Menghapus
Kartu Tenaga Kerja TKI
Moh Jumhur Hidayat ; Pegiat Masalah Perburuhan; Mantan Kepala
BNP2TKI
|
KOMPAS,
10 Desember 2014
PADA 30
November lalu, Presiden Joko Widodo melakukan e-blusukan, berdialog dengan
para TKI yang tersebar di delapan negara. Hasil dari e-blusukan itu, Presiden
menyetujui dihapuskannya kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) bagi para
TKI. Persetujuan ini pada hemat penulis bisa dilakukan tanpa harus mengurangi
peran negara dalam proses migrasi yang aman, khususnya dari jerat perdagangan
atau penyelundupan orang.
Cerita
berikut sudah umum terjadi. Maimunah (16), berasal dari satu desa miskin
berjarak 170 kilometer dari Jakarta, diiming-imingi bekerja di Timur Tengah
dengan gaji besar dan tak usah repot mengurus dokumen TKI. Dengan alasan
hendak berwisata ke luar negeri, Maimunah mendatangi kantor imigrasi. Petugas
imigrasi tak kuasa menolak WNI yang ingin memiliki paspor karena itu hak
setiap warga negara. Setelah memiliki paspor, Maimunah mendapat visa kerja
dari salah satu negara di Timteng dan berangkat tanpa hambatan di pintu
imigrasi karena semua persyaratan sudah terpenuhi, yaitu memiliki paspor,
visa, dan tiket.
Sesampainya
di negara tujuan, Maimunah bekerja di suatu rumah tangga dan sama sekali tak
dapat imbalan gaji, bahkan sering dapat siksaan fisik. Keadaan itu
berlangsung lebih dari lima tahun, sementara hubungan dengan orang di luar
rumah, termasuk keluarga di Tanah Air, terputus. Nasib baik diperoleh ketika
ia berhasil kabur dan bertemu sopir taksi baik hati yang mengantarkannya ke
KBRI.
Puluhan
ribu gadis atau perempuan lugu mengalami nasib seperti Maimunah, bahkan
menjadi korban perbudakan dan prostitusi. Saat ini diperkirakan ada puluhan
ribu orang seperti Maimunah di Suriah, puluhan ribu orang di Jordania,
ratusan ribu orang di Arab Saudi, ratusan ribu orang di Malaysia serta di
negara-negara lain, bahkan sampai Mesir dan Sudan di Afrika. Mereka korban
perdagangan orang (human trafficking).
Selain
itu, ada juga puluhan ribu TKI laki-laki bekerja di kapal asing penangkap
ikan di perairan bebas dengan kondisi kerja sangat buruk dan upah kurang dari
Rp 2 juta per bulan. Juga ada ratusan ribu TKI laki-laki yang bekerja di
perkebunan-perkebunan Malaysia dengan kondisi kerja buruk dan upah rendah.
Banyak
negara di Timteng dan Malaysia begitu mudah mengeluarkan visa kerja. Inilah
sumber dari perdagangan manusia antarnegara yang dimanfaatkan para pedagang
orang, di negara asal ataupun negara penerimanya.
Migrasi yang aman
Cerita
di atas menunjukkan bahwa negara tidak hadir dalam proses migrasi yang aman
bagi warga negaranya sehingga mereka menjadi korban perdagangan/penyelundupan
manusia. Mengetahui hal itu, dua hari sebelum Presiden Megawati Soekarnoputri
mengakhiri masa jabatannya pada 18 Oktober 2004, ditandatanganilah
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja di Luar Negeri, dengan Pasal 62,
Pasal 63, dan Pasal 64 mengatur keharusan TKI memiliki KTKLN. Namun, akibat
dualisme berkepanjangan antara Kemenakertrans dan Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), secara efektif KTKLN baru
diimplementasikan awal 2011.
Cerita
tragis seperti Maimunah berkurang secara drastis ketika kebijakan KTKLN
diterapkan. Menurut data kedatangan TKI di Bandara Soekarno-Hatta di BNP2TKI
, jumlah TKI bermasalah yang dipulangkan berkurang drastis dari 60.399 orang
(2010) menjadi 44.432 orang (2011), 31.528 orang (2012), dan 19.743 orang
(2013).
Hingga
kini, calon TKI yang dalam paspornya sudah ada visa kerja wajib memiliki
KTKLN sebagai bukti negara mengetahui bahwa mereka akan bekerja di
tempat layak, upah memadai, dan
terlindungi. KTKLN menjadi syarat karena sebelum calon TKI memperoleh KTKLN,
ia harus memenuhi beberapa persyaratan lain sesuai perintah UU agar terjadi
proses migrasi yang aman.
Persyaratan
itu adalah job order (permintaan
tenaga kerja) yang dilegalisasi perwakilan RI, izin perekrutan yang
disahkan/dimandatkan Menakertrans, pengantar perekrutan yang disahkan dinas
tenaga kerja (disnaker) provinsi, wawancara intensif oleh pejabat disnaker
kabupaten/kota (sekaligus menyaksikan perjanjian penempatan antara
PPTKIS—dulu PJTKI—dengan calon TKI). Selain itu, juga mendapat surat
keterangan catatan kepolisian, lulus tes kesehatan, mengikuti pelatihan
intensif di BLKLN, lulus uji kompetensi, mengikuti program asuransi TKI, dan
mengikuti pembekalan akhir pemberangkatan.
Setelah
semua itu dilewati, sebagai buktinya, calon TKI akan mendapat KTKLN secara
gratis. Di dalamnya terdapat sekurang-kurangnya 36 item data mengenai TKI dan
pemberi kerja di luar negeri, yang dengan mudah dibaca lewat contactless card
reader khusus yang seharusnya bisa
ditempatkan di perwakilan RI.
Saat pertama
kali diterapkan, KTKLN menuai protes karena para TKI yang berangkat sebelum
diberlakukannya KTKLN kesulitan jika akan cuti ke Tanah Air. Mereka takut
tidak bisa berangkat lagi jika tidak membuat KTKLN. Sementara, umumnya,
perwakilan RI (KBRI dan KJRI) tak mau memfasilitasi penerbitan KTKLN karena
Kementerian Luar Negeri tidak mau memberi arahan atas permasalahan ini meski
BNP2TKI telah berkali-kali berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk
implementasi ini. Begitu tiba di Tanah Air, TKI yang cuti wajib mendatangi
kantor BNP2TKI untuk membuat KTKLN.
Khususnya
untuk Jawa Timur belum ada kantor BNP2TKI karena pemprov mengambil alih
proses penempatan TKI sampai hari ini akibat ada perselisihan kelembagaan
pusat-daerah. Akibatnya, pelayanan hanya ada di Surabaya untuk melayani semua
TKI se-Jawa Timur, termasuk pelayanan TKI ke Hongkong yang 60-70 persen dari
Jawa Timur. Wajar jika TKI Hongkong, khususnya dari Jawa Timur, marah besar
karena sulitnya dapat pelayanan penerbitan KTKLN.
Di
tempat kerjanya di Hongkong, KJRI tidak mau melayani (sejak awal 2014 KJRI
Hongkong sudah mau melayani), sementara di Tanah Air harus mengantre hingga
mengular, berjam-jam di tengah terik matahari di kantor disnaker provinsi. Di
provinsi lain, seperti di Jawa Barat, pelayanan penerbitan oleh BNP2TKI tidak
hanya di Bandung, tetapi juga di Cirebon, Bekasi, dan Sukabumi sehingga
memudahkan pelayanan. Begitu juga di Jawa Tengah, pelayanan penerbitan KTKLN
sudah disebar di sejumlah kantor BNP2TKI kabupaten demi memudahkan pelayanan.
Sejauh ini, pelayanan penerbitan KTKLN oleh BNP2TKI dinilai berintegritas
tinggi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), urutan ketiga 2014 melalui
Survei Integritas Sektor Publik yang dilakukan terhadap 40 jenis layanan di
kementerian/lembaga.
Menghapus KTKLN
Dengan
melihat proses di atas, yang jadi pertanyaan kita adalah apakah seseorang
bekerja ke luar negeri harus atas sepengetahuan negara atau tidak? Apabila
harus sepengetahuan negara, hingga saat ini KTKLN masih menjadi satu-satunya
bukti bahwa negara mengetahui rakyatnya akan bekerja ke luar negeri di tempat
yang layak, upah memadai, dan terlindungi. Apakah KTKLN bisa dihapus dan
diganti dengan cara lain?
Pada 23
Agustus 2013, Menkumham dan kepala BNP2TKI menandatangani nota kesepahaman,
di antaranya untuk mengoneksikan data TKI dalam sistem informasi BNP2TKI
dengan sistem informasi keimigrasian. Dengan terkoneksinya basis data TKI
dengan imigrasi, saat seseorang akan berangkat melalui pintu imigrasi, sudah
bisa diketahui apakah ia calon TKI yang sudah melalui persyaratan yang
ditentukan UU. Tanpa KTKLN, calon TKI yang sudah memenuhi persyaratan bisa
tetap berangkat. Namun, yang tak memenuhi syarat karena belum ada notifikasi
dari BNP2TKI tak bisa diloloskan sebelum melapor ke kantor BNP2TKI terdekat
untuk diperiksa semua dokumen ketenagakerjaannya guna menghindarkan mereka
dari penderitaan selama bekerja di luar negeri.
Untuk melaksanakan penghapusan itu, perlu lebih dulu merevisi UU No 39/2004 sehingga memuat penghapusan
kewajiban TKI memiliki KTKLN. Yang perlu ditekankan, negara wajib memeriksa
dokumen siapa pun warga negaranya yang mau bekerja ke luar negeri. Apabila
tak ada kewajiban ini, dapat dipastikan para pedagang dan penyelundup orang
akan berpesta pora karena dengan mudah bisa memangsa untuk dijadikan korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar