HIV-AIDS
di Era BPJS
Dominicus Husada ; Dokter anak, Konsultan Infeksi dan Penyakit Tropik
Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr Soetomo, Surabaya
|
JAWA
POS, 01 Desember 2014
HIV-AIDS diidentifikasi sejak 1983. Empat tahun kemudian, kasus HIV
dilaporkan untuk kali pertama di Indonesia. Dua puluh tujuh tahun kemudian,
infeksi HIV-AIDS masih menjadi hal yang menakutkan. Jumlah penderita semakin
banyak, obat ampuh belum bisa mengatasi secara sempurna, dan stigma dari
masyarakat tetap menjadi persoalan serius.
Infeksi HIV-AIDS di dunia diperlakukan sebagai permasalahan penting
sehingga dimasukkan sebagai salah satu poin tujuan milenium (MDGs) yang
seharusnya diselesaikan pada 2015. Sayang sekali, diperkirakan hanya akan ada
kurang dari 25 persen negara yang bisa mencapai MDGs tersebut dengan
memuaskan. Indonesia mungkin tidak akan termasuk di dalamnya.
Dalam rangka Hari AIDS 1 Desember 2014, ada beberapa hal yang kiranya
patut direnungkan. Pertama, jumlah penderita semakin banyak. Sekalipun dalam
beberapa tahun terakhir jumlah penderita baru HIV-AIDS turun secara bermakna
di banyak negara maju, termasuk di Asia, di negara kita grafik pertambahan
pasien baru terus meningkat. Dalam laporan UNAIDS pada Juli 2014, Indonesia
berada di peringkat ketujuh pada kelompok negara dengan penyediaan obat HIV
yang belum baik dan transmisi penularan pada orang dewasa tinggi. Kita juga
berada di 15 besar kelompok negara dengan kematian terbanyak.
Masalah kedua, Jawa Timur saat ini menempati posisi kedua di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, empat provinsi dengan jumlah penderita terbanyak
adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, dan Jawa Barat. Jika pada periode
sebelumnya Jatim bertengger di urutan ketiga atau keempat, belakangan jumlah
penderita naik drastis. Pertambahan penderita itu menunjukkan belum
efektifnya upaya pencegahan dan penanggulangan di seluruh kabupaten/kota.
Ketiga, penderita bayi dan anak juga terus bertambah. Mengingat kelompok
terbesar yang sakit adalah ibu rumah tangga, mudah dipahami jika banyak bayi
akan tertular. Sebab, 99 persen penularan kepada anak berasal dari ibu. Upaya
pencegahan yang paling efektif adalah mendeteksi infeksi pada ibu hamil sejak
dini. Kemenkes sebenarnya telah mencanangkan program tes HIV kepada seluruh
ibu hamil di Indonesia. Sayang sekali, program itu belum dapat dilakukan
dengan memuaskan. Cakupannya masih kurang dari 50 persen. Keterbatasan tenaga
kesehatan, penyebaran alat dan bahan diagnosis, serta ketidaktahuan atau
ketidakpedulian kaum perempuan memberikan kontribusi kegagalan pencapaian
itu.
Tes HIV berbeda dengan tes penyakit lain, memerlukan persetujuan orang
yang bersangkutan. Tanpa persetujuan, tes akan melanggar peraturan yang berlaku.
Sebelum memberikan persetujuan, si ibu wajib mendapat penjelasan/konseling.
Demikian pula setelah hasil tes keluar. Semua itu memerlukan waktu, sarana,
dan tenaga ekstra. Biaya pengadaan alat diagnosis juga tidak mulus
dialokasikan. Selain itu, banyak ibu yang menolak tes dengan berbagai alasan.
Dari segi kesehatan, jika ibu pengidap HIV yang tidak mendapat pengobatan
melahirkan seorang bayi yang juga tidak mendapat pengobatan, risiko si bayi
tertular HIV sekitar 40 persen (bukan 100 persen). Namun, jika si ibu dan si
bayi mendapat pengobatan sejak dini, angka 40 persen bisa tinggal 1 persen.
Itulah alasan banyak klinik HIV di luar negeri ditutup. Pasien baru tidak ada
lagi.
Persoalan keempat, belum semua penderita mendapat pengobatan. Obat HIV
yang ada saat ini sudah efektif untuk menekan kematian sekalipun tidak bisa
menyembuhkan secara total. Hal tersebut membuat penderita HIV sekarang
menjadi beban kronis jangka panjang. Mirip dengan penderita diabetes atau
kolesterol. Tidak meninggal, bisa hidup lama, namun perlu minum obat teratur.
Kemajuan pengobatan tersebut merupakan hal yang luar biasa jika dibandingkan
dengan apa yang kita punya 30 tahun lalu. Kemajuan pengobatan membuat banyak
pakar cukup optimistis bahwa beberapa tahun ke depan penyembuhan bukan lagi
hal yang mustahil. Hingga hari ini, baru ada satu pasien AIDS yang sembuh
total. Pengobatan adalah cara paling efektif untuk mencegah kematian, serta
penularan.
Belakangan WHO cenderung memperluas cakupan pengobatan sedini mungkin
kepada semua golongan umur. Hampir di seluruh negara di dunia, obat HIV
disediakan secara cuma-cuma. Di Indonesia, distribusi obat dilakukan di luar
skema BPJS dengan pendanaan tersendiri. Sayang, masih banyak orang yang belum
mendapat pengobatan, baik karena belum terdiagnosis atau menolak mengikuti
aturan pengobatan yang memang ketat. Kelima, persoalan pendanaan. Sekalipun
obat HIV gratis, penderita harus menanggung biaya lain seperti biaya
laboratorium dan pemeriksaan. Memang jika Anda peserta BPJS, semua prosedur atau
setidaknya sebagian besar fasilitas tersebut bisa diperoleh gratis. Tapi,
tampaknya belum banyak orang yang mau menggunakan BPJS. Sebab, rujukan
berjenjang akan membuka status mereka sebagai penderita HIV. Hal itu akan
menjadi beban bagi keluarga di masyarakat yang masih memberlakukan stigma
hebat kepada para penderita HIV.
Beberapa anak penderita HIV yang mengonsumsi obat secara teratur
menduduki peringkat terhormat di kelasnya. Satu–dua anak seperti itu
dikeluarkan dari sekolah setelah ada laporan bahwa mereka penderita HIV.
Beberapa pasien mengeluh karena di kampung dijauhi warga sekitar. Tidak heran
jika penderita atau keluarga kemudian memutuskan untuk tidak memanfaatkan
jalur BPJS. Mungkin dapat diupayakan di masa selanjutnya agar penderita HIV memperoleh
perlakuan yang berbeda dalam hal rujukan. Semua proses diupayakan
disederhanakan supaya status penderita tidak perlu dibuka kepada semua orang.
Jalur seperti itu telah tersedia bagi penderita non-HIV dari beberapa
kelompok masyarakat yang biasanya difasilitasi pemerintah daerah setempat.
Jika hal itu terwujud, salah satu beban yang masih menghadang bisa dikurangi.
WHO menargetkan 2030 sebagai akhir epidemi AIDS. Target tersebut hendak
dicapai dengan mengurangi kasus baru, kematian, serta stigma dan diskriminasi
sedikitnya 90 persen. Bagi beberapa negara, target itu cukup realistis. Bagi
kelompok negara lain, seperti Indonesia, hal itu masih sangat berat. Tanpa
perbaikan di banyak bidang, era BPJS tidak akan mampu mengurangi masalah yang
menyangkut infeksi HIV-AIDS tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar