Lapas
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
30 November 2014
Saya belum pernah jadi penghuni lapas (lembaga pemasyarakatan/penjara).
Mudah-mudahan tidak akan pernah untuk selamalamanya. Tapi saya cukup sering
kontak dengan lapas.
Sebagai dosen muda, pada tahun 1970-an saya pernah mengajar psikologi
di AKIP (Akademi Ilmu Pemasyarakatan) yang pada waktu itu masih berlokasi di
belakang Lapas Salemba. Sebagai Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian,
Program Pascasarjana UI, saya pernah membimbing tesis master 3-4 orang
mahasiswa pegawai lapas.
Sebagai psikolog saya pernah menjenguk klien saya yang terlibat narkoba
dan sebagai peneliti beberapa kali saya masuk lapas di Jakarta, Tangerang,
Nusa Kambangan, dan Makasar untuk berbincang dengan beberapa terpidana
terorisme yang menjadi narasumber saya. Sebagaimana kita ketahui, lapas
adalah rangkaian terakhir dari sistem pidana di Indonesia yang terdiri atas
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lapas.
Tugas polisi adalah menangkap, menyelidiki, dan menyidik orang yang
disangka telah melanggar hukum pidana. Jaksa akan menuntut tersangka ke
pengadilan dan hakim di pengadilan akan menjatuhkan vonis sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang berlaku. Terpidana lalu akan dikirimkan ke
lapas untuk mendapatkan pembinaan sesuai dengan doktrin pemasyarakatan.
Ibaratnya rumah sakit, lapas menyembuhkan penyandang kriminal yang
sakit sosial sampai dia sembuh dan bisa kembali ke masyarakat. Jadi lapas
bukan penjara yang menghukum orang karena balas dendam atau agar dia jera.
Tapi sebagaimana juga sudah menjadi rahasia umum, fungsi lapas sebagai
lembaga pemasyarakatan jauh panggang dari api.
Narapidana-narapidana koruptor dan narkoba yang bergelimang uang bisa
menyewa ruang mewah ber-AC dengan fasilitas khusus, bahkan kalau mau dia bisa
jalan-jalan ke Bali seperti Gayus yang narapidana kasus korupsi. Walaupun
demikian apa yang diketahui masyarakat melalui media massa belum apa-apa.
Di dunia narapidana papan bawah, ada napi yang disebut ”adik-adikan”,
”abang-abangan” dan ”bokapbokapan”. Adik-adikan adalah napi yang dilindungi
oleh abang-abangan, sebaliknya adik-adikan ini harus melayani kebutuhan
abang-abangan mulai dari duit sampai seks. Tentang seks ada yang disebut
”matahari” atau ”bobol” yang maksudnya adalah anus untuk di-BSD, yaitu
singkatan dari Bumi Serpong Damai yang artinya sodomi.
Napi-napi berduit yang suka bagi-bagi makanan disebut bokap-bokapan,
sedangkan napi-napi yang paling jagoan, galak, ditakuti (secara fisik)
disebut ”brengos” (walaupun tidak selalu mereka berkumis). Ada lagi yang
namanya ”bapak-bapakan”, yaitu sipir (petugas) yang menjadi penghubung antara
napi dan keluarganya, misalnya untuk menyelundupkan ”kapal selam” atau
kiriman dari keluarga (tidak jarang berupa barang yang dilarang seperti
narkoba).
Untuk petugas diperbantukan ”tamping” yang pekerjaannya bermacam- macam
seperti tamping masjid, tamping besukan, tamping portir, tamping dapur,
tampinglistrik. Adapununtukmembedakan antarmereka sendiri, para napi punya
istilah yang juga khas seperti ”sa kong sa” dari bahasa Tionghoa yang artinya
Pasal 303 KUHP tentang perjudian atau ”san sie pak”, Pasal 378 KUHP tentang
penipuan.
Penipu lebih dibenci sesama napi, tetapi yang diang-gap paling hina
adalah pemerkosa. Apa yang mau saya katakan di sini adalah bahwa dunia lapas,
khususnya dunia napi, punya budaya sendiri yang tidak sepenuhnya dalam
kendali para petugas, bahkan petugas merupakan bagian dari dunia itu dan
karenanya petugas juga menyesuaikan diri dengan budaya itu.
Masalah timbul ketika, pasca-Bom Bali I, mulai masuk para napi
terorisme. Jumlah mereka sengat sedikit, pernah mencapai 400-an di saat
maraknya bom-bom di Indonesia, tetapi data per tanggal 21 November 2014,
jumlah mereka tinggal 273 orang se-Indonesia (banyak yang sudah bebas).
Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah napi dan tahanan
se-Indonesia pada tanggal yang sama, yaitu 162.439 orang. Jadi hanya 0,17%
saja. Tapi mereka yang sedikit ini tidak tersebar di seluruh lapas di
Indonesia, melainkan terkumpul pada beberapa lapas tertentu saja. Di
lapas-lapas tertentu itu, jumlah mereka bisa mencapai beberapa belas sampai
beberapa puluh orang, tetapi napinapi teroris ini membawa budaya sendiri ke
dalam lapas.
Sebagai napi khusus (terorisme), mereka ditempatkan secara khusus
sehingga mereka menjadi kelompok yang eksklusif dan menjalani rutinitas
mereka sendiri (salat berjamaah, tausiah di antara mereka sendiri, tetap
memelihara jenggot dan memakai celana 3/4, dsb) tanpa memedulikan budaya
lapas yang ada. Apalagi jika ada napi yang punya wibawa seperti Abu Bakar
Baasyir/ABB (sebelum ditempatkan di Nusakambangan, ABB pernah menghuni Lapas
Cipinang).
Maka napi yang lain pun akan mudah jadi simpatisan, bahkan para petugas
juga ada yang sudah ikut-ikutan radikal. Itulah yang menyebabkan tidak
sedikit napi teroris yang menjadi residivis selepas mereka menjalani
hukumannya. Ditinjau dari sistem peradilan pidana, pihak lapas sebagai mata
rantai terakhir dari sistem itu bisa dianggap tidak terlalu berhasil.
Banyak yang menyesalkan hal ini, terutama pihak korban maupun
kepolisian yang telah bersusah payah menangkap para pelaku teror itu. Di sisi
lain, pihak lapas sendiri belum pernah dibekali pedoman bagaimana memperlakukan
para napi khusus teroris ini dan jumlah petugas pun sangat sedikit
dibandingkan dengan napi yang harus dijaganya.
Di suatu lapas bisa terjadi yang bertugas hanya 8 orang tanpa senjata
api, sedangkan yang dijaga beberapa ratus napi. Alasannya klasik, pemerintah
tidak punya dana. Tapi selama tidak ada pejabat pemerintah pembuat kebijakan
atau anggota DPR yang peduli, kondisi lapas akan selamanya seperti ini.
Jangan salahkan petugasnya kalau jaringan terorisme dan narkoba makin
berkembang justru dari dalam lapas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar