Selasa, 02 Desember 2014

Inisiatif MORA dan Jejaring Intelektual

                    Inisiatif MORA dan Jejaring Intelektual

Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Dunia akademik senantiasa berjalan dinamis seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi serta beragam minat manusia dalam membangun peradabannya. Sekat geografis, bahasa, etnis, agama, dan sejumlah faktor pembatas lainnya, lebur dalam fenomena global yang mengharuskan kita memiliki jaringan dunia intelektual. 

Fenomena ini oleh Jhon Keane dalam tulisannya The Humbling of the Intellectual, Public life in the Era of Communicative Abundance dalam Times Literary Supplement, 28 Agustus 1998, disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communicative  abundance). Ditandai dengan gegap gempitanya informasi dan tersedianya multikanal komunikasi, tak hanya skala lokal, nasional melainkan juga internasional.

Dalam konteks inilah, inisiatif MORA (Ministry of Relegious Affairs) membuat jejaring internasional guna pengembangan Sumber daya manusia di lingkungan Direktor Jenderal Pendidikan Islam menjadi sangat strategis dan relevan dengan kebutuhan.

Di antara program-program yang secara reguler diinisiasi MORA adalah Postdoctoral Fellowship Program For Islamic Higher Education (POSFI), Academic Recharging for Islamic Higher Education (ARFI), International Seminar for Islamic Higher Education (ISFI), dan tentunya program Short Course Research Methodology in Overseas Countries.      

Beruntung, penulis mendapat kehormatan menjadi Mora's Fellow di University of Western Sydney melalui program Short Course Research Methodology in Overseas Countries Subdit Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk menggali khazanah intelektual di bidang metodologi riset, penulisan akademik dan konferensi internasional, sekaligus menjadi wahana pemahaman lintas budaya (cross culture understanding) antara ilmuan Indonesia dengan Australia.

Program ini pula yang mengenalkan kota tepian bernama Bankstown, kota kecil tempat University of Western Sydney berada. Memang, UWS memiliki beberapa kampus yang terletak di banyak tempat, tapi yang menarik rasa ingin tahu justru yang terletak di kota sepi senyap, Bankstown ini.

Tiba di kampus berslogan Bringing Knowledge to Life ini, tujuan utama penulis adalah pusat penelitian agama dan masyarakat (The Religion and Society Research Center) milik UWS yang kini dipimpin oleh Prof. Adam Possamai, sosok ilmuan penuh kehangatan.

Adam membuat welcome reception yang juga dihadiri oleh, Prof. Kevin Dunn, Dean of School of Social Science and Psychology UWS. Sebuah jamuan pembuka yang tak hanya menghidangkan makanan dan minuman penanda persahabatan, tetapi juga dialog akademik yang membuat kerasan ngobrol berpanjang lebar.

Dialog  lintas budaya ibarat "oase" di tengah kegersangan topik-topik yang menjadi menu harian program-program dialog beragam media massa di Indonesia yang rutin penulis isi.

Di UWS sendiri kita bisa menemukan jaringan para peneliti di sejumlah pusat kajian antara lain: Centre for Educational Research, Centre for Health Research, Centre for Research in Mathematics, National Institute of Complementary Medicine, Urban Research Centre, Writing and Society Research Centre.

The Religion and Society Research merupakan perluasan dari Center for the Study of Contemporary Muslim Society (CSCMS) yang didirikan tahun 2009 di UWS di bawah payung the National Center of Excellence for Islamic Studies. Dengan demikian, nampak nyata bahwa Islam dan komunitas masyarakat muslim telah menjadi basis kajian yang diperhitungkan dan menarik minat di UWS dan di banyak kampus-kampus lain di Australia.

Melihat seantero lingkungan kampus UWS, tak sulit menemukan para mahasiswi berjilbab. Di UWS kampus Bankstown, banyak sekali mahasiswa muslim yang berasal dari Iran, Libanon, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan lain-lain. 

City of Bankstown merupakan kota kecil bercita rasa multikultural. Area pemerintahan lokal di wilayah Canterbury-Bankstown Sydney ini terdiri dari sejumlah kota pinggiran termasuk Bass Hill, Greenacre, Georges Hall dan Milperra, dan lain-lain.

Kota ini dikelilingi oleh City of Parramatta dan Auburn Council di utara, City of Fairfield dan City of Liverpool di barat, Sutherland Shire di selatan, dan City of Canterbury, City of Hurstville dan Municipality of Strathfield di timur. Kalau dari Sydney Airport dibutuhkan waktu kurang lebih 30 hingga 40 menit perjalanan lewat kereta dari Central Station.

Sepanjang jalan menuju Bankstown sebelah kiri-kanan perjalanan, kita lebih banyak melihat permukiman warga yang berderet rapi, bersih, dan sepi! Entah, seperti apa kebiasaan dan asal-muasalnya, permukiman warga menuju Bankstown lebih banyak yang sepi-senyap, tak banyak kerumunan layaknya perkampungan pada umumnya di Indonesia.

Pun demikian suasana di sekitar kampus sunyi senyap seolah-olah tak banyak orang. Tapi, saat melongok ke ruang-ruang dalam bagian kampus, seperti di hall, di kelas, dan di perpustakaan, nampak kampus disesaki sejumlah orang yang sibuk dengan aktivitas akademiknya masing-masing.

Program di UWS diisi penulis dan partisipan lainnya dengan aktivitas padat, berinteraksi dengan sejumlah ilmuan UWS dan kampus-kampus lain. Ada Dr. Alphia Possamai, Dr. Marie Felbaum Korpi, Prof. Garry Trompf (University of Sydney). Dr. Cristina Rocha, Dr. Anne Jamison, Dr. Joanna Orlando, Profesor Riaz Hassan (Flinders University) dan tentu saja senior, dan kolega di UIN Jakarta yang saat ini mengajar dan menjadi peneliti di UWS, Dr. Arskal Salim. 

Diskusi, public lecture, simposium, focus group discussion (FGD), micro teaching, presentasi, konferensi, dan sejumlah aktivitas akademik lainnya menjadi menu harian dari Senin-Jumat. Sejumlah topik soal Islam dan masyarakat modern didiskusikan dengan renyah dan penuh persahabatan.

Misalnya Pada 28 Oktober, Prof Garry Trompf memberi public lecture soal The Yazidis: Reflections on Group Survival and the Limits of Tolerance. Pada 5 November, Prof Adam Possamai memberi pemaparan soal Islam: A New Relegious Vehicle for Aboriginal Self-Empowerment in Australia.

Kajian berbasis riset sangat menarik soal geliat Islam di Australia juga dipaparkan Prof Riaz Hassan (Emeritus Professor of Sociology di Flinders University) yang membahas tuntas soal Socio-economic Status of Australian Muslims: Implications for Citizenship and Social Integration pada 7 November.

Kajian yang mengurai data mengesankan, betapa muslim di Australia sudah memiliki perkembangan signifikan bukan hanya dalam hitungan kuantitatif tetapi juga perbaikan status sosial-ekonomi mereka saat mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari warga negara Australia. 

Penulis sendiri, pada 10 November diberi kesempatan untuk memaparkan makalah yang diberi judul: Symbolic Convergence in New Public Sphere: A Study of Political Communication In Indonesia on the Second Periode of Yudhoyono's Government.

Yang tak kalah menariknya adalah kajian berbasis riset dalam symposium on Religion and Gender yang disampaikan oleh Lisa Worthington dan juga Farjana Mahbuba pada 11 November.

Hal menarik, yang membuat kita kerasan adalah cara berpikir terbuka dan memungkinkan kita untuk menginisiasi riset kolaboratif. Hal ini membuat jejaring intelektual kita kian terbuka. Selama di sana, penulis diberi kesempatan untuk mencoba bersama-sama dua ilmuwan UWS dari School of Social Science and Psychology yakni Dr. Steven Drakeley dan Dr. Arskal Salim, untuk mengajukan proyek riset ke Australian Competitive Research Grant untuk meneliti Political Communication of Yudhoyono’s Government (2004-2014) on Tolerance, Freedom and Democracy in Indonesia.
 
Jika melihat kompetisi di dunia sekarang ini, maka inisiatif MORA dan pemerintah pada umumnya untuk memperkuat kapasitas intelektual dan profesional para ilmuwan di Indonesia sudah sepatutnya didukung semua pihak.

Program-program bagus dan mencerahkan ini, seyogianya diperkuat lagi dan setiap saat dievaluasi guna ditingkatkan kualitas penyelenggaraan dan hasilnya. Di sinilah letak strategisnya inisiatif MORA!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar