Media
Sosial yang Menghibur
Arswendo Atmowiloto ; Penulis sering mengamati dunia maya
|
KORAN
JAKARTA, 03 Desember 2014
Hastag
#Tebakan @sudjiwotedjo perlu dijelaskan. Kira-kira maksudnya, ada rubrik
tebak-tebakan dalam Twitter yang digunakan Sudjiwo Tejo. Kisah dunia maya ini
agaknya lebih nyata dari sebenarnya. Komunikasi bukan hanya live, tapi juga ada komentar kritis, nyinyir,
atau ngawur. Alam tersebut lebih bergegas dari media cetak. Dia juga jauh
lebih beremosi dari media elektronika. Isinya lebih puitis. Dalam #Tebakan,
misalnya, muncul pertanyaan, “Perempuan mana yang paling sering dinaiki?”
Jawabannya bisa beragam. Titiek Vespa atau Nicky Astrea. Mana pun keliru
karena menurut @sudjiwotedjo, jawaban “jenius” adalah: Yu Tub. Mereka yang
dapat menangkap bisa mengartikan sebagai You Tube. Yu kependekan mbakyu. Ini
panggilan akrab perempuan. Kebetulan namanya Tub. Maka, pertanyaan tadi dapat
saja dijawab “yu”, sementara dinaiki bisa dipahami sebagai diunggah atau di-upload.
Diperlukan
kejelian intelektual untuk memahaminya. Ada tebakan lain, pertanyaan dan
jawaban tak ada hubungannya. Ternyata setelah ke sana-ke mari, maksudnya
“Ciluk-Ba”. Yang bisa disusul pertanyaan, ”Mana lebih dulu, ciluk atau ba?”
Jawaban dari tebakan-tebakan tersebut sebenarnya tak penting-penting amat.
Tujuan utamanya tersenyum. Di tengah dunia politik yang sumpek, ketika setiap
orang mengaku paling benar dan serba pencitraan menyesatkan, komunikasi
melalui Twitter lebih spontan dan lebih wajar.
Dalam
dunia seperti itu, harus disadari tak ada yang harus disikapi 100 persen
serius atau 100 persen bercanda. Dari dunia sepak bola, sering muncul sebuah
kesebelasan ditahan lawan. Muncullah godaan, “Memang salah apa, kok ditahan?”
Siapa saja bisa nimbrung, menyela, melarut, lalu meninggalkan. Dalam dunia
maya, juga bisa, saat sebuah topik dibahas, ada saja “tema” penyela.
Misalnya,
menawarkan sepatu atau barang lain. Bisa juga berupa tawaran jasa menaikkan
follower. Banyak orang terpesona menggunakan Twitter. Dari segi humor, ini
sungguh meneruskan lawakan model Basiyo, pelawak tradisional terbesar.
Nasihatnya yang masih terngiang, “Jangan beralasan tak ada pekerjaan. Kalau
mau tu, laut selatan dicat.” Atau model menagih duit para penarik becak yang
ikut “naik”. Ada kondisi tertentu untuk bisa ikut larut dunia Twitter. Perlu
juga memahami kasanah tertentu. Misalnya, istilah heuheu untuk menyatakan
kekaguman sekaligus ledekan.
“Ngopi”
bisa dikaitkan dengan minum kopi atau arti lain. Sedangkan “kurang piknik”
umumnya dimengerti sebagai dongok, pengetahuan terbatas, atau ketinggalan
zaman. Namun, dunia Twitter bukan hanya lelucon dan tebakan. Ketika ada ustaz
yang men-twit bahwa bahasa di surga yang tersisa hanyalah Arab, datang
pencerahan. @sahal, Akhmad Sahal, menjelaskan asal usul pengertian pendapat
itu dan letak kesalahannya. Disampaikan urut, beberapa kali—karena tiap
posting hanya 150 karakter, jelaslah semua melalui kultwit—kuliah melalui
Twitter.
Tiba-tiba
saja banyak persoalan berlompatan dalam kehidupan yang membingungkan dan
membuat picik, tapi bisa diselesaikan dengan mudah serta indah. Tentang
mengendarai lalu lintas dan soal apa saja. Atau mendengar doa pagi yang
ditulis @BilanganFu, Ayu Utami, atau ajakan mendoakan BJ Habibie saat dirawat
oleh @gm-gm, Goenawan Mohamad. Tetapi, favorit saya masih @arbainrambey,
Arbain Rambey, yang bisa menjadi tempat titipan jualan lensa serta
aksesorinya. Kemudian @ndorokakung, Ndoro Kakung, karena twit-nya luar biasa
lucu, haru, dan entah dari mana dapat bahannya, baru.
Bisa
juga propaganda sopan dari @KomunitasKretek atau materi yang 10 kali lebih
bernas dan cerdas dari @notaslimboy,Sammy Not A Slim Boy, yang biasa mentas
sebagai komik. Dunia Baru Kalau saja yang di-twit-kan bisa dipentaskan, dunia
panggung komik akan berbeda.
Iya,
mengapa isi twit tak ditampilkan. Pada akhirnya inilah dunia baru, media baru
yang sungguh ajaib dan heran. Satu kalimat dituliskan, dalam waktu sama, bisa
menyapa ratusan ribu atau jutaan pengguna Twitter. Semua itu bisa melipat
ganda hanya sekali pencet tombol, retweet. Itu pun masih bisa diperbanyak
seleluasa-leluasanya.
Keganasan
dan sarkastisnya akun Triomacan adalah contoh. Reaksi mantan artis, kini
anggota legislatif, yang mengatakan mau muntah melihat blusukan benar-benar
menjadi tumpahan muntahan sampai mblenger. Reaksi atas berita itu benar-benar
membuat muka merah, andai bisa dilihat warnanya.
Komentar
bisa mengenai blusukan atau mengenai muntah, entah masih bisa muntah kalau
sudah menopause, dan sengatan sejenisnya. Belum lama, ini contoh lain yang
masih bergema, saat Kota Bekasi menjadi planet lain, lebih dekat matahari,
sehingga panasnya di atas ubun-ubun. Kalau malam Minggu, nasib jomblo
memelas.
Mereka
menjadi kasta lebih dari sudra dan tak mungkin dikasihani lagi. Nama-nama
besar, kecil, atau sedang-sedang saja, bisa malang melintang. Mereka ditarik,
berkomentar, melebar, dan meneriakkan ampun-ampun untuk tidak nongol lagi.
Setelah itu, mereka masih ditanyakan ada di mana.
Semua
berlangsung selama 24 jam penuh, tiada henti. Temanya sebanyak yang dimaui.
Yang luar biasa, kutipan twit tertentu menjadi semacam kata-kata mutiara
zaman dulu. Namanya mungkin kata-kata mutwitara. Kegiatan ini bisa
berlangsung lebih tertata, dengan menjadikan semacam universitas terbuka.
Dosen-dosen
terkenal yang menguasai ilmu, membagikan, dan menjawab seluruh jenis
pertanyaan. Tetapi, serentak dengan itu, bisa berarti serbuan kritik tak
berbelas kasihan sama sekali, full
bullying, untuk satu dan lain hal. Sama ketika penggunanya berupaya
mempromosikan diri, karya, atau dua-duanya. Dalam pengertian ini, sebenarnya
masih berlaku hukum lama, kita sendiri yang dipaksa arif menyikapi informasi
umbruk-umbrukan, bertumpuk-tumpuk, tumpang tindih, sekaligus ambruk-ambrukan,
saling meniadakan.
Jadi, nikmati saja keterbukaan komunikasi demikian, seperti juga
membacai tulisan @sudjiwotedjo yang bertanya, ”Menulis kata ‘halaman’ yang
dobel huruf l atau n ya?” Ini bisa dijawab dan disenyumi. Senyumlah, ini
dunia Twitter! LOL (laughing out loud). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar