Hari
Sejarah Indonesia
Mukhlis Paeni ; Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia
|
KOMPAS,
13 Desember 2014
”JIKA sebuah bangsa kehilangan jejak kesejarahan,
ia akan kehilangan masa lampau dan hidup di kekinian tanpa identitas. Karena
itu, bangsa seperti ini tidak akan pernah memiliki harapan untuk sebuah masa
depan.” Sartono Kartodirdjo
TIDAK
dapat dinafikan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya telah memiliki kesadaran
sejarah yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyak karya
kesejarahan berupa manuskrip/naskah yang tersebar di beberapa daerah. Entah
itu dalam wujud babad, lontara, tambo, hikayat, dan lain sebagainya.
Historiografi
tradisional ini mengalami degradasi pada era kekuasaan penjajahan Belanda
seiring dengan munculnya historiografi kolonial yang menempatkan pribumi
(baca: bangsa Indonesia) hanya sebagai obyek dalam penulisan sejarah. Ketika
itulah arsip kolonial menjadi sumber primer dan historiografi.
Pada era
kolonial itu pula tokoh-tokoh sejarah Belanda dan pribumi yang memihak
kepadanya ditempatkan secara khusus sebagai pemeran penting dalam sejarah
dengan predikat pahlawan. Sebaliknya, tokoh-tokoh pribumi yang melawan
Belanda ”diposisikan” sebagai penjahat, bandit, lanun, berandal, dan banyak
lagi. Seketika, setelah Indonesia merdeka, arus Indonesiaisasi mengalir deras
di segala bidang tanpa dapat dibendung oleh kekuatan apa pun, termasuk
Indonesiaisasi dalam pemikiran tentang kesejarahan.
Ketika
itulah muncul gagasan tentang perlunya Indonesia sentris dalam penulisan
sejarah Indonesia. Dengan demikian, sangat diharapkan akan lahir penulisan
sejarah Indonesia yang dapat mengungkapkan kehidupan bangsa dari berbagai
aktivitas politik, sosial, ekonomi, budaya dengan perspektif keindonesiaan,
dan berdimensi nasional.
Memang,
pada awalnya pemahaman keindonesiaan itu hanya dimanifestasikan secara
sederhana seperti yang diceritakan dalam historiografi pada awal kemerdekaan,
yang pengisahannya dibuat secara terbalik saja. Jika pada historiografi
kolonial tokoh-tokoh Belanda yang pahlawan dan tokoh-tokoh pribumi yang
penjahat, melalui Indonesiaisasi dalam historiografi Indonesia tokoh-tokoh
Indonesia yang pahlawan dan tokoh-tokoh Belanda yang penjahat.
Paradigma
Indonesiaisasi awal ini tampaknya masih bertahan hingga kini, hingga siapa
pun yang berpihak kepada Belanda menerima beban sejarah sebagai pengkhianat.
Persoalan
sejarah ternyata tidak sesederhana hanya dengan pemberian predikat pahlawan
dan pengkhianat. Indonesiaisasi sejarah bukan sekadar memberi warna
hitam-putih, atau sekadar menulis kisah terbalik dari sebuah alur cerita yang
sama.
Kesadaran sejarah
Sejarah
Indonesia adalah mozaik yang penuh warna, penuh romantika, dan suka duka dari
semua lapisan masyarakat. Sejarah tak hanya kisah orang-orang penting,
tokoh-tokoh, dan orang- orang besar. Sejarah adalah kisah banyak orang dari
berbagai lapisan masyarakat. Sejarah yang Indonesia sentris, seperti yang
diharapkan itu, harus mampu mengungkap berbagai dimensi dinamika kehidupan
bangsa dan rakyat Indonesia, tentu dari sudut pandang Indonesia. Jenis
historiografi seperti inilah yang diperlukan untuk pembangunan karakter
bangsa.
Kata
Indonesia sentris itulah, tampaknya, yang menjadi alasan utama perlunya
mengadakan Seminar Sejarah Nasional I pada 14-18 Desember 1957. Desakan akan
perlunya Indonesia sentris ketika itu muncul dari ketidakpuasan di kalangan
sejarawan terhadap tulisan-tulisan sejarah warisan historiografi kolonial
ketika itu.
Lahirlah
kemudian sebuah kesadaran tentang perlunya sejarah nasional Indonesia yang
nasionalistik, dengan bangsa Indonesia ditempatkan dalam posisi sentral,
sebagai subyek dalam penceritaan dan sebagai pemeran utama dalam kisah
sejarah.
Momentum
Seminar Sejarah Nasional I yang diadakan di Yogyakarta pada 14-18 Desember
1957 telah menjadi tonggak ingatan tentang perlunya menjaga memori kolektif
sebuah bangsa melalui ingatan sejarahnya. Atas alasan itu pula, Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) pada 6-7 Mei 2014 di Yogyakarta—bersamaan dengan
kegiatan Apresiasi Historiografi Indonesia—menyampaikan maklumat ”Hari
Sejarah Indonesia”, yang selanjutnya akan diperingati setiap tanggal 14
Desember oleh siapa saja yang memiliki kesadaran tentang sejarah.
Mengapa
kita sebagai bangsa perlu dan penting menjaga memori kolektif tersebut? Tak
lain karena kesadaran sejarahlah yang melahirkan solidaritas kebangsaan yang
senantiasa harus dijaga dan diperjuangkan bersama dengan jiwa dan raga:
Indonesia! Pada era otonomi daerah ini, kepedulian pada sejarah memang
meningkat, tetapi yang terjadi justru lebih mengutamakan kepentingan
lokalitas: sejarah kedaerahan yang terlepas dengan konteks sejarah nasional!
Pada
peringatan Hari Sejarah Indonesia, 14 Desember 2014, besok, kita tidak akan
memperdebatkan bagaimana seharusnya menulis sejarah. Kita juga tidak akan
mendiskusikan bagaimana cara belajar sejarah. Sebab, yang lebih penting dari
semua itu ialah bagaimana belajar dari sejarah.
Kesadaran
semacam ini pula yang menjadi kegundahan Sartono Kartodirdjo, ”Bapak Sejarah
Nasional Indonesia”, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Bahwa, ”Jika
sebuah bangsa kehilangan jejak kesejarahan, ia akan kehilangan masa lampau
dan hidup di kekinian tanpa identitas. Karena itu, bangsa seperti ini tidak
akan pernah memiliki harapan untuk sebuah masa depan”.
Selamat
Hari Sejarah Indonesia, 14 Desember 2014! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar