Cara
Jokowi Menghapus Kartu TKI
Okky Asokawati ; Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PPP
|
JAWA
POS, 06 Desember 2014
PRESIDEN Joko Widodo akhir pekan
lalu dalam acara e-blusukan dengan sejumlah tenaga kerja Indonesia di delapan
negara melalui telekonferensi membuat keputusan penghapusan kartu tenaga
kerja luar negeri (KTKLN), selanjutnya disebut kartu TKI. Keputusan itu
diambil setelah mendapat desakan dari sejumlah TKI.
Keputusan spontan Jokowi
menghapus kartu TKI tentu disambut gembira oleh para TKI. Karena memang kartu
TKI dalam praktik di lapangan jauh panggang dari api. Teori dan praktik di
lapangan berbeda 180 derajat. Bukannya kartu TKI menjadi kartu sakti bagi TKI
kita, kartu itu justru menjadi kartu sakit bagi TKI. Sebab, tak sedikit yang
membuat repot kalangan TKI.
Persoalan kartu TKI itu memang
sudah lama disorot Komisi IX DPR. Karena dalam praktik di lapangan berbeda
dengan teori di atas kertas, kartu TKI bertolak belakang. Para TKI baru
mendapat kartu TKI apabila telah membayar asuransi. Di sisi lain, asuransi
TKI juga bermasalah.
Masalah lainnya, bila TKI pulang
ke Indonesia, yang bersangkutan tidak bisa kembali ke tempat bekerja bila
kartu TKI tidak diperpanjang. Perpanjangan kartu TKI itu juga bergantung
negara penempatan, apakah tersedia atau tidak. Singkatnya, perpanjangan kartu
TKI sangat memberatkan para TKI, khususnya di bagian imigrasi.
Komisi IX DPR periode 2009–2014
kerap mengkritisi pelaksanaan kartu TKI bagi TKI kita. Bahkan, DPR periode
lalu telah membahas terkait kartu TKI itu melalui perubahan UU No 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Panitia kerja
perubahan (panja) membahas UU itu, antara lain, karena laporan dan temuan
soal kartu TKI yang memang bermasalah di tingkat operasional.
Kendati demikian, dukungan
penghapusan kartu TKI itu tidak berarti pada saat bersamaan juga dihapuskan
pendataan TKI. Pendataan bagi para TKI baik yang akan berangkat maupun yang
berada di negara penempatan tetap penting dilakukan sebagai alat untuk
melakukan kontrol atau komunikasi antara pemerintah dan para TKI di tempat
kerja masing-masing. Salah satu aspek perlindungan negara terhadap warga
negaranya yang bekerja di luar negeri adalah melalui pendataan yang akurat.
Koreksi Cara Presiden
Keputusan Presiden Jokowi
menghapus kartu TKI saat acara e-blusukan tersebut, semangatnya sama dengan
apa yang telah dilakukan DPR 2009–2014 dengan upaya mengubah UU No 39 Tahun
2004 sebagai payung hukum keberadaan kartu TKI.
Bedanya, DPR melalui mekanisme
pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengubah regulasi, sedangkan
Jokowi tidak melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal, presiden maupun DPR memiliki kewenangan konstitusional yang sama
dalam membentuk undang-undang. Presiden dapat menginisiasi rancangan
undang-undang (RUU). Begitu juga DPR, dapat mengusulkan RUU inisiatif.
Bahkan, presiden dalam kondisi
tertentu, seperti dalam keadaan genting dan memaksa, memiliki hak menerbitkan
peraturan pengganti undang-undang (perppu). Walaupun, pada masa persidangan
berikutnya perppu harus mendapat persetujuan DPR, apakah disetujui atau
tidak.
Dalam konteks kartu TKI ini,
Jokowi tampak alpa saat membuat keputusan penghapusan kartu TKI. Namun, di
saat bersamaan, keberadaan kartu TKI telah menjadi norma yang diatur dalam
pasal 62 ayat (1) UU No 39 Tahun 2004.
Padahal, derajat kekuatan UU itu
di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR (Tap MPR), sebagaimana diatur dalam pasal
7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Langkah Jokowi yang menghapus
kartu TKI memang secara substansi sudah tepat. Langkah Jokowi tentu populis
di mata buruh migran. Pasalnya, memang praktik pelaksanaan kartu TKI itu
berbeda dengan teori di atas kertas. Tentu langkah Jokowi cukup populis,
aspiratif, dan responsif. Begitu memang ciri khas Jokowi selama ini,
menampilkan kepemimpinan populis dan tidak berjarak dengan masyarakat.
Namun, sebagaimana disinggung di
awal, kebijakan populis presiden tentu harus memiliki payung hukum yang
jelas. Setiap langkah dan gerak presiden tentu tidak bisa keluar dari koridor
hukum. Presiden dalam konteks ini justru harus menjadi teladan bagi publik
dalam urusan taat hukum.
Dalam konteks penghapusan kartu
TKI oleh presiden, semestinya presiden tidak memberikan harapan palsu kepada
para TKI. Sebab, pernyataan presiden tersebut tidak serta-merta menghapus
kartu TKI yang bermasalah itu. Norma UU tidak gugur dengan pernyataan atau
kebijakan presiden. UU yang memayungi kartu TKI dapat berganti dengan UU
perubahan yang menggantikannya.
Karena itu, agar presiden tetap
populis di mata buruh dan tetap sesuai dengan konstitusi, konkretnya,
pernyataan Jokowi harus ditindaklanjuti dengan pengajuan draf perubahan UU No
39 Tahun 2014 kepada DPR. Apalagi, saat ini DPR dan pemerintah sedang
menyiapkan program legislasi nasional (prolegnas) periode 2015–2019.
Bekerja
sesuai tertib hukum tentu tetap menjadi basis dalam kerja Presiden Jokowi.
Jangan hanya karena ingin menyenangkan publik, namun di saat bersamaan,
presiden menyimpan bara dalam sekam akibat pelanggaran prosedur hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar