Divestasi
Bank Mutiara
Eko B Supriyanto ; Direktur The Finance Research
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
BANK Mutiara yang dulu bernama Bank Century resmi dimiliki oleh J
Trust. Nilai pembelian jika menggunakan laporan keuangan Maret 2014 sebesar
3,5 kali price to book value (PBV). Bahkan, kalau menggunakan laporan
keuangan terakhir (September 2014), sebesar 3,7 kali PBV atau setara Rp 4,41
triliun (99,9 persen).
Jika dibandingkan dengan penjualan bank yang lazimnya menggunakan
pendekatan PBV, nilai penjualan Bank Mutiara sebenarnya dapat disebut
tertinggi di dunia untuk bank sekelasnya— menurut data Bloomberg rata- rata
PBV-nya 1,57 kali. Bahkan, ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
menjual bank-bank rekap seperti BCA, Bank Niaga, BII, Danamon, dan Bank
Permata sekalipun (2,73 kali PBV). Dibandingkan dengan rata-rata PBV bank
publik di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini—yang tak lebih dari 2,7
kali—penjualan Bank Mutiara sesungguhnya masuk harga premium.
Nilai penjualan Rp 4,41 triliun itu jika dihadapkan pada penyertaan
modal sementara (PMS) yang sebesar Rp 8,01 triliun, maka recovery rate
penjualan Bank Mutiara lebih dari 55 persen atau lebih baik dari tingkat
recovery rate dari penjualan bank akibat krisis tahun 1998 yang setara 28
persen.
Banyak pertanyaan dari masyarakat, terutama para pengamat, politisi,
ahli hukum, bahkan bankir yang banknya menikmati obligasi rekap, mengenai
nilai penjualan yang di bawah nilai PMS sebagai kerugian. Menurut
Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), setelah tidak bisa dijual
sesuai nilai talangan (bail out) setelah lima tahun, LPS berhak menjual
dengan harga optimal atau terbaik. Ibarat perusahaan asuransi milik negara,
jika ada klaim kendaraan yang tabrakan, tentu tidak bisa dianggap merugikan
negara.
Artinya, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, LPS tidak bisa
dinilai menjual dengan sebutan merugikan negara. Juga tidak bisa dikatakan
jika penjualan Bank Mutiara di bawah nilai bail out seperti mengonfirmasi
kerugian negara. Sebab, LPS bukan lembaga investment bank. Jika ia investment
bank, tentu tidak akan membeli Bank Century yang rusak pada tahun 2008 itu.
LPS tentu lebih memilih portofolio yang lebih menguntungkan dengan
membeli saham Mandiri, BRI, atau BCA. Tetapi, selain sebagai lembaga penjamin
simpanan masyarakat, peran LPS juga memberikan kontribusi dalam menjaga
stabilitas sektor perbankan, maka mau tak mau LPS harus mengelolanya.
Penyehatan bank di masa krisis bukan menyelamatkan pemilik bank,
melainkan menyelamatkan sistem perbankan. Jika sistem perbankan baik, akan
tercipta lingkungan usaha yang baik. Bayangkan, jika sistem perbankan
terganggu, bank tidak bisa menjalankan fungsi intermediasi, tentu pengalaman
1998/1999 tak bisa dilupakan begitu saja dengan pertumbuhan ekonomi yang
negatif. Krisis perbankan akan memicu krisis ekonomi dan krisis ekonomi akan
meledakkan krisis sosial, kerusuhan, penjarahan, dan akhirnya krisis politik.
Biaya
krisis
Kalkulasi kebijakan penyehatan sistem perbankan yang diambil selalu
berprinsip pilihan kebijakan mana yang paling kecil risiko dan biayanya.
Berapa biaya krisis yang akan dibayar jika mengambil sebuah kebijakan.
Pilihan menyelamatkan Bank Century dengan bail out Rp 8,01 triliun masih
lebih murah dibandingkan kalau Bank Century ditutup saja tahun 2008.
Hitung-hitungannya begini. Jika ditutup, tahun 2008 jumlah dana pihak
ketiga yang harus dibayar LPS (di bawah Rp 2 miliar) sebesar Rp 6,4 triliun,
dan dengan asumsi penjualan aset Rp 600 miliar. Jadi, biaya yang harus
dikeluarkan Rp 5,8 triliun. Itu pun dengan risiko bisa menjalar menjadi
krisis yang biayanya jauh lebih mahal. Pengalaman tahun 1998 yang awalnya
hanya menutup 16 bank tanpa ada program penjaminan, robohlah sistem perbankan
yang akhirnya biaya krisis mencapai Rp 650 triliun dengan recovery rate hanya
28 persen dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Adapun jika pilihannya diselamatkan, jumlah bail out Rp 8,01 triliun
dikurangi nilai jual Bank Mutiara Rp 4,41 triliun, maka biaya krisis Rp 3,6
triliun dengan hasil krisis tidak berlanjut. Menyelamatkan Bank Century dari
sisi biayanya masih lebih murah.
Hasilnya, kepercayaan perbankan kembali pulih, dana pihak ketiga dan
pemberian kredit meningkat serta laba bank meningkat. Juga pertumbuhan
ekonomi membaik, dunia usaha bergairah, dan pajak untuk negara bisa lebih
besar. Tidak terjadi peningkatan pengangguran akibat pertumbuhan ekonomi yang
negatif. Itulah hakikat menyelamatkan bank, di satu sisi mengeluarkan biaya
krisis, di sisi lain mendapatkan manfaat tak langsung. Penyelamatan bank
bukan sekadar matematika untung rugi secara langsung.
Karena itu pulalah, masyarakat perbankan memberikan penghargaan yang
tinggi kepada pemerintah yang membuat kebijakan penyelamatan perbankan pada
tahun 2008. Dan LPS telah melaksanakan fungsinya sebagai jaring pengaman
sistem keuangan (JPSK) dengan baik—dengan proses penjualan yang jauh lebih
baik dan transparan dengan melibatkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Posisi
asing
Sejak diselamatkan pada 20 November 2008 hingga akhir batas pengelolaan
oleh LPS pada 20 November 2014, Bank Mutiara selalu hangat dibicarakan.
Sedikit bank di mana pun, ketika diselamatkan hanya dengan modal minimum atau
sekadar hidup, bisa bertahan di tengah gempuran politik dan media yang
terus-menerus selama enam tahun tetap hidup. PMS dari LPS terakhir (2013)
antara lain harus ditempuh akibat gempuran tersebut. Akibatnya, biaya krisis
meningkat dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp 8,01 triliun.
Sebelum mengalami masalah dan pengambilalihan, menurut pemeriksaan BPK,
banyak BUMN dan lembaga dana pensiun pemerintah yang menyimpan uangnya di
Bank Century.
Mengenai tudingan J Trust terkait pemilik lama, dalam dokumen Condition
of Sales Purchase Agreement (CSPA) antara LPS dan J Trust, J Trust menyatakan
bahwa pihaknya bukan merupakan pemegang saham dan manajemen lama maupun
afiliasi dari pemegang saham dan manajemen lama, dan tidak berada dalam suatu
kesepakatan dalam bentuk apa pun yang dapat menyebabkan pemegang saham dan
manajemen lama mengendalikan J Trust.
Kepemilikan J Trust oleh pihak mana pun dimungkinkan disebabkan J Trust
merupakan perusahaan terbuka dan terdaftar di pasar modal. Namun, kepemilikan
J Trust oleh JP Morgan Whitefriars Inc London Branch, JP Morgan Securities
Japan Co Ltd, dan The Chase Manhattan Bank NA London SL Omnibus Account tidak
berkaitan dengan JP Morgan Chase Bank Luxembourg, karena entitas tersebut
merupakan badan hukum terpisah satu dengan yang lain. Sementara itu, menurut
data kepemilikan saham J Trust, tidak ditemukan adanya kepemilikan J Trust
oleh Nomura Bank International London.
Kepemilikan Bank Mutiara atas surat-surat berharga (SSB) yang
diterbitkan oleh JP Morgan Chase Bank Luxembourg ataupun Namura merupakan
aset bank yang saat ini jadi obyek sengketa dengan Tarquin Limited di Swiss.
J Trust berani membeli dengan harga tertinggi. Ini sebenarnya
menunjukkan bahwa investor asing lebih menghargai dan memahami potensi besar
bisnis bank di Indonesia. Bandingkan dengan penawaran oleh BRI yang bank BUMN
sebesar Rp 3 triliun. Ditambah lagi, BRI tidak mau mengambil kasus hukumnya.
Bank Mandiri yang pernah di- bail out pemerintah lewat obligasi rekap Rp 172
triliun bahkan tak ikut menawar, dan lebih tertarik mengakuisisi BTN.
Politisasi terhadap kebijakan ini telah menyisakan trauma yang dalam.
Terutama terhadap pengambil kebijakan yang berada di lingkungan otoritas
perbankan. Kasus Bank Century hanyalah sebuah kasus ekonomi yang dipolitisasi
dan digiring menjadi kasus hukum. Kekhawatirannya adalah Bank Indonesia
sebagai lender of the last resort
tidak akan pernah berfungsi lagi akibat ketakutan politisasi kebijakan
penyehatan bank. Satu-satunya jalan adalah segera membuat undang-undang JPSK.
Tanpa itu, sistem perbankan kehilangan pegangan, dan bukan tak mungkin krisis
perbankan akan menelan biaya lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar