Selasa, 16 Desember 2014

Keperawanan dan Kekuasaan

                                   Keperawanan dan Kekuasaan

Dwilia Delfi Ningsih  ;   Guru SD Terpencil; Pegiat Diskusi Majelis Kamisan
SATU HARAPAN,  08 Desember 2014

                                                                                                                       


Tes keperawanan kembali menjadi perbincangan seksi, setelah sebelumnya pada tahun 2013 menjadi berita kontroversial saat Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih akan menerapkan tes keperawanan untuk siswi SMA di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Tes kepewananan ini menarik diperbincangkan bukan semata karena dikaitkan dengan institusi kepolisian  melainkan karena tema-tema tentang perempuan selalu menarik untuk didiskusikan. Sejarah panjang ketakadilan terhadap perempuan selalu berulang dari masa ke masa. Bahkan intitusi kepolisian seolah menjadi institusi kaum laki-laki sehingga perlu menambah kata wanita untuk polisi yang berjenis kelamin perempuan, dan hal itu tidak berlaku untuk laki-laki.
Begitulah fakta sejarah aturan perilaku dilembagakan sebagai konsekuensi kekuasaan normatif. Dalam perspektif Michel Foucault, kekuasaan sebagai rejim wacana dianggap mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Cara kerjanya melalui wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun juga perangsangan, rayuan dan intensifikasi atau teknik-teknik kekuasaan yang memiliki banyak bentuk (1976: 21).
Tes keperawanan adalah bentuk intervensi kekuasaan yang membangun wacana standar moral untuk para calon polisi perempuan, standar moral yang abstrak yang akhirnya akan disepakati dan dilembagakan sebagai aturan perilaku yang diamini oleh para polisi moral. Padahal tes keperawanan sebenarnya adalah bentuk lain yang amoral dan menghina martabat perempuan. Karena tes keperempuanan akan melahirkan praktik-praktik,  pertama, membuat perempuan menjadi obyek, organ tubuhnya diperiksa, diobok-obok, diletakkan di bawah kuasa; kedua, kuasa itu sewenang-wenang, sebab mendasarkan diri pada kekuasaannya sendiri, yaitu asumsi palsu bahwa selaput dara bisa diukur dan menjadi ukuran martabat perempuan; ketiga, membuat perempuan bisa dikomodifikasikan (perempuan dinilai dan diberi perlakuan berdasarkan penilaian itu); dan  keempat, praktik tes keperawanan adalah pemerkosaan itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana melakukan uji moralitas bagi para pejabat yang telah berkeluarga dan gemar selingkuh seperti wakil rakyat dan pejabat publik lainnya. Apakah diperlukan tes terhadap mereka menjelang pencalonannya? Dan bagaimana dengan uji standar moral untuk para laki-laki, apakah diperlukan tes sejenis seperti tes keperjakaan? Akhirnya semua menjadi tak adil gender, karena standar moral dan aturan perilaku ini sangat abstrak dan syubhat.
Pihak perempuan selalu diposisikan sebagai pihak yang salah ketika hasil tes menunjukkan bahwa mereka tidak perawan, dan laki-laki selalu menjadi pihak yang selalu benar dan diuntungkan. Laki-laki yang tak perjaka dan suka selingkuh tetap terhormat dibanding perempuan yang tak perawan. Padahal hilangnya keperawanan dapat disebabkan banyak faktor, tidak hanya akibat hubungan seksual. Bisa karena faktor fisik, jatuh atau peristiwa pemerkosaan.
Penulis mencurigai bahwa tujuan tes keperawanan sebenarnya bukan dimaksudkan  untuk menyingkap atau menyembunyikan kebenaran tentang keperawanan, tapi mau melokalisir  ingin tahu yang berfungsi sebagai objek dan instrumen kekuasaan, hingga pada gilirannya tubuh perempuan menjadi dominasi kekuasaan laki-laki.
Hal itulah yang juga mendasari Foucault menulis Sejarah Seksualitas untuk menjelaskan bahwa di sekitar seks dibangun perlengkapan atau mesin untuk memproduksi kebenaran. Seks bukan hanya masalah sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam seks dipertaruhkan masalah benar dan salah. Mengetahui apakah seks itu benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Sejauh mana seks bisa dianggap berharga atau menakutkan itu bisa bergeser menjadi pertaruhan kekuasaan. Lalu seks dijadikan ajang pertaruhan kebenaran (1976: 76)
Keperawanan sebagai bagian dari seksualitas juga hendak dipertaruhkan sebagai kebenaran. Sistem moral publik, yang selalu ditafsir oleh laki-laki dan kekuasaan ini, menjadikan keperawanan sebagai pertaruhan kebenaran menggunakan sarana politik tubuh. Artinya bahwa sasaran kekuasaan adalah tubuh. Tujuan yang mau dicapai dengan membidik tubuh ialah kepatuhan, bukan moralitas.
Tes keperawanan bisa menjadi alat penguasaan terhadap tubuh perempuan. Kita bisa membayangkan bagaimana jika ada perempuan yang cantik dan kebetulan diketahui tidak lagi perawan, dan atas kuasa ia tetap diluluskan, maka akan lahir dominasi dan kekerasan baru, karena tubuhnya telah dikuasai dan dikendalikan oleh hasil-hasil tes. Begitupun sebaliknya yang tak lulus, akan memiliki beban psikologis yang sangat berat meskipun hasil tes tetap dirahasiakan.
Jika hal ini tetap dijalankan, maka tes keperawanan bukan hanya saja menjadi praktik kemunafikan para pejuang moral, penghinaan martabat, tetapi juga pelecehah terhadap nilai-nilai ajaran agama Karena tidak ada satupun wahyu dan teks suci agama yang memerintahkan membuat standar moral dengan tes keperawanan, dan persoalan seksualitas adalah persoalan tanggungjawab pada ranah yang sangat pribadi.
Ala kulli hal, daripada sibuk mewacanakan tes keperawanan justeru yang sangat penting dan mendesak adalah mewacanakan untuk melakukan tes perilaku dan kejiwaan seksualitas pejabat publik. Sudah bukan berita baru, bila banyak pejabat publik yang gemar jajan, memiliki simpanan, dan atau memiliki banyak pasangan. Darimana mereka memenuhi biayanya? Kemungkinan terbesarnya adalah dari korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar