Rupiah
dan Tumbangnya Dua Presiden
Endang Suryadinata ; Penulis dan peneliti
Sejarah,
Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
|
JAWA
POS, 18 Desember 2014
Siapa
atau apakah yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia? Jawabnya
bukan para raja atau presiden, tapi uang. Rhoma Irama pernah menciptakan lagu
berjudul Rupiah yang liriknya, antara lain, berbunyi:
Tiada orang yang tak suka
Pada yang bernama rupiah
Semua orang mencarinya
Di mana rupiah berada
Walaupun harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak orang yang rela cuma karena rupiah
Memang sungguh luar biasa
Itu pengaruhnya rupiah
Jack
Weatherford, profesor antropologi di Macalester College, Minnesota, AS,
pernah menulis, sejak muncul 3.000 tahun lalu di Afrika Utara, uang punya
pengaruh luar biasa, kendati uang ’’per se’’ tidak memiliki makna apa pun.
Uang berpengaruh dan bermakna sejauh dikaitkan dengan manusia. Selama
berabad-abad, mitologi dan sastra Barat suka mengisahkan jatuh bangun manusia
dalam proses meraih atau menghabiskan uang. Itulah yang, antara lain,
diungkapkan Weatherford dalam buku The
History of Money (Crown Publishers,
New York, 1997).
Demikian
pula dalam sejarah kita, uang punya peran sangat besar. Lihat merosotnya
rupiah hari-hari ini hingga mendekati Rp 13.000 per dolar Amerika (USD) pada
penutupan Rabu (16/12). Jujur, pelemahan terburuk sejak 1999 itu membuat kita
semua cemas, terlebih para pelaku ekonomi. Bagi orang awam, merosotnya rupiah
jelas langsung berpengaruh apalagi menjelang Natal dan Tahun Baru.
Banyak
analis yang menulis, kurs rupiah yang mendekati Rp 13.000 per USD tersebut
dinilai sudah jatuh jauh dari fundamentalnya. Banyak faktor pelemahan rupiah.
Salah satunya tidak terlepas dari langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI)
yang memilih jalan untuk memperlambat perekonomian lewat kebijakan moneter
ketat.
Yang
kita takutkan adalah terjadinya capital
flight (arus modal keluar dari Indonesia). Menurut riset First Asia Capital, keluarnya modal
asing dari pasar keuangan Indonesia telah memperburuk kinerja rupiah terhadap
dolar AS sepanjang Desember ini. Berdasar kurs Jakarta Interbank Spot Dollar
Rate (Jisdor), rupiah terhadap dolar AS sepanjang bulan ini telah anjlok 3,3
persen.
Anehnya,
dalam situasi dan kondisi (sikon) demikian, pemerintah dinilai tidak
melakukan upaya intervensi. Malahan, ada persepsi di kalangan pelaku pasar
bahwa BI seolah menyetujui pelemahan kali ini. Tidak heran jika guru besar
ekonomi Profesor Sri Edi Swasono menulis surat terbuka ke Mahkamah Konstitusi
karena BI kehilangan tugas dan tanggung jawab ketika rupiah berada dalam
sikon gawat, sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru melindungi
kepentingan asing.
Sebenarnya,
sudah beberapa kali dalam sejarah negeri ini rupiah anjlok secara drastis.
Misalnya, Oktober 2008 seiring terjadinya krisis finansial global. Memang,
kalau kita melihat perjalanan rupiah, khususnya bila dibandingkan dengan mata
uang asing seperti USD, sejak berdirinya negeri ini, rupiah terus merosot
atau terkoreksi. Tidak heran jika pemerintah sering mendevaluasi rupiah.
Misalnya,
7 Maret 1946, terjadi devaluasi rupiah 29,12 persen. Semula, USD 1 setara
dengan Rp 1,88, lalu menjadi Rp 2,6525 per USD. Jadi, ketika itu, nilai
rupiah termasuk kuat. Pada Februari 1952, rupiah didevaluasi 66,67 persen. Semula,
USD 1 setara Rp 3,80, lalu menjadi Rp 11,40 per USD.
Kemudian,
pada 1964, rupiah didevaluasi 1 USD = Rp 250. Namun, di pasar gelap, nilainya
bisa Rp 2.000 per USD. Bayangkan, pada April 1964, rupiah jadi Rp 10.000 per
USD. Pada November 1964 bahkan menjadi Rp 28.000 per USD. Dan yang paling
parah, Desember 1965, nilai rupiah anjlok menjadi Rp 35.000 per USD seiring
jatuhnya rezim Soekarno.
Yang
boleh jadi tidak bisa dilupakan adalah kejadian pada 13 Desember 1965, yakni
ketika pemerintah mengumumkan nilai uang lama sebesar Rp 1.000 harus
ditukarkan dengan uang baru senilai Rp 1. Banyak orang yang menjadi gila
ketika itu, termasuk beberapa kerabat penulis yang gagal pergi haji atau
bisnisnya merugi dan bangkrut.
Menjelang
tumbangnya Soeharto yang dianggap berkontribusi dalam menumbangkan Bung
Karno, rupiah juga menjadi saksi. Pada awal krisis moneter, sekitar Oktober
1997, rupiah yang masih bernilai Rp 2.300 per USD dengan cepat merosot
menjadi Rp 5.000, kemudian terus terjun bebas menjadi Rp 10.000, dan
puncaknya pada April 1998 menjadi Rp 17.200 per USD. Itu berarti rupiah
terdevaluasi 750 persen dalam setahun. Soeharto pun lengser pada 21 Mei 1998.
Jadi,
begitulah, dalam sejarahnya, rupiah kerap terkoreksi, terdepresiasi, bahkan
terdevaluasi. Ada yang menyebut rupiah merupakan satu di antara tujuh mata
uang yang masuk kategori troubled
currency atau gampang anjlok nilai tukarnya (Business Insider, 29/7/2013).
Akhirnya, akankah anjloknya rupiah kali ini berpengaruh pada posisi
Presiden Jokowi? Kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar