Dinamika
Politik Golkar
Andriadi Achmad ; Mahasiswa Program Doktoral UI
|
KORAN
JAKARTA, 03 Desember 2014
Dalam
kamus sejarah politik Indonesia, pada tahun 1964, berdiri Golongan Karya
(Golkar) atau Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) untuk
menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan politik.
Pada Orde Baru, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya sebagai
salah satu organisasi peserta pemilu.
Pada
pemilu tahun 1971, Golkar tampil sebagai pemenang dengan memperoleh 62,8
persen suara. Begitu juga pada setiap pemilu masa Orde Baru lainnya, Golkar
selalu menang mutlak. Lihat saja hasil pemilu 1982 (64,34 persen), 1987
(73,17 persen), 1992 (68,1 persen), dan 1997 (74,5 persen).
Tak bisa
dibantah, sepanjang Orde Baru, Golkar menjadi tunggangan pemerintah
mempertahankan kekuasaan. Saat itu, Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan
Pembina Golkar. Kemenangan-kemenangan Golkar dalam setiap pemilu ditengarai
ada rekayasa politik penguasa. Selain itu, pemerintahan Soeharto membuat
kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangannya, seperti monoloyalitas PNS.
Dengan
kejatuhan Orba, kebesarannya ikut tumbang. Bahkan Golkar dituntut bertanggung
jawab atas kondisi bangsa dan didesak dibubarkan. Walaupun terselamatkan dari
upaya pembubaran, secara realitas Golkar semakin mengecil dan meredup dalam
setiap pemilu. Tak menutup kemungkinan pada Pemilu 2024 atau tahun 2029
Golkar hanya menjadi bagian dari catatan sejarah dalam kamus politik
Indonesia.
Pada
pemilu pascareformasi, suaranya terus turun. Lihat saja pada pemilu 1999
(22,44 persen), 2004 (21,58 persen), 2009 (14,5 persen), dan 2014 (14,75
persen). Bila dicermati, perolehan suara beringin tersebut terus turun tajam.
Rapuh
Penurunan
suara Golkar dari pemilu ke pemilu antara lain karena kehilangan sosok
penyatu , terutama setelah Soeharto lengser. Dalam buku The Decline of Constitusional Democracy (Feith 1962), Herbert Feith membuat dua tipologi kepemimpin dalam
sejarah politik Indonesia: solidarity
maker dan tipe administrator.
Tipe
pertama lebih mengutamakan strategi retorik guna mengumbar gelora dan
penyatuan dengan memainkan simbol-simbol identitas. Sedangkan tipe lainnya
lebih mengedepankan kecakapan administrasi demi kelancaran implementasi visi
dalam jejaring aparatus negara.
Dalam
sistem perpolitikan Indonesia, pemimpin bertipe pertama atau the good father (bapak utama) dalam
sebuah parpol masih menjadi penentu utama partai. Lihat saja Megawati (PDIP),
SBY (Demokrat), Wiranto (Hanura), Prabowo Soebianto (Gerindra), atau Surya
Paloh (Nasdem).
Beberapa
parpol yang tidak memiliki solidarity maker, ketika mengalami guncangan dan
konflik internal, sulit terselesaikan seperti di PPP antara kubu SDA dan
Romi. Hal yang sama di internal PKB antara kelompok pendukung Gus Dur yang
akhirnya keluar dari partai membentuk Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia
(PKBI) pimpinan Yenni Wahid, tidak lulus verifikasi Pemilu 2014.
Partai
Golkar tidak membangun kaderisasi ideologi sehingga loyalitas dan pragmatisme
menjadi momok utama. Partai-partai tidak memiliki kaderisasi ideologi rentan
mengalami perpecahan internal dan saling serang antarkader. Selain itu,
keluar masuk anggota partai bebas. Ini bisa membuat kader loncatan partai
lain atau tokoh-tokoh populer masuk ke Golkar. Mereka bisa langsung menduduki
pos-pos penting tanpa mengikuti proses dan alur kaderisasi.
Hal itu
menimbulkan kecemburuan kader-kader yang sudah lama berkiprah di dalam.
Loyalitas dan ketaatan pada Golkar cenderung diragukan. Maka, tidak bisa
ditawar lagi, beringin harus membangun fondasi loyalitas. Perlu juga
menerapkan mekanisme kaderisasi ideologi secara masif dan berjenjang.
PDIP,
misalnya, menanamkan kaderisasi ideologi nasionalisme Soekarnoisme sehingga
loyalitas dan kesetian kader bisa diukur. Begitu juga kaderisasi ideologi
islami tarbiyah dakwah di PKS, semakin menumbuhkan dan menguatkan loyalitas
kader dalam kondisi apa pun. Kaderisasi ideologi bisa menjadi format dan
model perekrutan kader partai politik modern.
Munas
Konflik
internal Golkar menjelang dan setelah munas bukan bisa menajam. Bahkan setiap
kelar munas, selalu berdiri parpol pecahan Golkar. Saat ini, hampir sebagian
parpol didirikan mantan kader dan funsionaris Golkar seperti Partai Gerindra
didirikan Prabowo Subianto dan Partai Hanura didirikan Wiranto.
Prabowo
Soebianto dan Wiranto (calon presiden RI tahun 2004) adalah peserta konvensi
calon presiden Golkar tahun 2004. Begitu juga pada pertarungan perebutan
Ketum pada munas tahun 2009 sehingga menyebabkan hengkangnya Surya Paloh yang
lalu mendirikan ormas cikal partai Nasdem.
Musyawarah
Nasional IX Golkar 30 November–2 Desember 2014 saat ini tengah berlangsung di
Bali. Sejauh ini, dukungan deras dari DPD Golkar pada Aburizal Bakrie untuk
Ketum Golkar 2014–2019 menimbulkan perpecahan di tubuh Golkar. Kemudian
muncul Presidium Penyelamat Partai Golkar yang dikomandoi fungsionaris senior
Golkar, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Yorris Yareway, Agus Gumiwang
Kartasasmita, dan lain-lain.
Tidak
menutup kemungkinan setelah munas Bali dan terpilihnya Ical kembali menjadi
ketum Golkar akan melahirkan partai baru oleh Presidium Penyelamat Golkar.
Berdirinya partai baru pecahan bisa makin menyedot suara Golkar pada Pemilu
2019. Sejauh ini, Gerindra dan Hanura mengambil suara Golkar pada Pemilu
2009. Suara Golkar juga digerogoti Nasdem pada Pemilu 2014.
Penggerusan suara beringin secara natural dan perlahan-lahan di setiap
pemilu bisa jadi sebagai pertanda keruntuhan Golkar di pemilu 2019 dan 2024
serta tutup usia pada Pemilu 2029 saat umur 65 tahun. Maka, sejarah panjang
Golkar di panggung perpolitikan hanya tinggal kenangan. Oleh karena itu,
kehati-hatian Golkar dalam menentukan ketua umum 2014–2019 sangat menentukan
setelah berbagai kegagalan Ical menakhodai “kuning” selama lima tahun
terakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar