Agama,
Negara, dan Perempuan
Jaleswari Pramodhawardani ; Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan
Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute
|
KOMPAS,
16 Desember 2014
Apa yang kita bayangkan ketika
kata agama muncul dengan makna yang membingungkan? Bagi sebagian besar orang,
agama membangkitkan keilahian. Sebagian lainnya menghadirkan ketundukan, atau
bahkan taklid buta. Namun, ada juga yang merasakan kengerian pekat.
Seseorang atau institusi yang
mengatasnamakan ”pembela agama” seakan berhak menentukan boleh dan tidak
boleh bagi orang lain. Tuhan ditampilkan sesuai kemauan kelompoknya. Tuhan
yang sejatinya ”yang-maha-pengasih” menjadi ”yang-maha-menghukum”. Sejumlah
ulama dengan tangan negara bisa melenyapkan aliran yang mereka anggap
”sesat”.
Sulit membayangkan ada kelompok
masyarakat yang seumur hidupnya terdiskriminasi dan tersiksa hanya karena
negara tak mengakui agama dan keyakinan mereka.
Selama ini, negara hanya membatasi
dan memberikan ruang terhadap enam agama resmi. Terlalu sedikit sebenarnya
untuk keluasan dan keragaman yang dimiliki Indonesia.
Dewi, perempuan penghayat Sunda
Wiwitan di Jakarta Selatan, harus mengosongkan kolom agama di kartu tanda
penduduknya. Soal keyakinan rupanya punya konsekuensi lain di luar iman.
Negara tak hanya menyangkal
haknya dengan tidak mengeluarkan surat nikah berkaitan keyakinan yang
dianutnya, tetapi juga muncul ancaman hilangnya hak-hak lain, seperti hak
sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak untuk tidak
didiskriminasi.
Penderitaan itu akan diwariskan
ke anaknya kelak. Anak hasil pernikahan yang tidak diakui negara tak akan
mendapatkan akta kelahiran. Dalam formulir yang harus diisi untuk mendapatkan
kutipan akta kelahiran anak, di sana tertulis ”Penjelasan Pengakuan Anak di
Luar Kawin”.
Berbeda dengan akta kelahiran
anak pada umumnya, pada akta anak penghayat yang tercantum hanya nama ibu
sebagai simbol penerus garis keturunan yang sah.
Di Kuningan, misalnya, tahun
2005 ditemukan kutipan akta kelahiran dengan imbuhan kalimat ”Anak dari
seorang perempuan yang telah diakui oleh seorang laki-laki sebagai ayahnya”.
Penderitaan anak berlangsung dari lahir hingga kelak memasuki dunia
pendidikan, dunia kerja, dan kehidupan sosial lain.
Hal serupa dialami oleh Ibu
Dede, seorang penghayat Kaharingan dari Kalimantan Selatan yang lebih dari
setengah hidupnya di-kristen-kan dalam kolom agama di KTP. Belum lagi
stigmatisasi yang dilekatkan kepadanya akibat menganut agama kultural yang
diyakininya sejak lahir, jauh sebelum keberadaan negara ini.
Bagi perempuan dan anak-anak
Ahmadiyah, Syiah, juga kelompok penghayat, seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan,
dan Musi, hidup mereka seakan tidak dilindungi konstitusi.
Hak-haknya tidak diakui dan
orang-orang dibiarkan menyerang mereka. Sesuatu yang ganjil sebenarnya karena
konstitusi Indonesia mengamanatkan perlindungan terhadap seluruh warga negara
tanpa diskriminasi.
Negara gagal
Pengabaian hak perempuan dan
anak ini terjadi karena ketidakpedulian negara selama ini. Negara gagal
mengambil langkah-langkah dasar yang dibutuhkan untuk melindungi fisik dan
psikis perempuan dan anak-anak yang haknya dijamin konstitusi.
Penyiksaan perempuan dan anak
berbasis agama dan keyakinan ini sebagian berakar pada budaya dan politik
yang menyangkal persamaan hak perempuan dengan laki-laki, dan yang
melegitimasi perampasan hak-hak perempuan dan anak untuk kepuasan individu
atau tujuan politik tertentu.
Di banyak negara maju, hak asasi
manusia telah dianggap sebagai sebuah keniscayaan demokrasi yang tidak
terelakkan.
Kekerasan terhadap perempuan
yang diperparah oleh diskriminasi atas dasar ras, etnis, orientasi seksual,
status sosial, kelas, dan usia, ataupun diskriminasi lain, seperti membatasi
pilihan perempuan, meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan. Bahkan,
mereka lebih sulit mendapatkan ganti rugi jika tertimpa kasus.
Amnesti Internasional menegaskan
bahwa di bawah hukum internasional hak asasi manusia, negara memiliki
tanggung jawab untuk melindungi perempuan dari kekerasan, baik yang dilakukan
oleh pejabat negara maupun atas anjuran pejabat negara atau individual. Hal
ini juga terdokumentasikan dalam UU No 40/2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam kebijakan politik, negara
tak boleh diskriminatif terhadap kelompok atau golongan tertentu. Intervensi
negara terhadap kehidupan beragama setiap warga negara harusnya terbatas,
sepanjang tidak berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan,
kriminalitas, dan ketertiban umum.
Negara juga diikat oleh
kewajiban untuk mendorong terciptanya rasa toleransi, saling menghargai, dan
gotong royong di antara warga negara kepada kelompok-kelompok marjinal.
Gagasan toleransi ini perlu didasarkan kepada peletakan martabat warga pada
keunikan diri, keragaman suku, agama, jender, kelas, dan komunitas lokal.
Angin sejuk mulai diembuskan
oleh kabinet kerja Presiden Joko Widodo. Menteri Sosial, Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak memberikan respons positif tentang nasib kelompok rentan ini.
Ketidakadilan
itu telah lama berlangsung dalam senyap. Namun, seperti kata Ibu Dede, kita
wajib menyimpan harapan sekecil apa pun untuk perjuangan panjang yang telah
dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar