Bertambahnya
Beban Orang Tua Murid
Sukemi ; Pemerhati dan Mantan Wartawan Pendidikan
|
JAWA
POS, 11 Desember 2014
MENDIKBUD
Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan implementasi Kurikulum 2013
(K-13) secara menyeluruh di sekolah. Implementasi hanya dilakukan pada enam
ribuan sekolah. Itu pun, sekolah yang merasa keberatan boleh kembali ke
Kurikulum 2006 (KTSP).
Keputusan
tersebut bagi sebagian orang terasa mengejutkan. Demikian halnya dengan para
pengelola sekolah. Sebab, di lapangan tim monitoring evaluasi masih bekerja
sehingga aneh terdengar jika evaluasi saja belum tuntas, tapi keputusan
penghentian implementasi K-13 untuk seluruh sekolah sudah diputuskan.
Wajarlah
jika berkembang anggapan di publik, bahwa keputusan itu lebih
mempertimbangkan aspek ”asal beda” terhadap pemerintahan sebelumnya yang
menelurkan Kurikulum 2013. Aspek politis lebih dominan daripada aspek
psikologis-pedagogik yang akan diterima peserta didik, pengelola sekolah, dan
para guru.
Padahal,
diketahui, pendidikan semestinya bebas dari kepentingan politik. Apa jadinya
jika kebijakan pendidikan lebih didasarkan pada kepentingan politik ketimbang
pertimbangan psikologis-pedagogik.
Tulisan
berikut ingin menyampaikan beberapa akibat dan beban yang diterima
masyarakat, termasuk pelajar, karena dihentikannya implementasi K-13 pada
Januari 2015.
Beban Orang Tua
K-13
yang mulai diterapkan secara menyeluruh pada awal tahun pelajaran 2014–2015
sesungguhnya telah menjawab keresahan orang tua yang merasakan tingginya
harga buku dan beratnya beban siswa. Sebab, banyak sekali buku mata pelajaran
yang harus dibawa tiap hari ke sekolah –di jenjang SD. Belum lagi lembar
kerja siswa (LKS) yang harus dibeli siswa karena buku teks tidak menyiapkan
LKS.
Di
jenjang SD, buku siswa tematik terpadu telah didesain sedemikian rupa
sehingga dalam buka siswa tematik terpadu itu sekaligus menjadi LKS. Siswa
pun tidak terlalu membawa banyak buku karena dalam satu tema terdapat
beberapa materi pelajaran. Mulai matematika, bahasa Indonesia, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, hingga pendidikan karakter.
Penyederhanaan
menjadi salah satu kata kunci pada K-13. Di jenjang SD, sepuluh mata
pelajaran kini disederhanakan menjadi enam mata pelajaran. Di SMP, sebelumnya
12 menjadi 10, sedangkan di SMA tidak ada lagi penjurusan, melainkan
peminatan.
Melalui
K-13, buku guru maupun siswa, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA/SMK, tidak
lagi menjadi beban orang tua karena telah disiapkan secara gratis oleh
pemerintah. Terhadap kemungkinan munculnya buku-buku yang isinya di luar
kendali pemerintah pun bisa diantisipasi.
Sementara
itu, jika kembali ke Kurikulum 2006 (KTSP), sudah dapat diduga, LKS akan
kembali menjadi beban orang tua. Buku pun memang harus dimiliki dan dibeli
peserta didik.
Pada
titik itulah, beban orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya makin besar.
Sementara itu, beban psikologis terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) dan ikutannya masih belum reda dalam ingatan masyarakat.
Ini
beban pertama ketika pembelajaran kembali ke Kurikulum 2006 (KTSP). Beban
kedua, ini lebih pada pertimbangan psikologis-pedagogik, guru maupun peserta
didik yang telah menerima pembelajaran K-13 akan berusaha menyesuaikan diri
kembali dalam menyampaikan maupun menerima pembelajaran.
Ini
memang tidak bisa diukur secara material, tapi beban ini bisa jadi
berkepanjangan dan akan menjadi beban, baik bagi guru maupun siswa. Model
pembelajaran yang berubah antara KTSP dan K-13 sedikit banyak akan
memengaruhi metode penyampaian oleh guru maupun cara belajar siswa.
Ketiga,
beban itu terkait dengan buku yang telah telanjur dipesan pemerintah daerah
dari dana alokasi khusus (DAK) untuk semester genap mendatang. Jika sekolah
tidak diperkenankan menggunakan K-13, kemubaziran terhadap buku yang sudah
dibeli akan terjadi.
Jalan
keluar boleh disimpan atau ditumpuk di perpustakaan sekolah, sebagaimana
dinyatakan Mendikbud Anies Baswedan, kemudian bisa digunakan ketika ada
kepastian K-13 diimplementasikan kembali rasanya tidak dapat melepaskan beban
sekolah maupun pemerintah daerah begitu saja. Apalagi jika dikaitkan dengan
pemeriksaan penggunaan DAK oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hal tersebut
akan disimpulkan sebagai penggunaan atau pembelanjaan yang tak bermanfaat
atau tidak semestinya. Ujungnya bisa jadi penilaian terhadap penggunaan
anggaran itu masuk kategori disclaimer.
Siapa Diuntungkan?
Berdasar
kacamata akibat dan beban itu, pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang
diuntungkan dari dikembalikannya model pembelajaran dengan menggunakan KTSP?
Menunjuk
pemerintah rasanya tidak mungkin. Sebab, kita tahu orientasi pemerintah saat
ini adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya sehingga
upaya penghematan penggunaan anggaran melalui pembatasan rapat di hotel serta
makanan produk dalam negeri (baca: singkong) pun telah dilakukan.
Menjawab
pertanyaan itu, mari kita tengok ke gudang-gudang penerbit buku yang sebelum
K-13 diimplementasikan telah menyiapkan stok buku KTSP lumayan banyak. Konon,
nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Buku-buku itu tidak akan bisa
”diuangkan” jika keputusan pemerintah tetap menjalankan K-13. Persoalannya
menjadi lain ketika kini telah diputuskan bahwa hanya enam ribuan sekolah
yang tetap akan mengimplementasikan K-13.
Tahulah kini siapa sesungguhnya yang diuntungkan. Bisa jadi kementerian
tidak pernah memahami ujung dari ”permainan” ini karena rapinya strategi yang
digunakan. Tapi, apakah kita tetap membiarkan beban orang tua terus bertambah
untuk mewujudkan cita-cita buah hatinya setelah menerima kenyataan BBM dan
barang ikutan lainnya pun telah naik. Wallahu
a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar