Komitmen
Perlindungan TKI
Pamungkas Ayudhaning Dewanto ; Peneliti Migrasi Internasional,
Departemen HI, Universitas Bina Nusantara
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
Presiden
Joko Widodo telah resmi melantik pimpinan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Saat bersamaan, Wakil Presiden Jusuf
Kalla mengisyaratkan keinginannya menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita
ke luar negeri hingga lima tahun ke depan. Apakah kedua langkah ini solusi
terpadu bagi karut-marut birokrasi penempatan dan perlindungan TKI kita?
Berbeda
dari sektor unggulan maritim yang diisi kalangan profesional, pemerintah
Jokowi justru menyerahkan mandat tertinggi lisensi (Kementerian
Ketenagakerjaan—M Hanif Dhakiri) serta penempatan dan perlindungan TKI (Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI/BNP2TKI–Nusron Wahid) kepada para
politisi Senayan.
Meski
keduanya dari Nahdlatul Ulama, mereka mewakili kepentingan dua parpol berbeda.
Belajar dari pengalaman kepemimpinan sebelumnya di tubuh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, ada kekhawatiran hal ini bakal memperuncing
kesenjangan kewenangan antardua lembaga yang telah lama kurang harmonis ini.
Kesenjangan
kewenangan antara Kemenakertrans dan BNP2TKI terjadi sejak kemunculan ”fungsi
penempatan TKI luar negeri” di Kemenakertrans tahun 2007. Sejatinya, Perpres No 81/2006 telah
mengamanatkan penyerahan fungsi penempatan luar negeri pada BNP2TKI. Hingga
saat ini, kompromi yang terbangun di antara dua institusi ini belum tercapai
secara sosiologis-formal, melainkan hanya kesepihakan (unilateralisme) yang mengarah pada
egosektoral. Bahkan, beberapa kali BNP2TKI menggugat ke Mahkamah Agung atas
peraturan Menakertrans berkaitan dengan lingkup pembagian kewenangan (turf battle).
Sebelumnya,
eksperimen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menunjuk seorang
diplomat untuk duduk di puncak kepemimpinan BNP2TKI sempat diharapkan bisa
menjadi penyelaras fungsi Direktorat Perlindungan WNI/BHI di bawah
Kementerian Luar Negeri serta KBRI/KJRI dalam meningkatkan koordinasi
sekaligus pengakuratan data pekerja migran kita di negara penempatan.
Netralitas
latar belakang kepemimpinan menjadi salah satu poin kritis di sini mengingat
perannya sebagai penyelaras (hub) berbagai kepentingan seperti melekat pada
agensi pemerintah, penyalur, perekrut, mitra luar negeri, serta TKI itu
sendiri.
Empat determinan
Perlindungan
TKI menjadi prioritas nomor satu dalam agenda Nawa Cita, sebagaimana
tercantum dalam dokumen visi-misi JKW-JK. Juga disebutkan, agenda ini tidak
hanya sebagai upaya khusus untuk perlindungan WNI, tetapi juga sebagai
program pemerintah meningkatkan peran diplomasi global. Ada empat determinan
utama untuk menilai kinerja lembaga penempatan dan perlindungan TKI ke depan.
Pertama,
sejauh mana pemerintah berkomitmen mengharmonisasikan peraturan
perundang-undangan penempatan TKI. Dalam berbagai dialog, ”penempatan” kerap
disepelekan kontribusinya terhadap ”perlindungan”. Contohnya, perekrutan yang
terstandardisasi dan sistem pendataan yang terintegrasi akan meminimalkan
risiko saat negara mengirimkan TKI di bawah umur atau yang di bawah
kualifikasi. Selama ini, tiap dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten
memiliki standar perekrutan berbeda, yang menandakan intervensi pusat untuk
menertibkan fungsi penempatan lemah.
Kedua,
keberanian presiden mengintervensi dan mengevaluasi kewenangan satu lembaga
dan lainnya jadi hal yang esensial untuk perbaikan sistemik. Saat ini,
belasan institusi turut berkontribusi dalam proses penempatan dan
perlindungan TKI. Tak jarang satu institusi dan institusi lain memikul beban
kewenangan dan kepentingan tumpang tindih, setiap institusi tak rela melepas
kewenangan yang secara legal ataupun historis telah lama melekat pada
institusinya.
Di
samping itu, faktor komplementaritas juga perlu dipertimbangkan. Sebagai
contoh, pemerintah yang khusus menangani perlindungan TKI justru kerap kali
tak memiliki perwakilan resmi untuk mengadvokasi para TKI di negara penempatan.
Alhasil, tak jarang terjadi saling lempar tanggung jawab antarinstitusi. Saat
ini, pemerintah hanya mengandalkan kinerja para atase ketenagakerjaan yang
belum memiliki kewenangan struktural lintas kelembagaan. Kasus pemberian
amnesti oleh Pemerintah Arab Saudi yang berujung kericuhan di KJRI Jeddah
pertengahan 2013 membuktikan lemahnya aspek ini.
Ketiga,
pemerintah harus keluar dari paradigma sempit pengiriman TKI sebagai saluran
alternatif pembangunan nasional. Hingga saat ini, pemerintah masih mempersepsikan
penempatan TKI semata-mata dalam kerangka mengatasi pengangguran. Padahal,
persoalan menempatkan TKI perlu mempertimbangkan dinamika pasar tenaga kerja
internasional yang cukup kompleks. Derasnya kasus yang menimpa TKI tak
sedikit disebabkan ketidaksiapan kualitas pekerja kita dihadapkan dengan para
pengguna (employer) yang menuntut
kinerja tinggi.
Keempat,
pemerintah sudah sepatutnya melacak lagi kinerja perekrutan di lapangan. Tak
sedikit lembaga perekrut di tingkat kabupaten justru berkolaborasi dengan
para pemburu rente (calo) dengan akses kuat terhadap penerbitan lisensi untuk
penempatan TKI. Lolosnya beberapa calon tenaga kerja yang tak layak (usia,
pendidikan, dan penguasaan bahasa) juga dihasilkan dari kelalaian petugas
rekrut yang juga diamini pemda sebagai pemberi rekomendasi. Karena itu,
pelatihan petugas rekrut calon TKI harus ditempatkan sebagai pilar untuk
mendelegitimasi keberadaan calo, bukan sebaliknya.
Pemerintah baru tidak boleh mengulang kekeliruan logika birokrasi
pemerintah sebelumnya. Langkah pemerintahan SBY membentuk berbagai satuan
tugas untuk mengatasi persoalan TKI hanya memperlebar jurang kewenangan
sekaligus mendelegitimasi peran lembaga formal-konstitusional. Kompleksitas
persoalan ini merefleksikan bahwa ditunjuknya para eksekutor penempatan dan
perlindungan TKI ini tidak akan melahirkan apa pun tanpa intervensi
proporsional presiden. Karena iu, peran dominan presiden tetap diharapkan
untuk mengawal langsung perbaikan di sektor ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar