Rabu, 03 Desember 2014

HIV-AIDS di Era BPJS

                                             HIV-AIDS di Era BPJS

Dominicus Husada  ;   Dokter anak, Konsultan Infeksi dan Penyakit Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr Soetomo, Surabaya
JAWA POS,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


HIV-AIDS diidentifikasi sejak 1983. Empat tahun kemudian, kasus HIV dilaporkan untuk kali pertama di Indonesia. Dua puluh tujuh tahun kemudian, infeksi HIV-AIDS masih menjadi hal yang menakutkan. Jumlah penderita semakin banyak, obat ampuh belum bisa mengatasi secara sempurna, dan stigma dari masyarakat tetap menjadi persoalan serius.

Infeksi HIV-AIDS di dunia diperlakukan sebagai permasalahan penting sehingga dimasukkan sebagai salah satu poin tujuan milenium (MDGs) yang seharusnya diselesaikan pada 2015. Sayang sekali, diperkirakan hanya akan ada kurang dari 25 persen negara yang bisa mencapai MDGs tersebut dengan memuaskan. Indonesia mungkin tidak akan termasuk di dalamnya.

Dalam rangka Hari AIDS 1 Desember 2014, ada beberapa hal yang kiranya patut direnungkan. Pertama, jumlah penderita semakin banyak. Sekalipun dalam beberapa tahun terakhir jumlah penderita baru HIV-AIDS turun secara bermakna di banyak negara maju, termasuk di Asia, di negara kita grafik pertambahan pasien baru terus meningkat. Dalam laporan UNAIDS pada Juli 2014, Indonesia berada di peringkat ketujuh pada kelompok negara dengan penyediaan obat HIV yang belum baik dan transmisi penularan pada orang dewasa tinggi. Kita juga berada di 15 besar kelompok negara dengan kematian terbanyak.

Masalah kedua, Jawa Timur saat ini menempati posisi kedua di Indonesia. Selama bertahun-tahun, empat provinsi dengan jumlah penderita terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, dan Jawa Barat. Jika pada periode sebelumnya Jatim bertengger di urutan ketiga atau keempat, belakangan jumlah penderita naik drastis. Pertambahan penderita itu menunjukkan belum efektifnya upaya pencegahan dan penanggulangan di seluruh kabupaten/kota. Ketiga, penderita bayi dan anak juga terus bertambah. Mengingat kelompok terbesar yang sakit adalah ibu rumah tangga, mudah dipahami jika banyak bayi akan tertular. Sebab, 99 persen penularan kepada anak berasal dari ibu. Upaya pencegahan yang paling efektif adalah mendeteksi infeksi pada ibu hamil sejak dini. Kemenkes sebenarnya telah mencanangkan program tes HIV kepada seluruh ibu hamil di Indonesia. Sayang sekali, program itu belum dapat dilakukan dengan memuaskan. Cakupannya masih kurang dari 50 persen. Keterbatasan tenaga kesehatan, penyebaran alat dan bahan diagnosis, serta ketidaktahuan atau ketidakpedulian kaum perempuan memberikan kontribusi kegagalan pencapaian itu.

Tes HIV berbeda dengan tes penyakit lain, memerlukan persetujuan orang yang bersangkutan. Tanpa persetujuan, tes akan melanggar peraturan yang berlaku. Sebelum memberikan persetujuan, si ibu wajib mendapat penjelasan/konseling. Demikian pula setelah hasil tes keluar. Semua itu memerlukan waktu, sarana, dan tenaga ekstra. Biaya pengadaan alat diagnosis juga tidak mulus dialokasikan. Selain itu, banyak ibu yang menolak tes dengan berbagai alasan. Dari segi kesehatan, jika ibu pengidap HIV yang tidak mendapat pengobatan melahirkan seorang bayi yang juga tidak mendapat pengobatan, risiko si bayi tertular HIV sekitar 40 persen (bukan 100 persen). Namun, jika si ibu dan si bayi mendapat pengobatan sejak dini, angka 40 persen bisa tinggal 1 persen. Itulah alasan banyak klinik HIV di luar negeri ditutup. Pasien baru tidak ada lagi.

Persoalan keempat, belum semua penderita mendapat pengobatan. Obat HIV yang ada saat ini sudah efektif untuk menekan kematian sekalipun tidak bisa menyembuhkan secara total. Hal tersebut membuat penderita HIV sekarang menjadi beban kronis jangka panjang. Mirip dengan penderita diabetes atau kolesterol. Tidak meninggal, bisa hidup lama, namun perlu minum obat teratur. Kemajuan pengobatan tersebut merupakan hal yang luar biasa jika dibandingkan dengan apa yang kita punya 30 tahun lalu. Kemajuan pengobatan membuat banyak pakar cukup optimistis bahwa beberapa tahun ke depan penyembuhan bukan lagi hal yang mustahil. Hingga hari ini, baru ada satu pasien AIDS yang sembuh total. Pengobatan adalah cara paling efektif untuk mencegah kematian, serta penularan.

Belakangan WHO cenderung memperluas cakupan pengobatan sedini mungkin kepada semua golongan umur. Hampir di seluruh negara di dunia, obat HIV disediakan secara cuma-cuma. Di Indonesia, distribusi obat dilakukan di luar skema BPJS dengan pendanaan tersendiri. Sayang, masih banyak orang yang belum mendapat pengobatan, baik karena belum terdiagnosis atau menolak mengikuti aturan pengobatan yang memang ketat. Kelima, persoalan pendanaan. Sekalipun obat HIV gratis, penderita harus menanggung biaya lain seperti biaya laboratorium dan pemeriksaan. Memang jika Anda peserta BPJS, semua prosedur atau setidaknya sebagian besar fasilitas tersebut bisa diperoleh gratis. Tapi, tampaknya belum banyak orang yang mau menggunakan BPJS. Sebab, rujukan berjenjang akan membuka status mereka sebagai penderita HIV. Hal itu akan menjadi beban bagi keluarga di masyarakat yang masih memberlakukan stigma hebat kepada para penderita HIV.

Beberapa anak penderita HIV yang mengonsumsi obat secara teratur menduduki peringkat terhormat di kelasnya. Satu–dua anak seperti itu dikeluarkan dari sekolah setelah ada laporan bahwa mereka penderita HIV. Beberapa pasien mengeluh karena di kampung dijauhi warga sekitar. Tidak heran jika penderita atau keluarga kemudian memutuskan untuk tidak memanfaatkan jalur BPJS. Mungkin dapat diupayakan di masa selanjutnya agar penderita HIV memperoleh perlakuan yang berbeda dalam hal rujukan. Semua proses diupayakan disederhanakan supaya status penderita tidak perlu dibuka kepada semua orang. Jalur seperti itu telah tersedia bagi penderita non-HIV dari beberapa kelompok masyarakat yang biasanya difasilitasi pemerintah daerah setempat. Jika hal itu terwujud, salah satu beban yang masih menghadang bisa dikurangi.

WHO menargetkan 2030 sebagai akhir epidemi AIDS. Target tersebut hendak dicapai dengan mengurangi kasus baru, kematian, serta stigma dan diskriminasi sedikitnya 90 persen. Bagi beberapa negara, target itu cukup realistis. Bagi kelompok negara lain, seperti Indonesia, hal itu masih sangat berat. Tanpa perbaikan di banyak bidang, era BPJS tidak akan mampu mengurangi masalah yang menyangkut infeksi HIV-AIDS tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar