
baik lewat mekanisme regulasi maupun alokasi anggaran.
Selain produk manufaktur, produk pertanian juga perlu didorong.
Komoditas pertanian memiliki kelebihan tak perlu bahan baku impor. Sebut saja
komoditas teh yang justru nilai ekspornya menurun dari sekitar 13 juta dollar
AS pada 2010 menjadi sekitar 9 juta dollar AS pada akhir 2014. Ekspor cokelat
dan rempah juga cenderung menurun. Demikian pula dengan produk laut seperti udang.
Semestinya komoditas pertanian dan kelautan akan menjadi salah
satu keunggulan ekspor kita ke depan. Ekspor produk pertanian dan perikanan
memang tak sebanding besarnya dengan ekspor produk manufaktur. Namun, dengan
diversifikasi dan peningkatan kapasitas produksi, akan mampu mengungkit
produk ekspor kita. Selain memitigasi neraca transaksi berjalan agar mengecil
hingga kisaran 2,5 persen terhadap perekonomian (PDB), membangun sektor
manufaktur dan pertanian akan memberikan efek pengganda di dalam negeri.
Penurunan kualitas pertumbuhan selama ini salah satu penyebab
utamanya adalah peran sektor manufaktur, pertanian, dan perikanan yang justru
mengecil. Rupanya ada korelasi kuat antara memperbaiki kualitas pertumbuhan
melalui basis produksi yang kokoh dan daya saing ekspor serta kesehatan
neraca transaksi berjalan.
Tak selamanya pelemahan rupiah menjadi kutukan. Namun, perlu
sikap proaktif untuk menindaklanjutinya. Sekadar mensyukuri tak pernah cukup.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar