Senin, 15 Desember 2014

Demokratisasi Pahlawan

                                          Demokratisasi Pahlawan

Fidelis Regi Waton  ;   Pamong Rohani KMKI Berlin,
Belajar Filsafat di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
SATU HARAPAN,  17 November 2014

                                                                                                                       


Manusia adalah homo memorans (makhluk nostalgis). Kemampuan bermemori diapresiasi sebagai zona kebebasan paripurna.

Revolusi logos (rasio) membebaskan warga Yunani Kuno dari determinasi mitos dan dewata yang berkulminasi pada tatanan masyarakat demokratis. Penduduk paguyuban polis (negara kota) di Athena menikmati aroma liberal dan emansipatif. Namun nostalgia akan legenda kepahlawanan dalam mitologi tidak muda dikikis, malah mengancam eksistensi dan penetrasi demokrasi. Para warga yang setara diadu dalam kompetisi di Agora (pasar) demi mendapatkan gelar “Aristoi” (yang terbaik, unggul) lewat kecerdasan pemikiran, kefasihan retorika dan perbuatan kebajikan (Arete). Aristoi didaulat sebagai pahlawan.

Kompetisi luhur ini kelak membias dari koridor fair play. Pamor, prestise, image, egomaniac dan popularitas mengikis prinsip kesetaraan. Aktivitas kaum Aristoi hanya didominasi nafsu mengabadikan dan memprivatisasi etiket terbaik dan terpandang. Kolaborasi menjadi pantauan lumrah. Lebih jauh mereka bahkan meninggalkan aspek imanensi dan mengklaim kharakter mistis-transendensi dalam diri (sakralisasi dan mistifikasi diri). Fakta ini kelak disemprot sebagai manipulasi demokrasi dan revitalisasi Aristokrasi.

Spirit demokrasi harus dikembalikan. Corak pahlawan sebagai yang utama, unggul dan pemberani, privilese militer, panglima perang, tokoh sakti berotot baja dan bertulang besi harus didekonstruksi. Ksatria berpedang di punggung kuda perkasa dijadikan bahan lelucon oleh Miguel de Cervantes dalam novelnya Don Quixote. Ditulari semangat Aufklaerung (Pencerahan), Johann Gottfried Herder tanpa tedeng aling-aling memproklamasikan tamatnya zaman pahlawan.

Kini kita berada dalam era pasca-heroik dengan rona demokrasi, egaliter dan emansipasi sebagai piranti sekaligus parameter hidup bersama. Meskipun begitu kerinduan akan heroisme belum memudar dan tidak bisa dihalau dari nubari. Inkubasi Aristoi tetap mengintai.  

Aroma kepahlawanan memang masih mempesona, namun bingkai dan isinya telah berubah. Gambaran heroisme postmodern tidak selamanya mengacu pada figur produk pertempuran militer bersenjata di medan perang atau otoritas kedaulatan-karismatis pemberi perintah dan penegak nilai.

Arogansi dan kejayaaan pahlawan masa lampau lazimnya tidak steril dari kekerasan, kebencian, korban dan pembunuhan, brutalitas dan sadistis. Fenomen ini menunjukkan distorsi makna kepahlawanan. Doktrin kepahlawanan dalam artian klasik kini dieliminasi.

Generasi muda manakah yang masih mengidentifikasikan diri dengan Hektor dan Achilles dalam hikayat Ilias karangan Homerus? Siapa yang masih fanatik mengidolakan Panglima Polim, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, Sultan Hasanudin atau Pattimura dan kawan-kawan dalam katalog pahlawan nasional Indonesia?

Tampuk dan situs klasik pahlawan masa lampau telah disabotasi, dikudeta dan dianeksasi oleh  diva dan superstar dari jargon musik, sinema dan sport. Model pahlawan dan idola postmodern lazimnya bercorak romantis-momentan; bukannya monumental dan lestari. Fundamen superstar  dan diva umumnya sangat keropos. Faktor alamiah penambahan usia misalnya lantas dipandang sebagai momok dan harus diberantas oleh ulah kosmetik atau proyek bedah plastik. Deretan kandidat bintang baru merongrong dan mendepak yang sedang bertengger berdasarkan semboyan „setiap orang bisa digantikan“.

Muatan kepahlawanan mengalami transformasi dan bercirikan transparan, demokratis-subjektivistis sekaligus  res publica (urusan umum) dan sangat kuat didongkrak falsafah kesamaan. Dalam kancah egaliter, setiap orang berlomba memenuhi dahaga penghargaan dan meraih predikat individu spesial. Status mainstream kehilangan magnet. Pekik „from zero to hero“ membangkitkan kepercayaan diri, mendepak ketakutan dan menganulir kompromistis. Aksi heroik bukan lagi fenomen langkah dan sporadis, melainkan bermekaran dan lokasinya berekspansi.  

Di Inggris setiap tahun dianugerahkan „Pride of Britain Awards”, penghargaan untuk mereka yang melakukan civil courage (keberanian sipil). Di Jerman dikenal lencana “Helden des Alltags” (pahlawan sehari-hari). Apresiasi ini diberikan misalnya kepada siswi yang menyelamatkan temannya yang tenggelam di danau, suami yang bertahun-tahun setia merawat isterinya yang sakit dan lumpuh di rumah, pemuda yang meluputkan seorang gila dari tabrakan mobil, pesepakbola yang melakukan reanimasi (bantuan nafas) kepada lawannya yang collapse, karyawan yang menghadang rekannya dari percobaan bunuh diri akibat stres dan mobbing di lapangan kerja, dan sebagainya.

Heroisme mengalami demokratisasi. Pahlawan masa kini adalah pahlawan sehari-hari, pahlawan kemanusian, satu di antara kita.  Luigi Pirandello mengatakan: „Kini malah lebih gampang menjadi pahlawan, ketimbang sebagai manusia yang berbudi-pekerti.“

Setiap orang sanggup menjadi pahlawan, jika ia mau dan berani keluar dari mainstream. Barangsiapa yang enggan berpaling dari mainstream dan mengurung diri dalam kungkungan average (rata-rata), ia pada prinsipnya tidak mengejawantahkan keunikan subjek.

David Bowie mendendangkan „we can be Heroes just for one day“ (kita bisa menjadi pahlawan hanya untuk sehari). Di dalam diri setiap kita terdapat potensi pahlawan. Tepatlah aforisme bernas Friedrich Nietzsche lewat corong Zarathustra: “Wirft den Helden in deiner Seele nicht weg! (Jangan menghilangkan pahlawan dalam jiwamu!).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar