Senin, 15 Desember 2014

Mati

                                                                        Mati

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


Mati adalah hak prerogatif Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan waktu itu tiba. Kalau begitu, kenapa ada manusia yang bisa merencanakan kematian seseorang yang dibenarkan secara hukum?

"Kamu mulai memancing perdebatan yang tak habis-habisnya," kata bayanganku. "Kamu mau mengatakan yang merencanakan kematian seseorang itu para jaksa kan? Lalu hakim bersepakat dan presiden tidak memberikan ampunan. Lantas ada perintah penembakan dan 12 anggota Brimob mengokang senjata laras panjangnya: dorr... Berita pun menyebar, terpidana mati sudah dieksekusi."

Sudah kuduga, bayanganku selalu mengajak berdebat, bukan aku yang memulai. Betul, aku mempertanyakan apakah hukuman mati masih layak di bumi ini. Apakah mati itu sebuah hukuman kalau kita berbicara konsep adanya lembaga pemasyarakatan? Bukankah lembaga ini tempat orang bertobat, menyesali perbuatan dosanya, dan pada saatnya kembali ke masyarakat? Bukankah Tuhan Maha Pengampun?

"Kamu sudah membawa-bawa nama Tuhan pula," sahut bayanganku. "Lihat pengedar narkoba itu, berapa besar korban akibat ulahnya. Divonis mati pun masih tetap mengendalikan bisnis narkobanya dari penjara. Aku mendukung Presiden Jokowi yang menolak grasi 64 terpidana mati narkoba. Juga para pembunuh kejam di negeri ini, termasuk teroris yang dengan enteng membunuh orang lewat aksi bomnya."

"Bagaimana kalau ternyata ada kesalahan dalam proses hukum atau ada unsur suap dan rekayasa lain. Orang mati tak bisa dihidupkan lagi," kataku.
"Karena itu, ada proses, tidak ujuk-ujuk. Ada pengadilan tingkat pertama, ada banding, ada kasasi, ada peninjauan kembali yang bisa diulang kalau ada novum baru, ada permohonan grasi. Dalam proses yang panjang itu, kesalahan bisa nihil."

Ah, bayanganku ini ngeyel. Mending setelah proses panjang itu final, terpidana langsung dieksekusi. Penundaan kelewat panjang tanpa ada lagi proses hukum justru mengabaikan hak asasi terpidana dan seolah dapat dua hukuman dalam satu kasus. Contoh Ibu Sumiarsih dan anak kandungnya, Sugeng. Masih ingat cerita ini? Lima anggota keluarga Sumiarsih, suami dan dua anaknya, plus satu menantu, membantai keluarga Letkol Marinir Purwanto di Surabaya. Yang dibantai pun lima pula, Purwanto dan istri, dua anaknya, dan satu keponakan. Itu terjadi pada 23 Agustus 1988. Pengadilan Surabaya menjatuhkan hukuman mati kepada lima anggota keluarga Sumiarsih. Djais Adi Prayitno, suami Sumiarsih, meninggal di penjara karena sakit. Lainnya dieksekusi dengan segera. Tetapi Sumiarsih dan Sugeng baru ditembak mati pada 18 Juli 2008.

Apakah kau merasakan penantian yang tak kunjung jelas itu hampir 20 tahun? Selama itu Sumiarsih bertobat dan mohon pengampunan dan dia telah menjadi "anggota masyarakat" di dalam dua lembaga pemasyarakatan: Malang dan Surabaya. Tiba-tiba ada keputusan untuk didor. Rumor menyebutkan, Sumiarsih dan Sugeng didor karena ada protes dari pihak Amrozy, terpidana mati Bom Bali. Kenapa Amrozy harus dieksekusi, padahal ada terpidana mati jauh sebelumnya yang masih tenang di penjara.

"Aku tak mau dengar rumor itu," kata bayanganku. "Aku berdiri di pihak korban. Masih lumayan Sumiarsih diberi hidup 20 tahun agar bisa memohon pengampunan, tapi apakah itu bisa menghidupkan lima anggota keluarga Marinir yang dibunuh dengan keji?"

"Ini balas dendam, ini bukan konsep lembaga pemasyarakatan," aku menjawab cepat. Bayanganku juga menimpali cepat, "Kalau tak mau dibalas dengan dendam, jangan memulai sesuatu yang menimbulkan dendam. Dendam ada kalanya memberi efek jera."

Aku diam. Ini contoh debat kusir yang tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar