Agenda
Kerja Kementerian Agraria
Iwan Nurdin ; Sekretaris JenderalKonsorsium Pembaruan
Agraria, Jakarta
|
KOMPAS,
12 Desember 2014
PRESIDEN Joko Widodo telah
mengakomodasi usulan masyarakat sipil dengan membentuk Kementerian Agraria
dan Tata Ruang, bukan hanya Badan Pertanahan. Apakah ini akan menjadi jalan
bagi pelaksanaan reforma agraria yang dijanjikan dan langkah pemulihan UUPA
1960?
Dua harapan utama dari usulan
pembentukan kementerian ini adalah berlangsungnya tata kelola pemerintahan di
bidang agraria khususnya tanah (land
governance) yang baik dan untuk menghormati hak warga negara atas tanah
sekaligus menjalankan agenda reforma agraria.
Untuk mewujudkan harapan yang
pertama, setelah pelantikan, presiden dapat segera menerbitkan Peraturan
Presiden tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang ini dengan menggabungkan
beberapa kelembagaan pemerintah terkait tata ruang, yaitu Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Bappenas, Dirjen Tata Ruang di Kementerian PU,
Dirjen Planologi Kehutanan, dengan kelembagaan pemerintah terkait pertanahan,
yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Secara hukum, Kementerian
Agraria sesungguhnya amanat lama dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960
yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.
Penyempurnaan kelembagaan tata
ruang diharapkan menghasilkan satu kelembagaan yang solid dalam
mengoordinasikan perencanaan penguasaan, pengusahaan pemanfaatan atas seluruh
sumber-sumber agraria, yaitu tanah dan SDA secara nasional ke dalam rencana
tata ruang nasional.
Selain itu, dengan penggabungan
ini kementerian ini juga dapat melakukan pencegahan pengabaian rencana tata
ruang dan tata guna tanah melalui sistem administrasi hak atas tanah.
Dengan memakai kata agraria,
kementerian ini seharusnya mendapat kewenangan penuh melaksanakan sistem
pendaftaran hingga penerbitan hak atas tanah pada seluruh tanah di republik
ini tanpa terkotak-kotak pada kawasan hutan dan non kawasan hutan seperti
yang saat ini terjadi.
Sistem ini akan melindungi
jutaan rumah tangga masyarakat ada dan desa yang selama ini dianggap berada
di dalam kawasan hutan tanpa perlindungan hukum akibat ketiadaan sistem
administrasi hak atas tanah yang berlaku bagi mereka.
Langkah semacam ini tentu
membutuhkan penyesuaian hukum tanah dan sumber daya agraria yang selama ini
tumpang tindih. Karena itu, kementerian ini diharapkan dapat menjadi motor
dalam menyelaraskan aturan tentang sektor-sektor agraria di tingkat
pemerintah yang tumpang tindih.
Menurut catatan Pusat Hukum BPN,
pada tahun lalu saja sedikitnya terdapat 632 peraturan yang selama ini
tumpang tindih, dimulai dari UU hingga peraturan setingkat menteri.
Untuk langkah penyelarasan hukum
kementerian ini diharapkan memakai rambu-rambu yang diamanatkan oleh Tap MPR
No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ke
depan, kementerian ini sebaiknya ditunjuk sebagai pintu utama keluarnya
legislasi nasional dari sisi pemerintah yang terkait dengan agraria dan
sumber daya alam.
Karena itu, Kementerian Agraria
bisa menjadi jawaban atas masalah egosektoral antar-kementerian/lembaga yang
lebih luas di sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, energi/sumber daya
mineral, pertanian, dan pesisir-kelautan.
Agenda reforma agraria
Dalam sistem pemilihan presiden
langsung, tidak ada visi misi menteri. Yang ada adalah visi misi presiden
yang telah didaftarkan kepada KPU dan wajib dijalankan setelah terpilih.
Karena itu, agenda utama
kementerian ini adalah menjalankan pelaksanaan reforma agraria, khususnya
redistribusi atas tanah yang dijanjikan dalam visi misi seluas 9 juta hektar
dan penyelesaian konflik agraria yang saat ini sudah masuk ke dalam kategori
terstruktur, sistematis, dan masif.
Selama satu dekade pemerintahan
lalu (2004-2014) sedikitnya telah terjadi 1.391 konflik agraria, dengan luas
areal konflik 5,7 juta hektar dan korban lebih dari 926.700 keluarga.
Sebagian besar adalah konflik di wilayah perkebunan, infrastruktur, dan
kehutanan. Untuk itu, kementerian ini harus dapat bekerja dalam usaha
melakukan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria.
Dalam menjalankan reforma
agraria, Kementerian Agraria tidak dapat berjalan sendiri. Ada beberapa
kementerian yang wajib berkoordinasi, yaitu Kementerian LH dan Kehutanan,
Kementerian Pertanian, serta Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.
Anehnya, Kementerian Desa berada
dalam koordinasi Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sebaiknya
Presiden Jokowi memindahkan kementerian ini ke dalam Kemenko Perekonomian.
Koordinasi dalam Kemenko Perekonomian ini sangat diperlukan dalam menjalankan
sebuah reforma agraria yang komprehensif.
Terakhir, pelaksanaan reforma
agraria yang sukses selalu bersandarkan pada dukungan dan partisipasi aktif
masyarakat sipil, khususnya organisasi petani dan masyarakat adat. Sebab,
merekalah yang selama ini menuntut pelaksanaan agenda ini.
Partisipasi
dan pelibatan masyarakat dapat memastikan pelaksanaan reforma agraria tepat
dalam menentukan obyek atau wilayah pelaksanaan dan tepat dalam menentukan
para penerima manfaat langsung reforma agraria. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar