Selasa, 16 Desember 2014

Mengolok-olok Agama Minoritas

                              Mengolok-olok Agama Minoritas

Teuku Kemal Fasya  ;   Antropolog; Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI)
SATU HARAPAN,  20 November 2014

                                                                                                                       


Fenomena kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) ternyata menjadi isu liar di tingkat publik termasuk di media sosial. Perkara ini telah “digoreng” sedemikian rupa, sehingga jauh dari fakta, terhuyung-huyung menjadi penyesatan informasi. Gerakan opini itu ingin mengesankan pemerintahan Jokowi – JK menisbikan keberadaan agama-agama di Indonesia dan membuka peluang pembenaran aliran “sesat”.

Tak kurang, wakil ketua DPR Fahri Hamzah angkat bicara secara sentimentil. Menurutnya bahaya jika kolom agama dikosongkan di dalam KTP, karena akan meniru model Barat yang tidak memerlukan identitas keagamaan. Bahkan, ketua DPD RI, Irman Gusman pun menyatakan ketidaksetujuannya karena alasan Indonesia bukan negara sekuler.

Pernyataan pejabat negara itu tidak memberikan ruang negosiasi opini yang bersifat klarifikatif, malah menambah distorsi dan kegamangan bagi publik. Padahal permasalahan ini harus didekati sebagai pendalaman atas masalah agama-agama di Indonesia yang masih terjebak logika “Orde Baru” yang gagal memahami pluralitas agama.

Jokes Sakartis

Akibat yang timbul dari politisasi isu itu malah mengarah kepada olok-olok atas kebijakan ini. Opsi untuk boleh tidak mencantumkan kolom di dalam KTP dianggap sebagai kebijakan “lebay” pemerintahan Jokowi.

Kini di media sosial muncul pelbagai jokes tentang itu. Ada status di facebook yang membuat metafora seseorang yang meninggal dan tidak dikenal agamanya di KTP cukup dilempar saja jenazahnya ke kolam ikan lele, karena tidak bisa disalatkan, dikremasi, atau disemayamkan. Yang cukup miris, seorang dosen hukum dan juga dikenal aktivis HAM membuat status bahwa masa depan Indonesia tanpa diskriminasi harus ditunjukkan dengan kebijakan, tidak saja menghapus kolom agama, tapi juga menghapus semua informasi seperti nama, tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, dsb.

Tentu jokes atau humor seperti seperti ini tidak pada tempatnya. Aksi olok-olok seperti itu membuka ruang bagi kelompok intoleran untuk semakin bergembira dan terhibur. Teringat kembali kajian Sigmund Freud tentang jokes. Dalam Jokes and Their Relation to The Unconscious Freud memerlihatan hubungan “mimpi” atau pikiran seseorang di masa lalu dengan realitas yang dialami sekarang. Jokes menjadi penanda tekanan psikologis sehingga perlu melakukan “pelepasan”. Seseorang yang melakukan jokes sakartis sebenarnya sedang membuka alam ketidaksadarannya (an agency of the unconscious) untuk terlibat dengan wacana subjektif yang didasarkan kepada kesadaran palsu tentang dirinya sendiri atas orang lain (Bruce Fink, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, 1995 : 42).

Sesungguhnya tidak ada seseorang yang terpelajar atau politikus yang sudi dianggap pelopor diskriminasi atau promotor sektarianisme. Namun olok-olok atau candaan sakartis sesungguhnya membuka pintu kejiwaan seseorang terkait pengelolaan aspek Id atau instingtual yang tidak stabil, kemungkinan pengalamannya di masa kecil atau pengelolaan pendidikan yang buruk. Seseorang bisa dilihat latar depan psikologinya (Super Ego) dengan mengecek candaannya atas sebuah fenomena sosial.

Kekanak-kanakan

Sesungguhnya tak ada ruang untuk mencandai fenomena ini. Secara sosio-antropologis agama di Indonesia bukanlah “lima tambah satu”, tapi puluhan bahkan ratusan. Banyak awam berpikir kebijakan ini hanya membuka kepada hadirnya agama baru, padahal faktanya tidak. Agama-agama itu bahkan lebih tua sejarahnya di Indonesia dibandingkan agama-agama resmi.

Keputusan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Agama dan menjadi peluang untuk melegalisasi Konghucu sebagai agama harus dilihat sebagai pergulatan tentang status-status agama di Indonesia. Itu adalah diskursus yang belum selesai.

Meskipun enam agama resmi secara statistik sudah memenuhi persentase 99 persen umat beragama di Indonesia, ada satu persen lagi yang masih belum diakui. Bagaimana nasib Pelbegu dan Parmalim di Sumatera Utara, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Banten, Islam Wetu Telu di Lombok, Kaharingan di Kalimantan, Tonaas Walian di Sulawesi Utara, Naurus di Maluku? Bagaimana dengan eksistensi Ahmadiyah, Syiah, Sikh di Indonesia? Protestan sendiri bukan entitas tunggal. Ada 300 denominasi yang kini telah terdaftar di Kementerian Agama.

Bagaimana dengan agama Yahudi? Banyak orang tak mau membuka wacana tentang Yahudi ini (padahal juga agama samawi seperti Islam dan Kristen) terkait sakit hati sosial-teologis karena perlakuan Israel terhadap Palestina. Namun kita lupa bahwa secara historis ada jejak-jejak agama Yahudi di dalam masyarakat, yang sejalan dengan sejarah kolonialisme Eropa di Nusantara. Menyamakan Yahudi dengan Zionis Israel juga bagian dari stereotip yang perlu diperbaiki. Ketidaktahuan melahirkan persangkaan.

Secara hukum, kebijakan ini hanya menjalankan amar konstitusional. Kebijakan tersebut telah tercantum pada pasal 64 ayat (5) UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Undang-undang tersebut sesungguhnya menjadi penyempurnaan UU sebelumnya (UU No. 23 tahun 2006) yang juga mencantumkan opsi bagi agama non enam untuk boleh mengosongkan kolom agama di KTP. Jika selama ini banyak dalil yang bermunculan sesungguhnya tidak berangkat dari nalar konstitusional. Salah satu bola liar diakibatkan pemerintahan SBY yang melahirkan UU itu tak jua menjalankan di masa pemerintahannya.

Secara empiris, tidak mencantumkan status agama bukan semata kebijakan negara-negara sekuler-Barat, tapi berlaku di negara Islam atau negara mayoritas Islam. Selain Singapore yang tidak berkepentingan status agama warganya, Malaysia, Brunei Darussalam, Qatar, Turki, Tunisia, Pakistan, dan banyak Timur-tengah lainnya juga tidak mensyaratkan agama dicantumkan eksplisit di KTP. Di antara sedikit negara yang masih memberlakukan kolom agama di KTP adalah Israel dan Saudi Arabia. Tentu karena pengaruh zionistis dan wahabiyan di kedua negara itu sehingga kepentingan mengontrol penduduk secara keras terkait agamanya menjadi penting.

Jika pertimbangannya adalah agama yang banyak itu hanya satu persen dari total penduduk beragama resmi, karenanya tak perlu hirau dengan itu, maka penting dipertanyakan status keagamaannya. Dalam Islam kelompok itu disebut musthad’afin – kelompok yang dilemahkan secara politik, ekonomi, kultural. Mengabaikan kelompok musthad’afin sama saja merendahkan Islam dan menunjukkan keagamaan puritan yang diakui itu tak lebih dari Islam KTP!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar