Senin, 08 Desember 2014

Runtuhnya Dinasti Bangkalan

                                  Runtuhnya Dinasti Bangkalan

Naufil Istikhari Kr  ;   Peneliti Psikologi Politik UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
JAWA POS, 05 Desember 2014

                                                                                                                       


SETELAH lebih dari satu dasawarsa berusaha mengekalkan kuasa, kini akhirnya KH Fuad Amin, sang penguasa tunggal dinasti Bangkalan, harus mendekam di dalam tahanan. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK Selasa dini hari (2/12) meninggikan langit harapan bagi masa depan politik di Bangkalan.
Tak tanggung-tanggung, dalam operasi yang berlangsung sekitar 30 menit itu, KPK berhasil menemukan tiga koper berisi uang tunai. Uang yang disembunyikan di lubang tembok dengan ditutupi sebuah lukisan tersebut menandaskan akurasi dugaan KPK: Fuad Amin sudah lama terlibat dalam ”permainan” tidak sehat itu.

orang mungkin merasa heran, kiai sekelas Fuad Amin kok sampai berurusan dengan KPK. Sebagian lagi –terutama rival politik yang juga sepupu, KH Imam Buchori, serta pendukungnya– bersorak riang menyaksikan dengan telanjang peristiwa pencokokan itu.

Telepas dari itu, perlu kita pahami dulu mengapa Fuad Amin menjadi ”orang kuat” yang tidak ada duanya di Bangkalan atau bahkan di Madura secara keseluruhan. Kita bisa melacak dari latar belakang sosio-kultural yang melingkari jati dirinya.

Fuad Amin adalah kiai, tapi bukan sembarang kiai. Dia juga politikus, tapi bukan asal politikus. Terdapat banyak anasir yang mendongkrak kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan. Kekuasaan Fuad menjadi sedemikian kuat karena bangunan rezim miliknya bersinergi dengan rezim kembarannya: rezim blater.
Menurut Abdur Rozaki (2004), terdapat dua ”rezim kembar” di Madura yang –dalam tesisnya– apabila dapat dipadukan dengan baik, pemegang kursi kekuasaan menjadi sulit untuk digoyang dan digantikan.

Ada benarnya tesis Abdur Rozaki itu. Dua penyangga utama kekuasaan Fuad Amin, yakni kiai dan blater, merupakan lapisan sosial yang sama-sama memiliki pengaruh sekuat baja, tidak saja di Bangkalan, tetapi juga di seantero Madura.
Fuad Amin adalah cicit Syaikhona Kholil Bangkalan yang terkenal itu. Pada akhir abad ke-19, nyaris semua kiai dan ulama besar di Jawa pernah nyantri kepada Kiai Kholil. Kebesaran Kiai Kholil sangat terasa di Madura, bahkan di seluruh Indonesia. Hampir semua orang takzim kepadanya. Itu terbukti dari jumlah peziarah yang tak putus mendatangi makamnya.

Karisma Kiai Kholil yang begitu besar mampu menutupi kharisma kiai-kiai lain pada masanya. Karena itulah, masyarakat sangat segan kepada Kiai Kholil –dan otomatis kepada keturunannya. Fuad Amin mengambil untung atas posisinya sebagai trah langsung Kiai Kholil.

Sumber legitimasi kedua berasal dari blater. Blater dalam bahasa setempat disebut bajing. Kata itu mungkin sinonim preman, meskipun ada secuil perbedaan. Blater memiliki jejaring yang sama kuatnya dengan kiai. ”Jaringan hitam” para blater akan disegani (bahkan ditakuti) ketika kejagoannya sudah terbukti.

Fuad Amin berhasil menundukkan rezim blater itu untuk menyokong kekuasaannya. Tidak ada yang berani melawan. Jika pun ada yang bersikap ofensif, biasanya tidak akan bertahan lama. Sejumlah intimidasi hingga teror sudah biasa dijadikan media untuk menormalkan riak-riak pembangkangan di tengah-tengah masyarakat.

Tidak berhenti di situ, dalam tesis Nur Faizin (2014), amunisi kekuasaan kiai tidak cuma berasal dari kekiaian dan relasi intim dengan bajingan. Unsur lain yang berperan penting adalah pengusaha, pers, dan mahasiswa. Menurut dia, pengaruh blater mulai luntur sejak satu dekade terakhir. Gelanggang kekuasaan pelan-pelan bergeser ke arena yang lebih luas.

Dengan kata lain, sangat mungkin Fuad Amin memanfaatkan pemilik modal sebagai ongkos merawat dinasti politik. Di sisi lain, mungkin pula mahasiswa ”dijinakkan” dan pers ”dibungkam” untuk memuluskan perputaran mesin kekuasaan.

Akan tetapi, selalu ada kemungkinan di dalam hukum sejarah, termasuk kemungkinan runtuhnya sebuah dinasti politik yang telah dibangun secara mapan. Saya awalnya kaget karena KPK mampu menangkap ”raja Bangkalan” secepat itu. Walaupun, saya tidak heran atas penangkapan yang terjadi.

Semua orang Bangkalan –mungkin juga seluruh Madura– sudah tahu sepak terjang Fuad Amin. ”Permainan” Fuad sudah berlangsung lama. Hanya, tidak ada yang berani mengusiknya. Keberanian Imam Buchori berseberangan dengan Fuad Amin tak lain karena orang itu berasal dari trah yang sama.

Fenomena tersebut dapat dijelaskan dalam teori psikoanalisis. Sigmund Freud (1905) menegaskan bahwa represivitas yang bersumber dari keran sosial-politik akan ditenggelamkan ke alam bawah sadar oleh individu bila tidak sesuai dengan keinginan dan harapan mereka. Namun, harus selalu diingat, yang sudah tenggelam sewaktu-waktu akan muncul dan mencuat.

Masyarakat yang ditekan akan selalu menyimpan gairah perlawanan di alam bawah sadarnya. Hanya, perlawanan selamanya akan menjadi ”sebatas potensial” jika terus pula dibarengi dengan resistansi yang dioperasikan dengan baik dan rapi.

Fuad Amin melalukan resistansi dengan memakai jasa kroni-kroni yang selalu siaga di hampir semua lini. Mulai perangkat desa hingga lembaga pemerintah. Resistansi yang paling sering dilakukan, namun tak banyak diekspos media, adalah praktik kekerasan.

Fuad Amin tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk meredam gejolak perlawanan dari masyarakat. Dalam peristiwa demonstrasi beberapa bulan lalu, misalnya, sang koordinator lapangan dibacok di tengah jalan. Fuad Amin menghalalkan –meminjam istilah Johan Galtung– ”kekerasan struktural” sebagai bentuk resistansi dari sekian represi yang sudah dieksekusi.

Masyarakat Bangkalan yang selama ini gentar bersuara barangkali bisa tersenyum lebar karena ”sang tiran” sudah ditahan KPK. Penahanan itu praksis menjadi lonceng keruntuhan bagi dinasti Bangkalan. Namun, perlu terus diwaspadai, bisa jadi keruntuhan dinasti tidak diikuti oleh lunturnya kekerasan struktural yang selama ini dijadikan media resistansi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar