Akar
Konflik TNI-Polri
Kiki Syahnakri ; Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan
Angkatan Darat
|
KOMPAS,
06 Desember 2014
Dalam
beberapa tahun terakhir, konflik TNI-Polri makin sering terjadi, bahkan sudah
amat meresahkan masyarakat. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para
pejabat terkait segera mencari solusi bersifat menyeluruh dan permanen. Pimpinan
TNI-Polri pun telah meresponsnya dengan tindakan tegas berupa pencopotan para
pejabat yang memang seharusnya bertanggung jawab, penghukuman, dan pemecatan
anggota yang terlibat, dan terakhir ada wacana untuk menyatukan kembali
pendidikan basis selama 3-4 bulan seperti masa lalu.
Akar persoalan
Pertanyaannya,
apakah semua tindakan ini akan jadi solusi permanen? Jawabnya tentu ”tidak”
karena belum menyentuh akar masalahnya. Bak akar serabut yang berkelindan
saling memengaruhi, akar masalahnya sangat rumit karena menyentuh masalah
kultural. Di antaranya yang sangat penting, pertama, faktor
psikologis-kultural. Pada umumnya anggota TNI (khususnya TNI AD) belum
terlepas dari perasaan superioritas masa lalu sebagai saudara tua ketika
Polri masih tergabung dalam ABRI.
Sebaliknya,
di kalangan Polri tumbuh sikap overacting,
euforia kewenangan, arogansi, sebagai ekses pemisahannya dari ABRI serta
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang
memberikan kewenangan amat luas dalam fungsi keamanan dalam negeri.
Lainnya,
sikap kebanggaan korps yang berlebihan sehingga satu-sama lain merasa lebih
hebat. Sikap ini lebih meningkat lagi ketika diberlakukan pemakaian atribut
yang seharusnya jadi simbol keistimewaan korps militer, seperti pemakaian
baret dan pakaian loreng. Kini di lingkungan TNI, satuan administrasi sampai
Babinsa pun memakai baret. Polri tak mau kalah, berbagai warna baret
diberlakukan di beberapa unsurnya, bahkan terakhir telah diberlakukan pula
pemakaian loreng Brimob yang dulunya hanya dikenakan oleh satuan khusus
Resimen Pelopor.
Berikutnya,
masalah kecemburuan akibat jomplangnya kesejahteraan. Perlu digarisbawahi
bahwa perbedaan mencolok kesejahteraan ini bukan disebabkan masalah gaji,
melainkan karena kalangan Polri memiliki kesempatan lebih luas mencari
penghasilan tambahan seiring dimilikinya kewenangan yang amat lebar tadi.
Pada sisi lain, disiplin, penegakan hukum, serta keteladanan pimpinan pada
kedua institusi amat lemah.
Berbagai
faktor psikologis tadi sering menjadi pemicu bentrokan di lapangan, masalah
kecil seperti saling pandang atau senggolan saja bisa menimbulkan perkelahian
antarkorps.
Kedua,
masalah regulasi. TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000 yang lahir di tengah
euforia reformasi telah memisahkan secara ”mutlak-diametral” fungsi
pertahanan-keamanan (hankam) mengakibatkan tidak terpadunya penanganan
masalah itu. Fungsi keamanan mutlak diemban Polri, fungsi pertahanan jadi
ranah TNI dengan penekanan hanya untuk menghadapi ancaman militer dari luar.
Padahal, kenyataannya kedua fungsi bersifat overlapping, masalah keamanan dapat
berkembang eskalatif, terkadang tak bisa diprediksi, sehingga secara cepat
memasuki ranah pertahanan karena telah mengancam kedaulatan, keselamatan
bangsa, dan keamanan negara.
Contohnya,
peristiwa rasial di Amerika Serikat tahun 1981 dan yang terjadi belakangan
ini potensial berkembang cepat ke banyak negara bagian sehingga sejak dini
Garda Nasional dan militer sudah dilibatkan untuk mengatasinya. Kondisi
seperti ini sering terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi yang
membuka kebebasan luas nyaris tanpa batas. Memang ada sistem perbantuan TNI
kepada Polri sesuai Pasal 7 UU No 34/2004 tentang TNI, tetapi sulit
direalisasikan karena tebalnya kendala psikologis-egosentrisme.
Ketiga,
faktor sosial. Institusi TNI-Polri tidak hidup di ruangan hampa, tetapi
sangat dipengaruhi perkembangan masyarakat, seperti meningkatnya
konsumtivisme, transaksionalisme, anarkisme, serta tawuran yang sering
terjadi di kalangan pelajar, mahasiswa, dan kelompok masyarakat. Ketika
proses perekrutan, pendidikan, dan pembinaan satuan di kedua institusi
tersebut kurang antisipatif dan tidak cukup kuat memfilternya, niscaya akan
terinfiltrasi oleh budaya negatif masyarakat tadi.
Keempat,
faktor teknis, terutama menyangkut kepemimpinan. Tuntutan kepemimpinan di
tubuh TNI-Polri harus mampu berperan sebagai komandan sekaligus guru/pelatih,
bapak/orangtua dan rekan sejawat. Efektivitas kepemimpinannya sangat
dipengaruhi kemampuan memainkan peran-peran tersebut. Untuk itu, diperlukan
kebersamaan, komunikasi, kepedulian, dan kepekaan tinggi terhadap kondisi
bawahan serta keluarganya.
Pelajaran
berharga dari kasus Batam, karena kurangnya kepekaan pimpinan kedua belah
pihak di lapangan, perkelahian terjadi berulang kali. Seharusnya ada
pemonitoran dan antisipasi intensif. Sebab, dengan ditembaknya empat anggota
Yonif 134 oleh anggota Brimob, rasa dendamnya tidak mungkin terselesaikan
hanya dengan mempertemukan mereka.
Batam
juga sering jadi ajang berekreasi dan berbelanja barang mewah para pejabat
dari Jakarta yang tak peka, pada saat bersamaan para prajurit di sana harus
hidup dengan gaji kecil di tengah mahalnya barang keperluan sehari-hari.
Masalah teknis lain, penindakan hukum yang tak konsisten dan tuntas, seperti
dikatakan Menko Polhukham bahwa anggota Brimob yang terlibat belum juga
ditindak dan ini diketahui oleh anggota Yonif 134.
Rekomendasi
Perlu
segera dibuat kelompok kerja gabungan TNI-Polri yang serius dan melibatkan
para sosiolog, psikolog, serta ahli terkait lain, dalam rangka membulatkan
pencarian akar masalah serta merumuskan solusi yang bersifat
komprehensif-permanen. Pada tahun 1997, pokja semacam itu pernah diadakan,
tetapi dibubarkan di tengah jalan karena anggota Polri yang dikirim berganti
setiap hari sehingga menyulitkan pembahasan.
Semoga harapan Presiden Joko Widodo serta masyarakat umumnya untuk
melihat hubungan TNI-Polri yang harmonis, komplementer, dan sinergi akan
segera terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar