Senin, 08 Desember 2014

Cara Jokowi Menghapus Kartu TKI

                          Cara Jokowi Menghapus Kartu TKI

Okky Asokawati  ;   Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PPP
JAWA POS, 06 Desember 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo akhir pekan lalu dalam acara e-blusukan dengan sejumlah tenaga kerja Indonesia di delapan negara melalui telekonferensi membuat keputusan penghapusan kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN), selanjutnya disebut kartu TKI. Keputusan itu diambil setelah mendapat desakan dari sejumlah TKI.

Keputusan spontan Jokowi menghapus kartu TKI tentu disambut gembira oleh para TKI. Karena memang kartu TKI dalam praktik di lapangan jauh panggang dari api. Teori dan praktik di lapangan berbeda 180 derajat. Bukannya kartu TKI menjadi kartu sakti bagi TKI kita, kartu itu justru menjadi kartu sakit bagi TKI. Sebab, tak sedikit yang membuat repot kalangan TKI.

Persoalan kartu TKI itu memang sudah lama disorot Komisi IX DPR. Karena dalam praktik di lapangan berbeda dengan teori di atas kertas, kartu TKI bertolak belakang. Para TKI baru mendapat kartu TKI apabila telah membayar asuransi. Di sisi lain, asuransi TKI juga bermasalah.

Masalah lainnya, bila TKI pulang ke Indonesia, yang bersangkutan tidak bisa kembali ke tempat bekerja bila kartu TKI tidak diperpanjang. Perpanjangan kartu TKI itu juga bergantung negara penempatan, apakah tersedia atau tidak. Singkatnya, perpanjangan kartu TKI sangat memberatkan para TKI, khususnya di bagian imigrasi.

Komisi IX DPR periode 2009–2014 kerap mengkritisi pelaksanaan kartu TKI bagi TKI kita. Bahkan, DPR periode lalu telah membahas terkait kartu TKI itu melalui perubahan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Panitia kerja perubahan (panja) membahas UU itu, antara lain, karena laporan dan temuan soal kartu TKI yang memang bermasalah di tingkat operasional.

Kendati demikian, dukungan penghapusan kartu TKI itu tidak berarti pada saat bersamaan juga dihapuskan pendataan TKI. Pendataan bagi para TKI baik yang akan berangkat maupun yang berada di negara penempatan tetap penting dilakukan sebagai alat untuk melakukan kontrol atau komunikasi antara pemerintah dan para TKI di tempat kerja masing-masing. Salah satu aspek perlindungan negara terhadap warga negaranya yang bekerja di luar negeri adalah melalui pendataan yang akurat.

Koreksi Cara Presiden

Keputusan Presiden Jokowi menghapus kartu TKI saat acara e-blusukan tersebut, semangatnya sama dengan apa yang telah dilakukan DPR 2009–2014 dengan upaya mengubah UU No 39 Tahun 2004 sebagai payung hukum keberadaan kartu TKI.

Bedanya, DPR melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengubah regulasi, sedangkan Jokowi tidak melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal, presiden maupun DPR memiliki kewenangan konstitusional yang sama dalam membentuk undang-undang. Presiden dapat menginisiasi rancangan undang-undang (RUU). Begitu juga DPR, dapat mengusulkan RUU inisiatif.

Bahkan, presiden dalam kondisi tertentu, seperti dalam keadaan genting dan memaksa, memiliki hak menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perppu). Walaupun, pada masa persidangan berikutnya perppu harus mendapat persetujuan DPR, apakah disetujui atau tidak.

Dalam konteks kartu TKI ini, Jokowi tampak alpa saat membuat keputusan penghapusan kartu TKI. Namun, di saat bersamaan, keberadaan kartu TKI telah menjadi norma yang diatur dalam pasal 62 ayat (1) UU No 39 Tahun 2004.
Padahal, derajat kekuatan UU itu di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR (Tap MPR), sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Langkah Jokowi yang menghapus kartu TKI memang secara substansi sudah tepat. Langkah Jokowi tentu populis di mata buruh migran. Pasalnya, memang praktik pelaksanaan kartu TKI itu berbeda dengan teori di atas kertas. Tentu langkah Jokowi cukup populis, aspiratif, dan responsif. Begitu memang ciri khas Jokowi selama ini, menampilkan kepemimpinan populis dan tidak berjarak dengan masyarakat.

Namun, sebagaimana disinggung di awal, kebijakan populis presiden tentu harus memiliki payung hukum yang jelas. Setiap langkah dan gerak presiden tentu tidak bisa keluar dari koridor hukum. Presiden dalam konteks ini justru harus menjadi teladan bagi publik dalam urusan taat hukum.

Dalam konteks penghapusan kartu TKI oleh presiden, semestinya presiden tidak memberikan harapan palsu kepada para TKI. Sebab, pernyataan presiden tersebut tidak serta-merta menghapus kartu TKI yang bermasalah itu. Norma UU tidak gugur dengan pernyataan atau kebijakan presiden. UU yang memayungi kartu TKI dapat berganti dengan UU perubahan yang menggantikannya.

Karena itu, agar presiden tetap populis di mata buruh dan tetap sesuai dengan konstitusi, konkretnya, pernyataan Jokowi harus ditindaklanjuti dengan pengajuan draf perubahan UU No 39 Tahun 2014 kepada DPR. Apalagi, saat ini DPR dan pemerintah sedang menyiapkan program legislasi nasional (prolegnas) periode 2015–2019.

Bekerja sesuai tertib hukum tentu tetap menjadi basis dalam kerja Presiden Jokowi. Jangan hanya karena ingin menyenangkan publik, namun di saat bersamaan, presiden menyimpan bara dalam sekam akibat pelanggaran prosedur hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar