Pancasila
Jalan Tengah
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS,
10 Desember 2014
Hubungan
agama dan negara telah lama dipercakapkan oleh bangsa kita.
Di
sidang-sidang Konstituante, salah satu tema yang hangat diperdebatkan adalah
posisi agama kaitannya dengan negara. Apakah mau mengambil pilihan negara
agama atau negara sekuler. Sidang BPUPKI merekam pertentangan antara
nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim (Faisal Ismail), kebangsaan, Islam
dan ideologi Barat modern sekuler (AMW Pranarka). Kata John Titaley, tiga
kekuatan ideologis dengan sengit bertarung dalam sidang itu adalah Nasionalisme,
Islam, dan Sosialisme/Marxisme.
Perdebatan
panjang itu akhirnya menemukan titik temu: Pancasila sebagai jalan tengah.
Dan dengan lapang, semua agama, kepercayaan, dan etnik menerimanya. Ide
tentang dasar negara yang awalnya diajukan Mohammad Yamin dan kawan-kawan
dalam pidatonya pada sidang BPUPKI dan dideklarasikan Ir Soekarno dengan nama
Pancasila pada 1 Juni 1945 telah tampil menyelamatkan sengketa politik
berbasiskan sentimen teologis. Pancasila sebagai dasar negara hasil dari
sebuah kompromi agung, dari konsensus warga bangsa dengan melihat fakta
sosiologis masyarakat Nusantara yang heterogen sekaligus mempertimbangkan
fakta teologis yang menjadi keyakinan masyarakat negeri kepulauan.
Pancasila
jadi payung yang menaungi semua keragaman dan memberikan jaminan tentang
tekad hidup dalam NKRI. Pancasila inilah sejatinya yang menjadi perekat
kokohnya negara persatuan. Padahal, sebelumnya masih berupa puak yang
terserak, kerajaan tersebar dengan bahasa dan budaya yang juga berlainan.
Berkah
Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan dari spirit
keagamaan kita sebagai bangsa masih bertahan sampai sekarang. Maka, dalam
konteks negara kebangsaan, tidak semestinya
dilakukan: pertama, satu kelompok merasa lebih dominan dibandingkan
dengan kelompok lain; kedua, menyelesaikan sejumlah persoalan publik dengan
mendahulukan akal sehat dan kepentingan bersama; ketiga, tidak diperkenankan
sebuah ormas mendesakkan keinginannya kepada ”negara” atas dasar keyakinan
subyektif; keempat, selalu yang mesti dilakukan adalah dialog atau musyawarah
mufakat menjadi pintu masuk dalam menyelesaikan hal ihwal.
Narasi tunggal
Kesalahan
besar Orde Baru dalam kaitan dengan Pancasila tak boleh terulang. Orde Baru
meski selalu mendengungkan kembali Pancasila dan UUD 1945, dalam praktiknya,
Pancasila telah dikerdilkan menjadi sebuah ”ideologi tertutup”, dikerangkeng
dalam penafsiran tunggal. Dosa besar negara despotik yang dipimpin rezim
Soeharto selama 32 tahun bermula karena iklim kebenaran dan monopoli
penafsiran terhadap Pancasila. Di luar tafsir penguasa dianggap bidah dan
berbahaya. Di pusaran ini kemudian yang dilakukan tidak terus-menerus
memperkaya wawasan Pancasila, tetapi membuat Pancasila kian tak menampilkan
khitahnya seperti yang dahulu dirumuskan para penemunya.
Mungkin
masih ingat dalam memori anak bangsa yang mengalami masa peradaban gelap Orde
Baru bagaimana Pancasila lengkap dengan P4-nya dijejalkan kepada publik lewat
indoktrinasi, pemaksaan dan jauh dari yang disebut Jurgen Habermas penciptaan
ruang deliberatif bagi terjadinya percakapan yang mengedepankan kesetaraan
dan kekuatan nalar. Kaum penguasa memosisikan diri sebagai para pihak yang
seakan telah menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan politik
hariannya secara istikamah. Padahal, kenyataannya, justru sebaliknya.
Cara-cara
tak patut seperti inilah yang kemudian pada titik tertentu membuat sebagian
kelompok menjadi alergi dengan beragam hal
berbau Pancasila. Kelompok-kelompok ini, baik yang berada di sisi kiri
ataupun kanan, setelah Orde Baru tumbang kemudian melakukan kontestasi
ideologis menawarkan ”dasar negara” yang dianggapnya lebih manjur ketimbang
Pancasila. Banyak ormas yang ”menggarap” masyarakat untuk memiliki pemahaman
seperti mereka. Tak sedikit masyarakat termakan fantasi ideologis-metafisisnya
yang sama sekali berbanding terbalik dengan Pancasila.
Anehnya cara-cara yang dilakukan
tak jauh
beda dengan aparatus Orde Baru: indoktrinasi, cuci otak, pengajian-pengajian
tertutup, memonopoli kebenaran, menganggap liyan sebagai kafir. Bahkan lebih
jauh dari itu memandang eksistensi Indonesia sebagai ”negara transisi” untuk
kemudian kelak harus berubah menuju negara yang sesuai dengan kerajaan Tuhan
yang dibayangkannya secara sepihak.
Tiba-tiba
di tengah situasi negara yang tak stabil, anggota Dewan yang tak henti
bertengkar, dan ekonomi yang tak mendistribusikan kesejahteraan dikepung
pekik ormas yang menawarkan ”politik metafisika-skolastik”, menyerukan
pentingnya menghidupkan kembali khilafah siasat Abad Pertengahan dengan fantasi
tergelarnya kesalehan bersama. Dibikinlah suasana seolah agama dan negara
sesuatu yang wajib dikawinkan, bahwa mengintegrasikan agama dalam kekuasaan
harga mati dengan sebuah praanggapan kemungkaran itu bermula karena agama
tidak masuk dalam lingkaran kuasa.
Membutuhkan kembali
Di
sinilah makna penting kita kembali kepada Pancasila. Tak semata bernostalgia,
tetapi menyempurnakan cara bernegara supaya menemukan adabnya sekaligus
memberikan jaminan kepada mereka yang berbeda. Kita butuh Pancasila bukan
karena Pancasila sangat sempurna, melainkan justru karena komitmen bersama
untuk merawat bangsa ini. Bahwa bangsa ini bukan milik satu kelompok,
melainkan milik bersama sebagai ”warisan” kaum leluhur yang telah
memperjuangkannya dengan jiwa dan raga. Kita butuh Pancasila karena secara
teologis, ia sama sekali tak bertentangan dengan agama, bahkan merupakan
tafsir kreatif dan ijtihad besar yang dilakukan para leluhur dalam
menyelesaikan persoalan bangsa yang ada di hadapannya. Bagaimana mereka
dengan segala kebijaksanaan dan kecerdasannya menemukan ”jalan tengah” yang
melegakan semua pihak, sebagaimana tempo dulu Muhammad SAW menemukan ”Piagam
Madinah” yang digali dari kecermatan melihat realitas plural sekitarnya.
Mencari
titik temu, bukankah ziarah kebangsaan yang diserukan Tuhan dalam senarai
firman-Nya? ”Wahai para pengikut kitab suci! Marilah kamu semua menuju kepada
ajaran dasar kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tak menyembah
kecuali Allah Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa sebagian dari kita—sesama
manusia—tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah
Tuhan Yang Maha Esa! Tetapi, jika mereka, para pengikut kitab suci itu
menolak, katakanlah olehmu sekalian (wahai kaum beriman), kepada para
pengikut kitab suci itu, ’Bersaksilah
kamu semua bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kaum
Muslimin)’.” (Q, 3: 64)
Atau
dalam ungkapan Goenawan Mohamad, ”Kita
membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari
ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat mencapai
persatuan dalam perbedaan.... Kita membutuhkan Pancasila kembali untuk
mengukuhkan, kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap
yang manusiawi—yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat. Kita membutuhkan
Pancasila kembali karena merupakan proses negosiasi terus-menerus dari sebuah
bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ”eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya
meyakinkan, dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita
membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di
sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.”
Kehebatan Pancasila itu terletak ketika ia menjadi laku. Pandu yang
dapat mempercepat terwujudnya masyarakat utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar