Kamis, 04 Desember 2014

Kontribusi Akademik Ilmuwan Kita

                          Kontribusi Akademik Ilmuwan Kita

Wahyudi Akmaliah  ;   Peneliti PMB-LIPI
KOMPAS,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


APA penanda seseorang dikatakan sebagai ilmuwan? Alih-alih mempertimbangkan intensitas keterlibatan mereka dalam diskursus akademik, jerih payahnya memimpin sebuah institusi, atau tingkat popularitas, seseorang dikatakan ilmuwan apabila memiliki karya dalam buku ataupun jurnal.
Melalui kontribusi ini, gagasan, ide, refleksi, dan eksperimentasi tesis diadu dalam ruang publik. Lebih jauh, dalam ilmu-ilmu terapan, sejauh mana hasil karya yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk masyarakat.

Namun, di tengah lingkungan akademik internasional yang semakin menyempit dan terkoneksi melalui globalisasi jaringan dan transportasi sebagai bagian dari produk modernitas, kerja-kerja akademik semacam itu saja ternyata tidak cukup.
Suka tidak suka, dalam dunia akademik internasional, ada rezim pengukuran yang menjadi semacam otoritas dalam menentukan apakah sebuah karya itu berdampak signifikan. Rezim inilah yang disebut indeks kutipan (citation index).
Indeks kutipan semula untuk memudahkan penarikan informasi bagi para ilmuwan. Namun, karena semakin banyak digunakan untuk studi yang melibatkan evaluasi hasil penelitian (bibliometrics), lalu menjadi dasar penghitungan dampak faktor (impact factor) untuk mengevaluasi pengaruh atau mutu suatu jurnal dalam bidangnya.

Indeks kutipan

Ada tiga indeks kutipan karya-karya ilmiah, Science Citation Index (SCI), Social Science Citation Index (SSCI), dan Arts and Humanities Citation Index (AHCI) (Suharto, 2014). Di sini, setidaknya ada lima institusi/situs yang dapat mengukur, yaitu Thomson Scientific, Scopus, Citex, Google Scholar, dan Scimago Journal Rank.

Penulusuran melalui Scimago Journal Rank menunjukkan, ranking indeks kutipan keseluruhan subyek kajian sarjana Indonesia dari berbagai bidang dalam jurnal-jurnal internasional dalam rentang 1996-2013 menempati urutan ke-61, satu peringkat lebih baik daripada Banglades (62).

Namun, dibandingkan negara Asia, seperti Tiongkok (2), Jepang (5), India (9), Korea Selatan (12), Taiwan (16), dan Hongkong (31), kita jauh tertinggal. Jika dipersempit dalam level Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura (32), Malaysia (37), dan Thailand (43), tetapi sedikit lebih baik daripada Vietnam (66) dan Filipina (72). Khusus untuk bidang ilmu sosial dan humaniora, Indonesia (60) di bawah Filipina (56), Thailand (49), Malaysia (41), dan Singapura (40).
Apa persoalan utama yang membuat kontribusi akademik Indonesia secara internasional tampak timpang, apakah semata-mata karena penjajahan menciptakan proses ”pembodohan”?

Mungkinkah ada faktor birokratisasi yang diwariskan oleh rezim Orde Baru? Atau, jangan-jangan itu akibat struktur kemalasan sistemik dalam dunia akademik kita yang melihat nasionalisme secara sempit sehingga melulu melihat ke dalam diri sebagai kebanggaan semu dan lupa melihat negara tetangga?
Menurut Ariel Heryanto (2004), menyalahkan penjajahan tidak bisa direproduksi terus-menerus sebagai bentuk penghiburan diri. Sejumlah pengalaman negara pascakolonial justru memberikan sumbangsih berpengaruh kepada dunia, seperti Amerika Latin yang memunculkan teori ketergantungan tahun 1960-an dan Asia Selatan yang melahirkan studi poskolonial.

Asia Timur, walaupun tidak bersikap frontal dalam menggugat wacana ilmu sosial ”Barat”, secara perlahan justru giat memproduksi khazanah kritis dan modern yang digeluti oleh sesama kolega mereka.

Dampak Orde Baru

Orde Baru yang tumbang sejak 16 tahun lalu ternyata masih mewariskan dua hal. Pertama, adanya kultur yang bersifat insuler dan melihat ke dalam dan lingkungan sendiri (inward looking). Maka, banyak ilmuwan Indonesia, khususnya bidang sosial, yang hanya meriset tentang kampung, daerah, dan negaranya sendiri. Akibatnya, selain miskin imajinasi untuk memecahkan persoalan melalui riset, kita tidak memiliki imajinasi untuk mempertautkan pengalaman dengan proses sosial, sejarah, dan perbandingan dengan negara lain.

Kedua, ada struktur birokrasi yang sistemik dalam lembaga riset negara dan perguruan tinggi. Tidak dimungkiri, program-program riset yang ada kebanyakan lebih bersifat formal dan sekadar melegitimasi kebijakan terkait. Akibatnya, selain tidak memberikan sumbangsih kepada masyarakat, banyak akademisi tak bisa bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah (Hadiz, 2013).

Di tengah situasi tersebut, ilmuwan kita dihadapkan oleh logika kapital dan jeratan pasar. Pasar yang menentukan arah agenda penelitian turut memengaruhi perilaku ilmuwan. Terjadilah komodifikasi ilmu.

Memang kondisi itu tidak hanya dialami Indonesia. Negara-negara maju, seperti Amerika, Perancis, dan Australia, menghadapi tekanan serupa dari neoliberalisasi perekonomian. Namun, tradisi dan sejarah panjang budaya akademik yang telah mereka bangun menciptakan otonomi relatif, memungkinkan mereka bisa bernegosiasi (Hadiz, 2013).

Berangkat dari persoalan di atas, penggabungan ristek dan pendidikan tinggi dalam kabinet kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla merupakan momentum yang pas untuk melakukan sejumlah agenda reformasi sebagai bagian dari kritik internal secara masif, khususnya dalam membentuk otonomi relatif dalam institusi riset dan perguruan tinggi.

Selain mengirimkan dosen dan peneliti potensial untuk sekolah di luar negeri, menggenjot kapasitas dan kapabilitas universitas dan lembaga riset di Indonesia untuk meriset, menulis, dan menerbitkan hasil karya mereka di jurnal-jurnal internasional, tindakan lain adalah menerapkan sistem meritokrasi, yaitu memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berhasil. Kemudahan sistem birokrasi juga menjadi prasyarat agar mereka tidak terbebani urusan administrasi.

Di tingkat perguruan tinggi, sebagaimana diusulkan Mien A Rifai (2014), perlu radikalisasi kurikulum, khususnya dalam tugas akhir dengan membatasi halaman berkisar 15-20 halaman untuk disesuaikan dengan terbitan jurnal-jurnal ilmiah, dan jenjang pendidikan seseorang menjadi perlu dipertimbangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar