Sabtu, 13 Desember 2014

Hak atas Kekayaan Intelektual

                                 Hak atas Kekayaan Intelektual

K Bertens  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


MAKSUD tulisan ini tentu saja bukan mempersoalkan hak atas kekayaan intelektual itu sendiri. HKI itu sangat penting. Posisi kita dalam dunia internasional akan terguncang terus bila pengusaha Indonesia menjiplak begitu saja merek dagang negara lain, misalnya. HKI justru harus didukung dan diperkuat. Yang dipertanyakan adalah apakah HKI itu terjemahan tepat untuk intellectual property rights dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, meragukan hal itu pun sudah merupakan perbuatan agak berani karena pemakaian istilah HKI (atau HAKI) sudah mantap dalam masyarakat. Sudah ada UU HKI dan sudah ada Direktorat Jenderal HKI di Kementerian Hukum dan HAM. Jadi, yang mau mempersoalkan terjemahan tadi harus mempunyai argumentasi kuat.

Alasan untuk mempersoalkan terjemahan ini tampak apabila kita menganalisis arti kata kekayaan. Kata ini menunjuk kepada substansi atau bobot. Sebaliknya, kata property tidak menunjuk kepada substansi atau kualitas isinya, tetapi hanya kepada suatu relasi saja, yaitu relasi kepemilikan. Tak ada satu kamus bahasa Inggris pun yang menunjukkan arti wealth (kekayaan) untuk kata itu. Yang ada penjelasan seperti ”a thing or things that are owned by somebody; possession(s)” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary). Karena itu, terjemahan lebih baik adalah hak milik intelektual. Jika seseorang menulis buku novel yang jelek sekali, penulisnya tetap mempunyai HKI atas buku itu. Apabila suatu saat ada penyusun buku sastra yang mau mengutip buku itu sebagai contoh tentang novel yang paling jelek dalam sastra Indonesia, ia pun harus menghormati HKI. Di sini tidak ada ”kekayaan”, tidak ada bobot yang berkualitas. Meski demikian, penulis itu tetap mempunyai hak atas karya yang ”miskin” itu, justru karena dia penulisnya.

Apabila kita membaca dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (ar. 2): ”Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as… property…, kita tidak akan menerjemahkan hak atas kekayaan. Terjemahan tepat adalah hak atas milik. Tidak benar bahwa setiap orang mempunyai hak atas kekayaan. Setiap orang mempunyai hak atas milik, seperti hasil kerjanya atau segala sesuatu yang ia miliki dengan sah.

Namun, diskusi tentang bahasa ini tidak terlalu penting juga. Lebih penting adalah penegakan hukum. Dan dalam hal ini Indonesia masih lemah. Misalnya, dekat hampir setiap kampus besar di Indonesia ada toko buku yang menjual buku-buku teks yang dipakai di universitas bersangkutan dalam bentuk bajakan. Padahal, pada halaman kedua bukunya ditulis ”Hak cipta dilindungi oleh undang-undang” dan sering kali disebut juga pidana penjara paling lama 7 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000. Dengan tidak tahu malu, hal itu pun tampak dalam edisi bajakan. Di bidang musik, hal yang sama terjadi dengan CD atau DVD bajakan yang dapat dibeli di mana-mana. Dan semua itu terjadi di negara yang menyebut dirinya negara hukum. Barangkali PR tambahan bagi pemerintahan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar