Sabtu, 13 Desember 2014

Agenda Kerja Kementerian Agraria

                          Agenda Kerja Kementerian Agraria

Iwan Nurdin  ;   Sekretaris JenderalKonsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta
KOMPAS,  12 Desember 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo telah mengakomodasi usulan masyarakat sipil dengan membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bukan hanya Badan Pertanahan. Apakah ini akan menjadi jalan bagi pelaksanaan reforma agraria yang dijanjikan dan langkah pemulihan UUPA 1960?

Dua harapan utama dari usulan pembentukan kementerian ini adalah berlangsungnya tata kelola pemerintahan di bidang agraria khususnya tanah (land governance) yang baik dan untuk menghormati hak warga negara atas tanah sekaligus menjalankan agenda reforma agraria.

Untuk mewujudkan harapan yang pertama, setelah pelantikan, presiden dapat segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang ini dengan menggabungkan beberapa kelembagaan pemerintah terkait tata ruang, yaitu Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Bappenas, Dirjen Tata Ruang di Kementerian PU, Dirjen Planologi Kehutanan, dengan kelembagaan pemerintah terkait pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Secara hukum, Kementerian Agraria sesungguhnya amanat lama dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.
Penyempurnaan kelembagaan tata ruang diharapkan menghasilkan satu kelembagaan yang solid dalam mengoordinasikan perencanaan penguasaan, pengusahaan pemanfaatan atas seluruh sumber-sumber agraria, yaitu tanah dan SDA secara nasional ke dalam rencana tata ruang nasional.

Selain itu, dengan penggabungan ini kementerian ini juga dapat melakukan pencegahan pengabaian rencana tata ruang dan tata guna tanah melalui sistem administrasi hak atas tanah.

Dengan memakai kata agraria, kementerian ini seharusnya mendapat kewenangan penuh melaksanakan sistem pendaftaran hingga penerbitan hak atas tanah pada seluruh tanah di republik ini tanpa terkotak-kotak pada kawasan hutan dan non kawasan hutan seperti yang saat ini terjadi.

Sistem ini akan melindungi jutaan rumah tangga masyarakat ada dan desa yang selama ini dianggap berada di dalam kawasan hutan tanpa perlindungan hukum akibat ketiadaan sistem administrasi hak atas tanah yang berlaku bagi mereka.
Langkah semacam ini tentu membutuhkan penyesuaian hukum tanah dan sumber daya agraria yang selama ini tumpang tindih. Karena itu, kementerian ini diharapkan dapat menjadi motor dalam menyelaraskan aturan tentang sektor-sektor agraria di tingkat pemerintah yang tumpang tindih.

Menurut catatan Pusat Hukum BPN, pada tahun lalu saja sedikitnya terdapat 632 peraturan yang selama ini tumpang tindih, dimulai dari UU hingga peraturan setingkat menteri.

Untuk langkah penyelarasan hukum kementerian ini diharapkan memakai rambu-rambu yang diamanatkan oleh Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ke depan, kementerian ini sebaiknya ditunjuk sebagai pintu utama keluarnya legislasi nasional dari sisi pemerintah yang terkait dengan agraria dan sumber daya alam.

Karena itu, Kementerian Agraria bisa menjadi jawaban atas masalah egosektoral antar-kementerian/lembaga yang lebih luas di sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, energi/sumber daya mineral, pertanian, dan pesisir-kelautan.

Agenda reforma agraria

Dalam sistem pemilihan presiden langsung, tidak ada visi misi menteri. Yang ada adalah visi misi presiden yang telah didaftarkan kepada KPU dan wajib dijalankan setelah terpilih.

Karena itu, agenda utama kementerian ini adalah menjalankan pelaksanaan reforma agraria, khususnya redistribusi atas tanah yang dijanjikan dalam visi misi seluas 9 juta hektar dan penyelesaian konflik agraria yang saat ini sudah masuk ke dalam kategori terstruktur, sistematis, dan masif.

Selama satu dekade pemerintahan lalu (2004-2014) sedikitnya telah terjadi 1.391 konflik agraria, dengan luas areal konflik 5,7 juta hektar dan korban lebih dari 926.700 keluarga. Sebagian besar adalah konflik di wilayah perkebunan, infrastruktur, dan kehutanan. Untuk itu, kementerian ini harus dapat bekerja dalam usaha melakukan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria.

Dalam menjalankan reforma agraria, Kementerian Agraria tidak dapat berjalan sendiri. Ada beberapa kementerian yang wajib berkoordinasi, yaitu Kementerian LH dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.

Anehnya, Kementerian Desa berada dalam koordinasi Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sebaiknya Presiden Jokowi memindahkan kementerian ini ke dalam Kemenko Perekonomian. Koordinasi dalam Kemenko Perekonomian ini sangat diperlukan dalam menjalankan sebuah reforma agraria yang komprehensif.

Terakhir, pelaksanaan reforma agraria yang sukses selalu bersandarkan pada dukungan dan partisipasi aktif masyarakat sipil, khususnya organisasi petani dan masyarakat adat. Sebab, merekalah yang selama ini menuntut pelaksanaan agenda ini.

Partisipasi dan pelibatan masyarakat dapat memastikan pelaksanaan reforma agraria tepat dalam menentukan obyek atau wilayah pelaksanaan dan tepat dalam menentukan para penerima manfaat langsung reforma agraria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar