Selasa, 16 Desember 2014

Demokrasi Tanpa Rakyat

                                         Demokrasi Tanpa Rakyat

Fidelis Regi Waton  ;   Penulis sedang mendalami Filsafat Politik
di Humboldt-Universitaet zu Berlin-Jerman
SATU HARAPAN,  11 Desember 2014

                                                                                                                       


Rakyat Indonesia kembali kecewa dengan kinerja demokrasi perwakilan. Manuver Koalisi Merah Putih dan Presiden SBY adalah borok yang menggelikan. Warga merasa dipermainkan oleh partai politik, eksekutif  dan legislatif. Lirik tembang Iwan Fals merilis kemarahan rakyat: “Walau hidup adalah permainan, walau hidup adalah hiburan, tetapi kami tak mau dipermainkan dan kami juga bukan hiburan”.
Banyak warga frustrasi dengan sistem demokrasi perwakilan. Mereka bukan saja merasa diri tidak diwakili, tetapi muak dan menolak diwakili oleh legislatif yang tidak becus, rakus, tidak peka dan lupa identitas serta berkoalisi dengan eksekutif yang impoten dan licik. Ketidakpuasan terhadap demokrasi perwakilan di negara-negara Barat menyuburkan fanatisme, populisme dan maraknya perolehan suara partai-partai kiri. 
Kegalauan rakyat Jerman terhadap praksis demokrasi representasi melahirkan virus antipati: Politik-und Parlemenverdrossenheit (kemuraman politik dan parlemen). Di Spanyol muncul aliansi Indignados(para pemberang) yang menolak direpresentasi oleh partai-partai politik dan menuntut „democrasia real ya“ (demokrasi sejati sekarang).
Fenomen ketidakpuasan terhadap aktifitas demokrasi perwakilan menginspirasi tulisan polemis Declaration (2012) dari pemerhati demokrasi, Michael Hardt dan Antonio Negri. Mereka melabrak sistem demokrasi perwakilan. Telaah bernas mereka bukan hendak membangkitkan kembali belenggu tirani yang mengebiri partisipasi publik. Keduanya bertekad meluncurkan proyek reformasi demokrasi dan mengoptimalkan demokrasi dari bawah.
Konsep demokrasi perwakilan secara epistemologis bersifat kontradiktif. Prinsip representasi tidak pernah memungkinkan demokrasi sejati, malah mencegahnya.  Dari teropong empiris, demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat bersifat rancu (contradictio in adjecto). Yang memerintah de facto bukanlah rakyat, melainkan gerombolan elit politik. Fakta ini dibaptis filsuf Perancis Catherine Colliot-Thelene sebagai “la démocratie sans demos” (demokrasi tanpa rakyat).
Sejak adanya prinsip representasi, kita sebenarnya mempratekkan demokrasi relatif. Kaidah perwakilan membukakan gerbang masuk bagi warga menuju kekuasaan dan serentak menutupnya kembali. Bagi Carl Schmitt perwakilan rakyat sebagai instrumen penegakkan pemerintahan oleh rakyat hanyalah mitos modern. Ia mengartikan perwakilan sebagai kehadiran nihil rakyat. Aspek demos (rakyat) berakhir saat pemberian suara.
Prinsip perwakilan hanya bertahan karena peran kaum kapitalis dan penguasa. Praksis demokrasi perwakilan yang bersenggama dengan kapitalisme menjadikan rakyat sekedar bingkai legitimasi. Sebagai insan politik, rakyat didegradasi, karena yang dibutuhkan dari mereka hanyalah partisipasi sebatas memberikan suara. Malah suara warga disetarakan nilainya dengan uang.
Politik lantas dipagari bagaikan belantara yang mahal. Kaum kapitalis bonafit dan mapan berekspansi ke medan politik dan menempatkan politik sebagai zona bergengsi demi popularitas (statusoriented). Organisasi politik, instrumen demokrasi, kampanye dan perjuangan untuk merebut  kursi dan jabatan publik menagih biaya besar dan hanya bisa dijejaki kalangan berduit. Tak sedikit yang melakukan korupsi atau membiarkan diri dikorupsi. Jika tampuk dan jabatan telah diraih, yang digencarkan adalah kiat menutup lubang, memperkaya diri, balas budi dan melunasi kredit moril.
Prinsip representasi yang diyakini Rousseau sanggup mengejawantahkan kehendak umum, malah berujung pada pemuasan nafsu segelintir awak politik. Media massa sebagai kekuatan politik keempat (publikatif) dibendung ruang gerak kritisnya, karena dikendalikan kaum bermodal. Dengan kapitalnya, kelas politikus-kapitalis menggunakan media sebagai instrumen efektif untuk melestarikan hegemoni dan memuluskan kepentingannya.
Gagasan civil society (masyarakat madani) yang dikibarkan dekade silam memasuki musim kemarau. Rakyat diasingkan dari arena pengambilan keputusan. Antara yang memerintah dan diperintah terdapat ngarai yang dalam. Dalam jargon Winston Churchill, demokrasi tak lain dari bentuk kekuasaan terburuk yang kita miliki, namun tak ada yang lebih baik daripadanya saat ini.
Bagi Hardt dan Negri, yang sanggup memahami dan merealisasikan demokrasi secara tulen  hanyalah Multitude: Orang banyak (bukan massa); multiplisitas atau keragaman sosial yang bebas, dicerahkan dan inklusif. Tanpa mengeliminasi kemajemukan, mereka menggalang interaksi, komunikasi (network power) dan tindakan bersama. Mereka dirangkai oleh keprihatinan, prospektif dan perspektif serta tujuan bersama. Multitude berkontribusi dalam melahirkan perlawanan, pemberontakan, reformasi dan revolusi.
Aktivis yang diculik 1998 dan hingga kini tidak diketahui di mana rimbanya, Widji Thukul mewariskan satu-satunya tablet mujarab terhadap kemandegan demokrasi yakni LAWAN. Siapa yang tidak melawan, ia hidup tidak benar Penyair Jerman, Bertolt Brecht menandaskan: “Wer kaempft, kann verlieren. Wer nicht kaempft., hat schon verloren“ (Siapa yang berjuang, ia bisa kalah. Siapa yang tidak berjuang, ia sudah kalah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar