Kebangsaan
Yang Berketuhanan
Jazuli Juwaini ; Ketua
Fraksi PKS DPR
|
REPUBLIKA,
16 Desember 2014
Sejak
dahulu kita menyadari bangsa ini adalah bangsa yang besar. Sudah banyak ulasan
menggambarkan kebesaran Indonesia dari segi luas wilayah, lautan, pulau,
serta kebesaran (baca: kemajemukan/kebinekaan) penduduk, suku bangsa, agama,
serta budayanya. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia haruslah dibangun di
atas cita-cita dan konsepsi besar yang mampu menaungi kebesarannya. Pun kita
harus berbesar hati bahwa bangsa ini dibangun oleh manusia-manusia besar
Indonesia (baca: tokoh-tokoh pendiri bangsa).
Dengan
modalitas itu, setiap anak bangsa sudah semestinya selalu berpikir dan berjiwa
besar saat menyadari realitas kebesarannya sekaligus menjawab tantangan ke
depan. Sebagai bangsa besar kita tidak boleh terombang-ambing, terseret,
apalagi terbelah oleh cara-cara bangsa lain. Cukup kita kembali dan menggali
konsepsi bangsa ini yang termanifestasi platform dan konsepsi kebangsaan
kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Dengarlah
apa kata Bung Karno pada 1958, "Tidak ada dua bangsa yang cara
berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai
karakteristik sendiri. Oleh karena itu pada hakikatnya bangsa sebagai
individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam
berbagai hal, dalam kebudayaannya, perekonomian, watak, dan lainnya (Sukarno, 1958).
Apa
karakteristik dan kepribadian bangsa Indonesia yang dimaksud Bung Karno?
Ialah Pancasila. Pancasila memberikan corak identitas karakter sebagai
bangsa. Maka, jika ada pertanyaan apa karakter khas bangsa Indonesia,
jawabnya adalah Pancasila. Lima sila dalam Pancasila diambil dan disarikan
dari nilai-nilai luhur yang ada dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia.
Pancasila
merupakan visi peradaban Indonesia: manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, mampu mengembangkan
persatuan, penuh kebijaksanaan serta berkeadilan sosial. Pancasila adalah
titik temu yang menyatukan keindonesiaan. Pancasila sebagai falsafah dan
norma dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (philosophische grondslag). Konsekuensinya, Pancasila menjadi
dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum dalam bernegara.
Penulis
ingin menggarisbawahi sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai sila pertama, ia memberikan napas sekaligus roh bagi keseluruhan
sila-sila Pancasila. Menurut Jimly Asshiddiqie, ia merupakan sila pertama dan
utama yang menerangi keempat sila lainnya (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Para founding fathers menginginkan
Indonesia menjadi negara yang ber-Tuhan, negara yang rakyatnya juga
ber-Tuhan. Jelas dikatakan oleh Sukarno pada pidato 1 Juni 1945, "Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Dan
hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan."
Dengan
sila ketuhanan ini, tampak kuat kehendak para pendiri bangsa menjadikan
Negara Pancasila sebagai negara yang religius (religious nation state). Dengan paham ini, kita tidak menganut
paham sekuler yang ekstrem, yang memisahkan "agama" dan
"negara" dan berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang-ruang
privat/komunitas. Meski kita juga bukan negara agama, dalam arti hanya satu
agama yang diakui menjadi dasar negara Indonesia.
Menjadi religious nation state maknanya adalah
negara melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama. Lebih dari itu, agama
didorong untuk memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan norma
dan etika sosial.
Paham
ketuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagai watak kebangsaan Indonesia. Dorongan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang
di antara sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara
dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas
peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Dalam
praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan (nilai-nilai
agama/religiusitas) harus dijadikan sumber etika dan spiritualitas.
Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi fundamen etik
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga sangat jelas kebangsaan kita
adalah kebangsaan yang berketuhanan.
Konstitusi,
UUD 1945, secara tegas menyatakan, negara ini berdiri di atas dasar
ketuhanan. Hal itu dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (1), "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Lalu
Ayat (2), "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Di negara ini tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan
dan antikeagamaan. Tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang menghina dan
menistakan agama. Sama halnya tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang
mengerdilkan peran agama. Aktualisasi keagamaan bukan saja diberikan ruang,
tetapi didorong terus untuk menjadi basis moralitas kehidupan berbangsa dan
bernegara. Segala upaya sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(memisahkan agama dan negara) tidak memiliki tempat dan bertentangan dengan
falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Nilai-nilai
ketuhanan/agama harus menjadi fundamental pembangunan sumber daya manusia
Indonesia. Dan hal ini sudah sangat baik diafirmasi oleh UUD 1945 hasil
perubahan. Pasal 31 Ayat (3) jelas menegaskan visi pengembangan SDM Indonesia
melalui pendidikan, "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Amanat
UUD 1945 ini dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 1 Ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Inilah visi sekaligus semangat baru yang mengarahkan pada
pembentukan watak dan peradaban bangsa. Visi dan semangat ini menjadi rujukan
utama pelaksanaan fungsi pendidikan di Indonesia, dan tentu saja, harus
termanifestasi dalam kurikulum pendidikan.
Saatnya
kita kembali mengokohkan kepribadian dan karakter sebagai bangsa ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa sejalan dengan falsafah Pancasila. Ada anasir yang hendak
mengarahkan Indonesia menjadi negara atau bangsa yang liberal dan sekuler,
dan itu perlu diwaspadai sebagai ancaman serius bagi kebangsaan kita. Kita
adalah bangsa besar yang dibangun di atas konsepsi besar bernama Pancasila.
Pancasila menginginkan kita menjadi bangsa yang ber-Ketuhanan, bangsa yang
religius, bukan bangsa sekuler apalagi tak ber-Tuhan. Inilah karakteristik
kita, inilah kepribadian kita. Dan, ini jualah yang dipesankan Bung Karno dan
para pendiri bangsa sebagai warisan untuk kita rawat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar