Runtuhnya
Dinasti Bangkalan
Naufil Istikhari Kr ; Peneliti Psikologi Politik UIN Sunan Kalijaga,
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 05 Desember 2014
SETELAH lebih dari satu dasawarsa
berusaha mengekalkan kuasa, kini akhirnya KH Fuad Amin, sang penguasa tunggal
dinasti Bangkalan, harus mendekam di dalam tahanan. Operasi tangkap tangan
yang dilakukan KPK Selasa dini hari (2/12) meninggikan langit harapan bagi
masa depan politik di Bangkalan.
Tak tanggung-tanggung, dalam
operasi yang berlangsung sekitar 30 menit itu, KPK berhasil menemukan tiga
koper berisi uang tunai. Uang yang disembunyikan di lubang tembok dengan
ditutupi sebuah lukisan tersebut menandaskan akurasi dugaan KPK: Fuad Amin
sudah lama terlibat dalam ”permainan” tidak sehat itu.
orang mungkin merasa
heran, kiai sekelas Fuad Amin kok sampai berurusan dengan KPK. Sebagian lagi
–terutama rival politik yang juga sepupu, KH Imam Buchori, serta
pendukungnya– bersorak riang menyaksikan dengan telanjang peristiwa
pencokokan itu.
Telepas dari itu, perlu kita
pahami dulu mengapa Fuad Amin menjadi ”orang kuat” yang tidak ada duanya di
Bangkalan atau bahkan di Madura secara keseluruhan. Kita bisa melacak dari
latar belakang sosio-kultural yang melingkari jati dirinya.
Fuad Amin adalah kiai, tapi
bukan sembarang kiai. Dia juga politikus, tapi bukan asal politikus. Terdapat
banyak anasir yang mendongkrak kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan. Kekuasaan
Fuad menjadi sedemikian kuat karena bangunan rezim miliknya bersinergi dengan
rezim kembarannya: rezim blater.
Menurut Abdur Rozaki (2004),
terdapat dua ”rezim kembar” di Madura yang –dalam tesisnya– apabila dapat
dipadukan dengan baik, pemegang kursi kekuasaan menjadi sulit untuk digoyang
dan digantikan.
Ada benarnya tesis Abdur Rozaki
itu. Dua penyangga utama kekuasaan Fuad Amin, yakni kiai dan blater,
merupakan lapisan sosial yang sama-sama memiliki pengaruh sekuat baja, tidak
saja di Bangkalan, tetapi juga di seantero Madura.
Fuad Amin adalah cicit Syaikhona
Kholil Bangkalan yang terkenal itu. Pada akhir abad ke-19, nyaris semua kiai
dan ulama besar di Jawa pernah nyantri kepada Kiai Kholil. Kebesaran Kiai
Kholil sangat terasa di Madura, bahkan di seluruh Indonesia. Hampir semua
orang takzim kepadanya. Itu terbukti dari jumlah peziarah yang tak putus
mendatangi makamnya.
Karisma Kiai Kholil yang begitu
besar mampu menutupi kharisma kiai-kiai lain pada masanya. Karena itulah,
masyarakat sangat segan kepada Kiai Kholil –dan otomatis kepada keturunannya.
Fuad Amin mengambil untung atas posisinya sebagai trah langsung Kiai Kholil.
Sumber legitimasi kedua berasal
dari blater. Blater dalam bahasa setempat disebut bajing. Kata itu mungkin
sinonim preman, meskipun ada secuil perbedaan. Blater memiliki jejaring yang
sama kuatnya dengan kiai. ”Jaringan hitam” para blater akan disegani (bahkan
ditakuti) ketika kejagoannya sudah terbukti.
Fuad Amin berhasil menundukkan
rezim blater itu untuk menyokong kekuasaannya. Tidak ada yang berani melawan.
Jika pun ada yang bersikap ofensif, biasanya tidak akan bertahan lama.
Sejumlah intimidasi hingga teror sudah biasa dijadikan media untuk
menormalkan riak-riak pembangkangan di tengah-tengah masyarakat.
Tidak berhenti di situ, dalam
tesis Nur Faizin (2014), amunisi kekuasaan kiai tidak cuma berasal dari
kekiaian dan relasi intim dengan bajingan. Unsur lain yang berperan penting
adalah pengusaha, pers, dan mahasiswa. Menurut dia, pengaruh blater mulai
luntur sejak satu dekade terakhir. Gelanggang kekuasaan pelan-pelan bergeser
ke arena yang lebih luas.
Dengan kata lain, sangat mungkin
Fuad Amin memanfaatkan pemilik modal sebagai ongkos merawat dinasti politik.
Di sisi lain, mungkin pula mahasiswa ”dijinakkan” dan pers ”dibungkam” untuk
memuluskan perputaran mesin kekuasaan.
Akan tetapi, selalu ada
kemungkinan di dalam hukum sejarah, termasuk kemungkinan runtuhnya sebuah
dinasti politik yang telah dibangun secara mapan. Saya awalnya kaget karena
KPK mampu menangkap ”raja Bangkalan” secepat itu. Walaupun, saya tidak heran
atas penangkapan yang terjadi.
Semua orang Bangkalan –mungkin
juga seluruh Madura– sudah tahu sepak terjang Fuad Amin. ”Permainan” Fuad
sudah berlangsung lama. Hanya, tidak ada yang berani mengusiknya. Keberanian
Imam Buchori berseberangan dengan Fuad Amin tak lain karena orang itu berasal
dari trah yang sama.
Fenomena tersebut dapat
dijelaskan dalam teori psikoanalisis. Sigmund Freud (1905) menegaskan bahwa
represivitas yang bersumber dari keran sosial-politik akan ditenggelamkan ke
alam bawah sadar oleh individu bila tidak sesuai dengan keinginan dan harapan
mereka. Namun, harus selalu diingat, yang sudah tenggelam sewaktu-waktu akan
muncul dan mencuat.
Masyarakat yang ditekan akan
selalu menyimpan gairah perlawanan di alam bawah sadarnya. Hanya, perlawanan
selamanya akan menjadi ”sebatas potensial” jika terus pula dibarengi dengan
resistansi yang dioperasikan dengan baik dan rapi.
Fuad Amin melalukan resistansi
dengan memakai jasa kroni-kroni yang selalu siaga di hampir semua lini. Mulai
perangkat desa hingga lembaga pemerintah. Resistansi yang paling sering
dilakukan, namun tak banyak diekspos media, adalah praktik kekerasan.
Fuad Amin tak segan-segan
menggunakan kekerasan untuk meredam gejolak perlawanan dari masyarakat. Dalam
peristiwa demonstrasi beberapa bulan lalu, misalnya, sang koordinator
lapangan dibacok di tengah jalan. Fuad Amin menghalalkan –meminjam istilah
Johan Galtung– ”kekerasan struktural” sebagai bentuk resistansi dari sekian
represi yang sudah dieksekusi.
Masyarakat
Bangkalan yang selama ini gentar bersuara barangkali bisa tersenyum lebar
karena ”sang tiran” sudah ditahan KPK. Penahanan itu praksis menjadi lonceng
keruntuhan bagi dinasti Bangkalan. Namun, perlu terus diwaspadai, bisa jadi
keruntuhan dinasti tidak diikuti oleh lunturnya kekerasan struktural yang
selama ini dijadikan media resistansi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar