Selasa, 16 Desember 2014

Pelajaran Matematika menurut Tan Malaka

              Pelajaran Matematika menurut Tan Malaka

Iwan Pranoto  ;   Dosen dan Guru Besar Matematika ITB;
Kini juga bekerja di KBRI New Delhi, India
SATU HARAPAN,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


Tak ada yang pernah melihat atau pun meraba bilangan Satu, Setengah, akar dua, atau bilangan lainnya. Yang mampu dilihat manusia hanyalah lambang angka yang merupakan penyajian bilangan seperti ‘1’. Sedangkan bilangan itu sendiri nirwujud.

Demikian obyek lain seperti titik di Geometri. Tak mungkin ada manusia yang mampu melihat obyek tak berdimensi ini. Manusia juga tak pernah melihat lingkaran ideal menurut matematika, karena tak mungkin ada jangka demikian sempurna dengan ujung pensil di depannya yang demikian tajam sampai mampu menggambarkan sebuah lingkaran sempurna, dengan ketebalan garis nol satuan. Karena itu, Tan Malaka mengistilahkan matematika sebagai ilmu tak bermateri. Ini satu dari dua hakikat matematika yang dipesankan Tan Malaka.

Obyek matematika seperti di atas merupakan gagasan ideal yang berujud nyata senyata-nyatanya di benak manusia semata. Hanya nalar manusia yang sanggup mewujudkan tiga obyek tersebut.  Tiap terucap kata lingkaran, di benak akan tergambar lingkaran sempurna. Hanya nalar manusia yang mampu merasakan keujudan objek matematika tersebut. Bahkan, sebagian malah sampai berkeyakinan bahwa gagasan seperti bilangan, titik, dan lingkaran tadi justru lebih nyata ketimbang benda duniawi. Picasso berkata bahwa jika sesuatu dapat diimaginasikan, maka sesuatu itu nyata. Konsep bilangan negatif di matematika sejatinya lebih nyata dari kursi yang diduduki, karena bilangan negatif diimaginasikan, sedang kursi sering difungsikan, tidak diimaginasikan.  

Karena ada di tataran gagasan, argumentasi matematika tak dapat dilandaskan pada suatu pengamatan kenyataan, apalagi pengalaman kehidupan tertentu berlandaskan panca indra. Akibatnya, argumen bahwa definisi perkalian harus mengikuti kebiasaan penulisan resep obat atau fenomena kehidupan lain, misalnya, sungguh bukan argumen matematika yang sahih.

Pertama dan yang utama, matematika dibangun dengan argumen yang taat berdasarkan pernalaran deduktif saja. Bahwa ada gagasan matematika yang diinspirasi oleh fenomena di alam atau di kehidupan nyata, itu benar adanya. Namun, tidak pernah ada argumen matematika yang dilandaskan pada fenomena alam. Argumen matematika tidak dapat dibuktikan oleh bahkan sejuta fenomena kehidupan. Fenomena kehidupan bagi matematika hanyalah sebuah ilustrasi tak sempurna dari gagasan matematika. Bahkan percobaan di laboratorium paling canggih pun tak akan pernah memvalidasi atau menyangkal pernyataan matematika.

Sebagai ilustrasi, di Geometri Bidang yang dipelajari anak SMP, ada pernyataan bahwa jumlah ketiga sudut dari segitiga apapun senantiasa membentuk sudut 180 derajat. Membuktikan pernyataan ini tak dapat dengan contoh, tetapi harus berdasar pernalaran deduktif semata.

Justru karena ketaatan berargumen berdasar bernalar deduktif semata itu, matematika menjadi sangat bermanfaat bagi disiplin lain dan kehidupan. Karena tak menggantungkan pada suatu fenomena kehidupan, matematika dapat dimanfaatkan saat membangun jembatan sampai menguji kejujuran pemilu. Dapat dibayangkan jika saja ada teori matematika yang argumennya didasarkan pada suatu pengukuran fenomena kimia, maka teori matematika itu hanya sah jika diterapkan di kimia saja. 

Di sini paradoksnya. Karena argumennya tak tercemar dari argumentasi fenomena bidang keilmuan lain, penerapan matematika di berbagai bidang menjadi terjamin kesahihannya.

Saat ini, praktik pengajaran matematika sekolah di Indonesia masih ada yang belum sejalan dengan hakikat tersebut. Beberapa buku ajar matematika bahkan kerap menyajikan “pembuktian’ yang tak sahih. Misalnya, menuliskan kegiatan memotong sudut-sudut potongan segitiga kertas yang ditempelkan memembentuk sudut “nyaris” 180 derajat itu sebagai sebuah bukti. Ini tentu fatal, karena membuktikan pernyataan matematika berdasar fenomena alam. Sesungguhnya, kegiatan di atas hanya mengatakan dugaan: “mungkin jumlah ketiga sudut segitiga itu 180 derajat.” Tak lebih dari itu. Matematika bukan ilmu alam.

Geometri merupakan studi tentang objek yang tak dapat digambar atau gambarnya buruk. Artinya, inferensi atau kesimpulan yang dibuat tak boleh menggantungkan pada ketepatan gambar. Gambar tepat maupun buruk harus memberikan kesimpulan yang sama persis. Sebaliknya, jika segitiga kertas yang dibuat tadi sisinya tak lurus atau busur derajatnya buruk, jumlah sudut 180 derajat mungkin saja tak diperoleh.

Indra kita, misalnya penglihatan, sangat mudah tertipu ilusi. Dua garis sejajar yang diberi dekorasi khusus tertentu akan tampak tak sejajar. Dua garis yang sama panjang, tetapi ujungnya diberi gambar anak panah atau ekor panah akan tampak berbeda panjang. Ilusi penglihatan ini tak diinginkan terjadi di matematika. Oleh karenanya, argumen matematika tak boleh berdasar panca indra.

Matematika tak mempercayai panca indra, tetapi hanya mempercayai “indra” nalar deduktif. Bahkan, ekstremnya, seorang tuna netra pun tetap mampu “melihat” dengan jelas, meyakini, dan menikmati indahnya Dalil Pitagoras. Ini setali tiga uang dengan Beethoven yang dapat tetap dapat “mendengar” musik melalui “telinga” nalarnya, walaupun sudah tuna rungu.

Pernalaran manusia yang terekam dalam gagasan matematika dan juga partitur musik bersifat abadi. Seperti kata Einstein, nalar manusia yang mewujud menjadi persamaan atau kalimat matematika akan abadi. Dari torehan Archimedes sampai tulisan Ramanujan telah membangun peradaban kemanusiaan yang menembus batas ruang dan waktu. Nalar manusia yang mampu menggambarkan ruang dimensi 4, bahkan sampai meyakininya bahwa ruang berdimensi 4 itu senyata-nyatanya seperti kursi yang kita duduki.

Lalu apakah guru matematika SD, misalnya, harus memahami gagasan matematika seperti di atas? Tentu. Kemudian, apakah guru SD harus mampu membuktikan semua pernyataan di matematika SD serta menikmati proses pembuktiannya? Idealnya ya, namun jika memang belum mampu,guru dapat mengatakan, “Mari kita cari dan pelajari sama-sama.” Tidak tabu bagi seorang guru matematika untuk berkata belum tahu. Guru di jaman sekarang tak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan. Dan juga, memang bukan tugas guru untuk menjawab semua pertanyaan.

Baiknya, guru bersama murid mencoba membuktikan sendiri, atau jika tetap tak berhasil, dapat mencarinya di Internet. Banyak bukti indah tersedia. Dari sudut pembelajaran matematika, diskusi tentang bukti-bukti indah itu akan memicu kasmaran bermatematika. Citra pembelajaran seperti ini jauh berbeda dari matematika prosedural, dogmatik, kaku, dan formalistik yang kerap dipertontonkan di pengajaran dan buku ajar sekolah hari ini.

Untuk itu, perlu ditingkatkan program perlatihan guru guna meremajakan gagasan matematika sebagai ilmu tak bermateri dan menciptakan kegiatan bagi guru agar mengalami kembali asyiknya membuktikan pernyataan matematika. Ini sejalan dengan angan-angan Tan Malaka di Madilog.

Guru perlu merasakan kembali kejujuran bahwa belum memahami dan juga keluguan mempertanyakan kesahihan Dalil Pitagoras sampai Ketaksamaan Segitiga. Ini tantangan perbaikan pembelajaran matematika yang belum pernah secara sungguh-sungguh diupayakan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar