Rabu, 17 Desember 2014

Dilema Kurukulum 2013

                                              Laporan Pendidikan dan Kebudayaan

Dilema Kurukulum 2013
KOMPAS,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


PADA ”hari ulang tahunnya” yang kedua, Kurikulum 2013 akhirnya dievaluasi.
Sudah diputuskan mulai tahun depan, untuk sementara, Kurikulum 2013 hanya akan diterapkan di 6.221 sekolah yang sejak Juli 2013 sudah menjalani uji coba. Sisanya kembali ke Kurikulum 2006 sampai betul-betul siap. A win-win solution.

Keputusan di pengujung tahun ajaran ini tak mudah karena akan mengubah seluruh proses pembelajaran di sekolah. Namun, menurut tim evaluasi Kurikulum 2013 atau sering disingkat K-13, keputusan ini pilihan kompromis mengakomodasi pandangan pro dan kontra mengenai K-13, meski ini kemudian dikoreksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. ”Ini bukan masalah kompromi. Ini demi kepentingan anak bangsa kita.”

Ada tiga pilihan dari tim evaluasi K-13. Pertama, penghentian total K-13. Kedua, sekolah yang sudah tidak bermasalah dengan K-13 silakan lanjut, tetapi sekolah yang belum silakan kembali ke Kurikulum 2006. Ketiga, tetap jalan seperti sekarang untuk semua sekolah, tetapi dengan evaluasi kekurangan. Pilihan jatuh pada penghentian K-13 di semua sekolah dan konsentrasi hanya pada 6.221 sekolah.

Pilihan ini memunculkan pertanyaan lanjutan. Jika ada sebagian sekolah memakai K-13 dan sebagian lagi pakai Kurikulum 2006, lalu bagaimana dengan proses evaluasi hasil belajar murid? Standar evaluasi seperti apa yang dibutuhkan? Apakah ujian nasional masih relevan dengan duo kurikulum yang ada? Masalah-masalah ini barangkali masih dibahas tim evaluasi K-13.

Bagi yang mengikuti perkembangan K-13 dan melaksanakannya di lapangan, selama satu tahun terakhir ini implementasi K-13 diwarnai keluh kesah dan protes di mana-mana. Utamanya, pada masalah ketidaksiapan guru dan ketiadaan buku pegangan.

Ketidaksiapan guru karena pelatihan terlalu singkat dan kurang praktik lebih mirip penataran. Ketiadaan buku pegangan urusannya lebih pelik karena terkait dengan pihak ketiga, yakni penyedia buku atau percetakan. Intinya, segala keruwetan pada implementasi bermula karena serba terburu-buru.

Nasi belum terlalu jadi bubur. Masih ada waktu memperbaiki atau menyempurnakan K-13. Butuh solusi konkret dan cepat dari Kemendikbud. Sudahi saja dulu sikap menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Tak perlu juga membongkar semua kebijakan Mendikbud sebelumnya. Lanjutkan saja yang bagus dan perbaiki yang masih kurang. Butuh gerak cepat karena waktu tak banyak.

Mau ke mana?

Mumpung sedang dievaluasi, ada baiknya pemerintah sekalian menyempurnakan K-13, dari awal. Itu dimulai dengan gagasan atau cita-cita harapan arah pembangunan bangsa dan ”wujud” generasi yang hendak dilahirkan untuk mencapai harapan itu. Jika hal mendasar itu sudah jelas dan rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang juga terang, akan jelas pula jenis kurikulum yang dibutuhkan.

Pada dasarnya, kurikulum dibuat sesuai perkembangan zaman. Ini setidaknya sudah dilakukan dalam K-13. Teorinya, K-13 menekankan pembelajaran aktif dengan materi tematik integratif dan pendekatan ilmiah.

Dalam dua tahun terakhir, sebagian guru, terutama di kota, mengakui anak-anak lebih senang belajar dengan cara ini karena tidak membosankan. Suasana kelas menjadi lebih hidup. Namun, sebagian guru masih kesulitan karena belum terbiasa.

Guru

Guru-guru yang ada di Karawang dan Pandeglang yang relatif dekat dengan ibu kota Jakarta saja masih terbata-bata dalam mengajar. Pelatihan 52 jam tak cukup. Perlu pelatihan lanjutan yang disesuaikan dengan kelemahan guru masing-masing.

Pelatihan model ini sudah masuk dalam agenda rencana Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendikbud. Berbekal hasil uji kompetensi guru yang dilakukan 2-3 tahun lalu, setiap guru dijanjikan akan mendapat pelatihan yang didesain khusus sesuai kebutuhan dan yang menjadi titik lemah setiap guru. Catatan atau rapor guru ini sudah ada di Kemendikbud dan tinggal ditindaklanjuti saja.

Guru merasa belum bisa itu wajar karena bentuk pelatihan guru dinilai oleh pelatih guru Itje Chodidjah terlalu sederhana dan ”seragam” tanpa memerhatikan perbedaan kualitas guru, murid, sekolah, dan tradisi atau kekayaan lokal. Guru tidak dilatih cara mengelola ruang kelas sesuai jenis sekolahnya. Pelatihan guru yang ideal seharusnya kontekstual sesuai karakter daerah meski materinya sama. ”Ingat lho, kondisi dan latar belakang guru itu berbeda-beda,” ujarnya.

Pelatihan yang benar disertai pendampingan materi dan cara mengajar yang rutin lambat laun akan bisa mengubah pola pikir guru. Sudah bukan zamannya lagi guru yang kaku. Masalahnya, menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Sunaryo Kartadinata, sejauh ini belum ada model pelatihan yang mampu mengubah pola pikir guru. Ini bisa diperbaiki sambil jalan dan sekaligus solusi jangka panjang seperti memperbaiki ”pabrik guru”, yakni lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Persoalan pendidikan tak akan pernah habis. Dengan terbatasnya waktu, kita harus bergegas menentukan prioritas dan bergerak. Saatnya menyingsingkan lengan baju dan bekerja. Anak-anak bangsa ini menanti karya nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar