Rabu, 17 Desember 2014

Agama, Negara, dan Perempuan

                               Agama, Negara, dan Perempuan

Jaleswari Pramodhawardani  ;   Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan
Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute
KOMPAS,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


Apa yang kita bayangkan ketika kata agama muncul dengan makna yang membingungkan? Bagi sebagian besar orang, agama membangkitkan keilahian. Sebagian lainnya menghadirkan ketundukan, atau bahkan taklid buta. Namun, ada juga yang merasakan kengerian pekat.

Seseorang atau institusi yang mengatasnamakan ”pembela agama” seakan berhak menentukan boleh dan tidak boleh bagi orang lain. Tuhan ditampilkan sesuai kemauan kelompoknya. Tuhan yang sejatinya ”yang-maha-pengasih” menjadi ”yang-maha-menghukum”. Sejumlah ulama dengan tangan negara bisa melenyapkan aliran yang mereka anggap ”sesat”.

Sulit membayangkan ada kelompok masyarakat yang seumur hidupnya terdiskriminasi dan tersiksa hanya karena negara tak mengakui agama dan keyakinan mereka.

Selama ini, negara hanya membatasi dan memberikan ruang terhadap enam agama resmi. Terlalu sedikit sebenarnya untuk keluasan dan keragaman yang dimiliki Indonesia.

Dewi, perempuan penghayat Sunda Wiwitan di Jakarta Selatan, harus mengosongkan kolom agama di kartu tanda penduduknya. Soal keyakinan rupanya punya konsekuensi lain di luar iman.

Negara tak hanya menyangkal haknya dengan tidak mengeluarkan surat nikah berkaitan keyakinan yang dianutnya, tetapi juga muncul ancaman hilangnya hak-hak lain, seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak untuk tidak didiskriminasi.

Penderitaan itu akan diwariskan ke anaknya kelak. Anak hasil pernikahan yang tidak diakui negara tak akan mendapatkan akta kelahiran. Dalam formulir yang harus diisi untuk mendapatkan kutipan akta kelahiran anak, di sana tertulis ”Penjelasan Pengakuan Anak di Luar Kawin”.

Berbeda dengan akta kelahiran anak pada umumnya, pada akta anak penghayat yang tercantum hanya nama ibu sebagai simbol penerus garis keturunan yang sah.

Di Kuningan, misalnya, tahun 2005 ditemukan kutipan akta kelahiran dengan imbuhan kalimat ”Anak dari seorang perempuan yang telah diakui oleh seorang laki-laki sebagai ayahnya”. Penderitaan anak berlangsung dari lahir hingga kelak memasuki dunia pendidikan, dunia kerja, dan kehidupan sosial lain.

Hal serupa dialami oleh Ibu Dede, seorang penghayat Kaharingan dari Kalimantan Selatan yang lebih dari setengah hidupnya di-kristen-kan dalam kolom agama di KTP. Belum lagi stigmatisasi yang dilekatkan kepadanya akibat menganut agama kultural yang diyakininya sejak lahir, jauh sebelum keberadaan negara ini.

Bagi perempuan dan anak-anak Ahmadiyah, Syiah, juga kelompok penghayat, seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Musi, hidup mereka seakan tidak dilindungi konstitusi.

Hak-haknya tidak diakui dan orang-orang dibiarkan menyerang mereka. Sesuatu yang ganjil sebenarnya karena konstitusi Indonesia mengamanatkan perlindungan terhadap seluruh warga negara tanpa diskriminasi.

Negara gagal

Pengabaian hak perempuan dan anak ini terjadi karena ketidakpedulian negara selama ini. Negara gagal mengambil langkah-langkah dasar yang dibutuhkan untuk melindungi fisik dan psikis perempuan dan anak-anak yang haknya dijamin konstitusi.

Penyiksaan perempuan dan anak berbasis agama dan keyakinan ini sebagian berakar pada budaya dan politik yang menyangkal persamaan hak perempuan dengan laki-laki, dan yang melegitimasi perampasan hak-hak perempuan dan anak untuk kepuasan individu atau tujuan politik tertentu.

Di banyak negara maju, hak asasi manusia telah dianggap sebagai sebuah keniscayaan demokrasi yang tidak terelakkan.

Kekerasan terhadap perempuan yang diperparah oleh diskriminasi atas dasar ras, etnis, orientasi seksual, status sosial, kelas, dan usia, ataupun diskriminasi lain, seperti membatasi pilihan perempuan, meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan. Bahkan, mereka lebih sulit mendapatkan ganti rugi jika tertimpa kasus.

Amnesti Internasional menegaskan bahwa di bawah hukum internasional hak asasi manusia, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi perempuan dari kekerasan, baik yang dilakukan oleh pejabat negara maupun atas anjuran pejabat negara atau individual. Hal ini juga terdokumentasikan dalam UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam kebijakan politik, negara tak boleh diskriminatif terhadap kelompok atau golongan tertentu. Intervensi negara terhadap kehidupan beragama setiap warga negara harusnya terbatas, sepanjang tidak berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan, kriminalitas, dan ketertiban umum.

Negara juga diikat oleh kewajiban untuk mendorong terciptanya rasa toleransi, saling menghargai, dan gotong royong di antara warga negara kepada kelompok-kelompok marjinal. Gagasan toleransi ini perlu didasarkan kepada peletakan martabat warga pada keunikan diri, keragaman suku, agama, jender, kelas, dan komunitas lokal.

Angin sejuk mulai diembuskan oleh kabinet kerja Presiden Joko Widodo. Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan respons positif tentang nasib kelompok rentan ini.

Ketidakadilan itu telah lama berlangsung dalam senyap. Namun, seperti kata Ibu Dede, kita wajib menyimpan harapan sekecil apa pun untuk perjuangan panjang yang telah dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar