Kontribusi
Akademik Ilmuwan Kita
Wahyudi Akmaliah ; Peneliti PMB-LIPI
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
APA penanda seseorang dikatakan
sebagai ilmuwan? Alih-alih mempertimbangkan intensitas keterlibatan mereka
dalam diskursus akademik, jerih payahnya memimpin sebuah institusi, atau
tingkat popularitas, seseorang dikatakan ilmuwan apabila memiliki karya dalam
buku ataupun jurnal.
Melalui kontribusi ini, gagasan,
ide, refleksi, dan eksperimentasi tesis diadu dalam ruang publik. Lebih jauh,
dalam ilmu-ilmu terapan, sejauh mana hasil karya yang dihasilkan dapat
bermanfaat untuk masyarakat.
Namun, di tengah lingkungan
akademik internasional yang semakin menyempit dan terkoneksi melalui globalisasi
jaringan dan transportasi sebagai bagian dari produk modernitas, kerja-kerja
akademik semacam itu saja ternyata tidak cukup.
Suka tidak suka, dalam dunia
akademik internasional, ada rezim pengukuran yang menjadi semacam otoritas
dalam menentukan apakah sebuah karya itu berdampak signifikan. Rezim inilah
yang disebut indeks kutipan (citation index).
Indeks kutipan semula untuk
memudahkan penarikan informasi bagi para ilmuwan. Namun, karena semakin
banyak digunakan untuk studi yang melibatkan evaluasi hasil penelitian (bibliometrics), lalu menjadi dasar
penghitungan dampak faktor (impact
factor) untuk mengevaluasi pengaruh atau mutu suatu jurnal dalam
bidangnya.
Indeks kutipan
Ada tiga indeks kutipan
karya-karya ilmiah, Science Citation
Index (SCI), Social Science
Citation Index (SSCI), dan Arts and
Humanities Citation Index (AHCI) (Suharto,
2014). Di sini, setidaknya ada lima institusi/situs yang dapat mengukur,
yaitu Thomson Scientific, Scopus, Citex, Google Scholar, dan Scimago Journal
Rank.
Penulusuran melalui Scimago Journal Rank menunjukkan,
ranking indeks kutipan keseluruhan subyek kajian sarjana Indonesia dari
berbagai bidang dalam jurnal-jurnal internasional dalam rentang 1996-2013
menempati urutan ke-61, satu peringkat lebih baik daripada Banglades (62).
Namun, dibandingkan negara Asia,
seperti Tiongkok (2), Jepang (5), India (9), Korea Selatan (12), Taiwan (16),
dan Hongkong (31), kita jauh tertinggal. Jika dipersempit dalam level Asia
Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura (32), Malaysia (37), dan Thailand
(43), tetapi sedikit lebih baik daripada Vietnam (66) dan Filipina (72).
Khusus untuk bidang ilmu sosial dan humaniora, Indonesia (60) di bawah
Filipina (56), Thailand (49), Malaysia (41), dan Singapura (40).
Apa persoalan utama yang membuat
kontribusi akademik Indonesia secara internasional tampak timpang, apakah
semata-mata karena penjajahan menciptakan proses ”pembodohan”?
Mungkinkah ada faktor
birokratisasi yang diwariskan oleh rezim Orde Baru? Atau, jangan-jangan itu
akibat struktur kemalasan sistemik dalam dunia akademik kita yang melihat
nasionalisme secara sempit sehingga melulu melihat ke dalam diri sebagai
kebanggaan semu dan lupa melihat negara tetangga?
Menurut Ariel Heryanto (2004),
menyalahkan penjajahan tidak bisa direproduksi terus-menerus sebagai bentuk
penghiburan diri. Sejumlah pengalaman negara pascakolonial justru memberikan
sumbangsih berpengaruh kepada dunia, seperti Amerika Latin yang memunculkan
teori ketergantungan tahun 1960-an dan Asia Selatan yang melahirkan studi
poskolonial.
Asia Timur, walaupun tidak
bersikap frontal dalam menggugat wacana ilmu sosial ”Barat”, secara perlahan
justru giat memproduksi khazanah kritis dan modern yang digeluti oleh sesama
kolega mereka.
Dampak Orde Baru
Orde Baru yang tumbang sejak 16
tahun lalu ternyata masih mewariskan dua hal. Pertama, adanya kultur yang
bersifat insuler dan melihat ke dalam dan lingkungan sendiri (inward looking). Maka, banyak ilmuwan
Indonesia, khususnya bidang sosial, yang hanya meriset tentang kampung,
daerah, dan negaranya sendiri. Akibatnya, selain miskin imajinasi untuk
memecahkan persoalan melalui riset, kita tidak memiliki imajinasi untuk
mempertautkan pengalaman dengan proses sosial, sejarah, dan perbandingan
dengan negara lain.
Kedua, ada struktur birokrasi
yang sistemik dalam lembaga riset negara dan perguruan tinggi. Tidak
dimungkiri, program-program riset yang ada kebanyakan lebih bersifat formal
dan sekadar melegitimasi kebijakan terkait. Akibatnya, selain tidak
memberikan sumbangsih kepada masyarakat, banyak akademisi tak bisa bersikap
kritis terhadap kebijakan pemerintah (Hadiz,
2013).
Di tengah situasi tersebut,
ilmuwan kita dihadapkan oleh logika kapital dan jeratan pasar. Pasar yang
menentukan arah agenda penelitian turut memengaruhi perilaku ilmuwan.
Terjadilah komodifikasi ilmu.
Memang kondisi itu tidak hanya
dialami Indonesia. Negara-negara maju, seperti Amerika, Perancis, dan
Australia, menghadapi tekanan serupa dari neoliberalisasi perekonomian.
Namun, tradisi dan sejarah panjang budaya akademik yang telah mereka bangun
menciptakan otonomi relatif, memungkinkan mereka bisa bernegosiasi (Hadiz, 2013).
Berangkat dari persoalan di
atas, penggabungan ristek dan pendidikan tinggi dalam kabinet kerja Joko
Widodo-Jusuf Kalla merupakan momentum yang pas untuk melakukan sejumlah
agenda reformasi sebagai bagian dari kritik internal secara masif, khususnya
dalam membentuk otonomi relatif dalam institusi riset dan perguruan tinggi.
Selain mengirimkan dosen dan
peneliti potensial untuk sekolah di luar negeri, menggenjot kapasitas dan
kapabilitas universitas dan lembaga riset di Indonesia untuk meriset,
menulis, dan menerbitkan hasil karya mereka di jurnal-jurnal internasional,
tindakan lain adalah menerapkan sistem meritokrasi, yaitu memberikan penghargaan
lebih kepada mereka yang berhasil. Kemudahan sistem birokrasi juga menjadi
prasyarat agar mereka tidak terbebani urusan administrasi.
Di
tingkat perguruan tinggi, sebagaimana diusulkan Mien A Rifai (2014), perlu
radikalisasi kurikulum, khususnya dalam tugas akhir dengan membatasi halaman
berkisar 15-20 halaman untuk disesuaikan dengan terbitan jurnal-jurnal
ilmiah, dan jenjang pendidikan seseorang menjadi perlu dipertimbangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar