Inisiatif
MORA dan Jejaring Intelektual
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 01 Desember 2014
Dunia akademik senantiasa berjalan dinamis seiring perkembangan
pengetahuan dan teknologi serta beragam minat manusia dalam membangun
peradabannya. Sekat geografis, bahasa, etnis, agama, dan sejumlah faktor
pembatas lainnya, lebur dalam fenomena global yang mengharuskan kita memiliki
jaringan dunia intelektual.
Fenomena ini oleh Jhon Keane dalam tulisannya The Humbling of the Intellectual, Public life in the Era of
Communicative Abundance dalam Times
Literary Supplement, 28 Agustus 1998, disebut sebagai era keberlimpahan
komunikasi (communicative abundance). Ditandai dengan gegap
gempitanya informasi dan tersedianya multikanal komunikasi, tak hanya skala
lokal, nasional melainkan juga internasional.
Dalam konteks inilah, inisiatif MORA (Ministry of Relegious Affairs) membuat jejaring internasional
guna pengembangan Sumber daya manusia di lingkungan Direktor Jenderal
Pendidikan Islam menjadi sangat strategis dan relevan dengan kebutuhan.
Di antara program-program yang secara reguler diinisiasi MORA adalah Postdoctoral Fellowship Program For
Islamic Higher Education (POSFI), Academic
Recharging for Islamic Higher Education (ARFI), International Seminar for Islamic Higher Education (ISFI), dan
tentunya program Short Course Research
Methodology in Overseas Countries.
Beruntung, penulis mendapat kehormatan menjadi Mora's Fellow di University of Western Sydney melalui program Short Course Research Methodology in
Overseas Countries Subdit Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian
pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
untuk menggali khazanah intelektual di bidang metodologi riset, penulisan
akademik dan konferensi internasional, sekaligus menjadi wahana pemahaman
lintas budaya (cross culture
understanding) antara ilmuan Indonesia dengan Australia.
Program ini pula yang mengenalkan kota tepian bernama Bankstown, kota
kecil tempat University of Western
Sydney berada. Memang, UWS memiliki beberapa kampus yang terletak di
banyak tempat, tapi yang menarik rasa ingin tahu justru yang terletak di kota
sepi senyap, Bankstown ini.
Tiba di kampus berslogan Bringing
Knowledge to Life ini, tujuan utama penulis adalah pusat penelitian agama
dan masyarakat (The Religion and
Society Research Center) milik UWS yang kini dipimpin oleh Prof. Adam
Possamai, sosok ilmuan penuh kehangatan.
Adam membuat welcome reception yang juga dihadiri oleh, Prof. Kevin
Dunn, Dean of School of Social Science
and Psychology UWS. Sebuah jamuan pembuka yang tak hanya menghidangkan
makanan dan minuman penanda persahabatan, tetapi juga dialog akademik yang
membuat kerasan ngobrol berpanjang lebar.
Dialog lintas budaya ibarat
"oase" di tengah kegersangan topik-topik yang menjadi menu harian
program-program dialog beragam media massa di Indonesia yang rutin penulis
isi.
Di UWS sendiri kita bisa menemukan jaringan para peneliti di sejumlah
pusat kajian antara lain: Centre for
Educational Research, Centre for Health Research, Centre for Research in
Mathematics, National Institute of Complementary Medicine, Urban Research
Centre, Writing and Society Research Centre.
The
Religion and Society Research merupakan perluasan dari Center for the Study of Contemporary
Muslim Society (CSCMS) yang didirikan tahun 2009 di UWS di bawah payung the National Center of Excellence for
Islamic Studies. Dengan demikian, nampak nyata bahwa Islam dan komunitas
masyarakat muslim telah menjadi basis kajian yang diperhitungkan dan menarik
minat di UWS dan di banyak kampus-kampus lain di Australia.
Melihat seantero lingkungan kampus UWS, tak sulit menemukan para
mahasiswi berjilbab. Di UWS kampus Bankstown, banyak sekali mahasiswa muslim
yang berasal dari Iran, Libanon, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan
lain-lain.
City of Bankstown merupakan kota kecil bercita rasa multikultural. Area
pemerintahan lokal di wilayah Canterbury-Bankstown Sydney ini terdiri dari
sejumlah kota pinggiran termasuk Bass Hill, Greenacre, Georges Hall dan
Milperra, dan lain-lain.
Kota ini dikelilingi oleh City of Parramatta dan Auburn Council di
utara, City of Fairfield dan City of Liverpool di barat, Sutherland Shire di
selatan, dan City of Canterbury, City of Hurstville dan Municipality of
Strathfield di timur. Kalau dari Sydney Airport dibutuhkan waktu kurang lebih
30 hingga 40 menit perjalanan lewat kereta dari Central Station.
Sepanjang jalan menuju Bankstown sebelah kiri-kanan perjalanan, kita
lebih banyak melihat permukiman warga yang berderet rapi, bersih, dan sepi!
Entah, seperti apa kebiasaan dan asal-muasalnya, permukiman warga menuju
Bankstown lebih banyak yang sepi-senyap, tak banyak kerumunan layaknya
perkampungan pada umumnya di Indonesia.
Pun demikian suasana di sekitar kampus sunyi senyap seolah-olah tak
banyak orang. Tapi, saat melongok ke ruang-ruang dalam bagian kampus, seperti
di hall, di kelas, dan di perpustakaan, nampak kampus disesaki sejumlah orang
yang sibuk dengan aktivitas akademiknya masing-masing.
Program di UWS diisi penulis dan partisipan lainnya dengan aktivitas
padat, berinteraksi dengan sejumlah ilmuan UWS dan kampus-kampus lain. Ada
Dr. Alphia Possamai, Dr. Marie Felbaum Korpi, Prof. Garry Trompf (University of Sydney). Dr. Cristina
Rocha, Dr. Anne Jamison, Dr. Joanna Orlando, Profesor Riaz Hassan (Flinders University) dan tentu saja
senior, dan kolega di UIN Jakarta yang saat ini mengajar dan menjadi peneliti
di UWS, Dr. Arskal Salim.
Diskusi, public lecture, simposium, focus
group discussion (FGD), micro teaching, presentasi, konferensi, dan
sejumlah aktivitas akademik lainnya menjadi menu harian dari Senin-Jumat.
Sejumlah topik soal Islam dan masyarakat modern didiskusikan dengan renyah
dan penuh persahabatan.
Misalnya Pada 28 Oktober, Prof Garry Trompf memberi public lecture soal The Yazidis: Reflections on Group Survival
and the Limits of Tolerance. Pada 5 November, Prof Adam Possamai memberi
pemaparan soal Islam: A New Relegious
Vehicle for Aboriginal Self-Empowerment in Australia.
Kajian berbasis riset sangat menarik soal geliat Islam di Australia
juga dipaparkan Prof Riaz Hassan (Emeritus
Professor of Sociology di Flinders University) yang membahas tuntas soal Socio-economic Status of Australian
Muslims: Implications for Citizenship and Social Integration pada 7
November.
Kajian yang mengurai data mengesankan, betapa muslim di Australia sudah
memiliki perkembangan signifikan bukan hanya dalam hitungan kuantitatif
tetapi juga perbaikan status sosial-ekonomi mereka saat mereka menjadi bagian
tak terpisahkan dari warga negara Australia.
Penulis sendiri, pada 10 November diberi kesempatan untuk memaparkan
makalah yang diberi judul: Symbolic
Convergence in New Public Sphere: A Study of Political Communication In
Indonesia on the Second Periode of Yudhoyono's Government.
Yang tak kalah menariknya adalah kajian berbasis riset dalam symposium on Religion and Gender yang
disampaikan oleh Lisa Worthington dan juga Farjana Mahbuba pada 11 November.
Hal menarik, yang membuat kita kerasan adalah cara berpikir terbuka dan
memungkinkan kita untuk menginisiasi riset kolaboratif. Hal ini membuat
jejaring intelektual kita kian terbuka. Selama di sana, penulis diberi
kesempatan untuk mencoba bersama-sama dua ilmuwan UWS dari School of Social Science and Psychology
yakni Dr. Steven Drakeley dan Dr. Arskal Salim, untuk mengajukan proyek riset
ke Australian Competitive Research Grant untuk meneliti Political Communication of Yudhoyono’s Government (2004-2014) on Tolerance, Freedom and Democracy in
Indonesia.
Jika melihat kompetisi di dunia sekarang ini, maka inisiatif MORA dan
pemerintah pada umumnya untuk memperkuat kapasitas intelektual dan
profesional para ilmuwan di Indonesia sudah sepatutnya didukung semua pihak.
Program-program bagus dan mencerahkan ini, seyogianya diperkuat lagi
dan setiap saat dievaluasi guna ditingkatkan kualitas penyelenggaraan dan
hasilnya. Di sinilah letak strategisnya inisiatif MORA! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar