Selasa, 09 Desember 2014

Dinamika Politik Golkar

                                          Dinamika Politik Golkar

Andriadi Achmad  ;   Mahasiswa Program Doktoral UI
KORAN JAKARTA,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Dalam kamus sejarah politik Indonesia, pada tahun 1964, berdiri Golongan Karya (Golkar) atau Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan politik. Pada Orde Baru, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya sebagai salah satu organisasi peserta pemilu.

Pada pemilu tahun 1971, Golkar tampil sebagai pemenang dengan memperoleh 62,8 persen suara. Begitu juga pada setiap pemilu masa Orde Baru lainnya, Golkar selalu menang mutlak. Lihat saja hasil pemilu 1982 (64,34 persen), 1987 (73,17 persen), 1992 (68,1 persen), dan 1997 (74,5 persen).

Tak bisa dibantah, sepanjang Orde Baru, Golkar menjadi tunggangan pemerintah mempertahankan kekuasaan. Saat itu, Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Kemenangan-kemenangan Golkar dalam setiap pemilu ditengarai ada rekayasa politik penguasa. Selain itu, pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangannya, seperti  monoloyalitas PNS.

Dengan kejatuhan Orba, kebesarannya ikut tumbang. Bahkan Golkar dituntut bertanggung jawab atas kondisi bangsa dan didesak dibubarkan. Walaupun terselamatkan dari upaya pembubaran, secara realitas Golkar semakin mengecil dan meredup dalam setiap pemilu. Tak menutup kemungkinan pada Pemilu 2024 atau tahun 2029 Golkar hanya menjadi bagian dari catatan sejarah dalam kamus politik Indonesia.

Pada pemilu pascareformasi, suaranya terus turun. Lihat saja pada pemilu 1999 (22,44 persen), 2004 (21,58 persen), 2009 (14,5 persen), dan 2014 (14,75 persen). Bila dicermati, perolehan suara beringin tersebut terus turun tajam.

Rapuh

Penurunan suara Golkar dari pemilu ke pemilu antara lain karena kehilangan sosok penyatu , terutama setelah Soeharto lengser. Dalam buku The Decline of Constitusional Democracy (Feith 1962), Herbert Feith membuat dua tipologi kepemimpin dalam sejarah politik Indonesia: solidarity maker dan tipe administrator.

Tipe pertama lebih mengutamakan strategi retorik guna mengumbar gelora dan penyatuan dengan memainkan simbol-simbol identitas. Sedangkan tipe lainnya lebih mengedepankan kecakapan administrasi demi kelancaran implementasi visi dalam jejaring aparatus negara.

Dalam sistem perpolitikan Indonesia, pemimpin bertipe pertama atau the good father (bapak utama) dalam sebuah parpol masih menjadi penentu utama partai. Lihat saja Megawati (PDIP), SBY (Demokrat), Wiranto (Hanura), Prabowo Soebianto (Gerindra), atau Surya Paloh (Nasdem).

Beberapa parpol yang tidak memiliki solidarity maker, ketika mengalami guncangan dan konflik internal, sulit terselesaikan seperti di PPP antara kubu SDA dan Romi. Hal yang sama di internal PKB antara kelompok pendukung Gus Dur yang akhirnya keluar dari partai membentuk Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI) pimpinan Yenni Wahid, tidak lulus verifikasi Pemilu 2014.

Partai Golkar tidak membangun kaderisasi ideologi sehingga loyalitas dan pragmatisme menjadi momok utama. Partai-partai tidak memiliki kaderisasi ideologi rentan mengalami perpecahan internal dan saling serang antarkader. Selain itu, keluar masuk anggota partai bebas. Ini bisa membuat kader loncatan partai lain atau tokoh-tokoh populer masuk ke Golkar. Mereka bisa langsung menduduki pos-pos penting tanpa mengikuti proses dan alur kaderisasi.

Hal itu menimbulkan kecemburuan kader-kader yang sudah lama berkiprah di dalam. Loyalitas dan ketaatan pada Golkar cenderung diragukan. Maka, tidak bisa ditawar lagi, beringin harus membangun fondasi loyalitas. Perlu juga menerapkan mekanisme kaderisasi ideologi secara masif dan berjenjang.

PDIP, misalnya, menanamkan kaderisasi ideologi nasionalisme Soekarnoisme sehingga loyalitas dan kesetian kader bisa diukur. Begitu juga kaderisasi ideologi islami tarbiyah dakwah di PKS, semakin menumbuhkan dan menguatkan loyalitas kader dalam kondisi apa pun. Kaderisasi ideologi bisa menjadi format dan model perekrutan kader partai politik modern.

Munas

Konflik internal Golkar menjelang dan setelah munas bukan bisa menajam. Bahkan setiap kelar munas, selalu berdiri parpol pecahan Golkar. Saat ini, hampir sebagian parpol didirikan mantan kader dan funsionaris Golkar seperti Partai Gerindra didirikan Prabowo Subianto dan Partai Hanura didirikan Wiranto.

Prabowo Soebianto dan Wiranto (calon presiden RI tahun 2004) adalah peserta konvensi calon presiden Golkar tahun 2004. Begitu juga pada pertarungan perebutan Ketum pada munas tahun 2009 sehingga menyebabkan hengkangnya Surya Paloh yang lalu mendirikan ormas cikal partai Nasdem.

Musyawarah Nasional IX Golkar 30 November–2 Desember 2014 saat ini tengah berlangsung di Bali. Sejauh ini, dukungan deras dari DPD Golkar pada Aburizal Bakrie untuk Ketum Golkar 2014–2019 menimbulkan perpecahan di tubuh Golkar. Kemudian muncul Presidium Penyelamat Partai Golkar yang dikomandoi fungsionaris senior Golkar, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Yorris Yareway, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan lain-lain.

Tidak menutup kemungkinan setelah munas Bali dan terpilihnya Ical kembali menjadi ketum Golkar akan melahirkan partai baru oleh Presidium Penyelamat Golkar. Berdirinya partai baru pecahan bisa makin menyedot suara Golkar pada Pemilu 2019. Sejauh ini, Gerindra dan Hanura mengambil suara Golkar pada Pemilu 2009. Suara Golkar juga digerogoti Nasdem pada Pemilu 2014.

Penggerusan suara beringin secara natural dan perlahan-lahan di setiap pemilu bisa jadi sebagai pertanda keruntuhan Golkar di pemilu 2019 dan 2024 serta tutup usia pada Pemilu 2029 saat umur 65 tahun. Maka, sejarah panjang Golkar di panggung perpolitikan hanya tinggal kenangan. Oleh karena itu, kehati-hatian Golkar dalam menentukan ketua umum 2014–2019 sangat menentukan setelah berbagai kegagalan Ical menakhodai “kuning” selama lima tahun terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar