Selasa, 16 Desember 2014

Kontroversi Karikatur ISIS

                                      Kontroversi Karikatur ISIS

Darminto M Sudarmo  ;   Pemerhati Humor
dan Bergiat di Komunitas Studi Humor Indonesia Kini (Ihik3.com)
JAWA POS,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


PADA 3 Juli 2015 di halaman 7 (opini) harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, dimuat karikatur karya Stephane Peray (Stephff), kartunis asal Prancis yang tinggal di Bangkok, Thailand, selama 23 tahun terakhir dan bekerja sebagai karikaturis (editorial cartoonist) untuk media The Nation. Selain itu, Stephff memublikasikan karikaturnya untuk berbagai penerbitan di dunia (Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika, dan Asia). Tak terduga, karikatur yang dimuat di The Jakarta Post itu mendapat reaksi keras dari sebagian umat Islam di Indonesia dan menuai kontroversi, yang akhirnya berujung pada penetapan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama.

Karikatur itu menggambarkan bendera berlambang tengkorak dengan kalimat tauhid di atasnya. ”Penetapan status tersangka setelah penyidik memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto di kantornya, Kamis, 11 Desember 2014.

Dalam satu hal, fakta di atas dapat menjadi ”drama” yang mengusik kebebasan pers di Indonesia, kaitannya dengan kasus pidana atau etika atas karikatur yang disangkakan itu; padahal karikatur yang sama, karya Stephane Peray (berinisal Stephff), sebelumnya telah dimuat di sebuah situs berbahasa Arab, Al Quds Al Arabi (www.alquds.co.uk/?p=187054) pada 30 Juni 2014, yang sejauh ini tidak terlihat ada gejolak atau kontroversi.

Menjadi pertanyaan kita, apa pertimbangan The Jakarta Post memuat karikatur tersebut? Pada tanggal pemuatan karikatur itu, umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa dan eskalasi emosi sosial masyarakat tentang pemilu pilpres sedang hangat-hangatnya, sementara The Jakarta Post sendiri mendapatkan ”stigma” pro-Jokowi-JK atau dituduh sebagai media yang tidak independen. Latar belakang sosio-budaya tersebut juga menjadi bagian dari pemicu persepsi dan keresahan atau pre-assumption yang emosional beragam atas karikatur tersebut.

Muatan Kritik dan Humor dalam Karikatur

Karikatur (political/editorial cartoon) secara universal dipahami oleh semua kartunis di seluruh dunia sebagai karya yang harus mengandung kritik dan humor dalam setiap opininya. Opini yang tampaknya ”paradoks” tersebut dimaksudkan agar karikatur dapat dibedakan dari gambar yang berisi penghakiman atau propaganda sepihak. Gambar yang menghakimi secara sepihak tentang benar atau salah, semacam doktrin. Sedangkan propaganda sepihak, semacam iklan atau poster.

Karikatur adalah produk yang berbeda. Di dalamnya memuat cerita yang menawarkan ”pesan” serius tapi santai tentang suatu nilai. Khususnya pesan yang memuat tentang isyarat dini pada bahaya yang akan datang (early warning system). Dengan teknik penyajiannya yang khas itu, serius tapi santai, ia juga dapat mengeliminasi agresivitas yang berlebihan. Kartun opini bertema politik, lebih-lebih, ia perlu menyengat, namun juga harus menggelitik saraf senyum tawa pembacanya.

Bagaimana dengan karikatur ISIS Stephane Peray yang dimuat di The Jakarta Post pada 3 Juli 2014? Dalam tataran konsep dan profesionalitas, Stephff telah bekerja sesuai dengan kaidah seorang profesional. Salah satu contoh, dia tidak secara eksplisit mencantumkan kata ISIS dalam gambarnya karena secara intelektual dia tahu siapa pembaca karikaturnya, yaitu masyarakat melek informasi dan up-to-date. Selain itu, dengan deskripsi simbol dalam bentuk adegan visual yang mengerucut pada satu terminologi atau makna, pembaca dilibatkan dalam proses menemukan jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang menyelinap dalam hati. Ini sebuah strategi yang lazim dilakukan semua karikaturis (political cartoonist) untuk menarik perhatian pembaca.

Bagaimana dengan substansi yang terkandung dalam karikatur tersebut? Ini yang menjadi perdebatan ramai. Ada yang menganggap wajar-wajar saja atau pro karena melihat sisi positif dari pesan yang disampaikan, namun ada pula yang mempersoalkan sebagai penistaan agama yang sangat serius.

Bagi yang pro, karikatur itu merupakan kritik dan ejekan terhadap ISIS sebagai kelompok brutal yang membunuhi sesama muslim. Bukan hinaan atas kalimah syahadat.

Bagi yang kontra, yang dimaksud oleh harian The Jakarta Post pada karikatur tersebut bisa jadi sebenarnya ingin menyindir sebuah kelompok yang mengatasnamakan Islam, dalam hal ini ISIS; namun karena simbol yang digunakan oleh ISIS adalah simbol Islam, yaitu kalimat tauhid ”Laa ilaaha illallah”, The Jakarta Post telah ”terjebak” melakukan tindakan pelecehan terhadap Islam dengan karikatur tersebut, yang kemudian banyak diprotes masyarakat.

Parodi Bendera ISIS

Mencermati terjadinya silang sengkarut persepsi atas karikatur tersebut, dapat disimpulkan telah terjadi kegagalan komunikasi karikatur itu bagi sebagian pembaca. Pangkal persoalannya pada keputusan yang ditempuh Stephff dalam memarodikan bendera ISIS yang dipelesetkan dengan memberi gambar tengkorak manusia secara mencolok di tengah bendera ISIS.

Kartunis Stephff mungkin telah menjalankan fungsinya sebagai karikaturis yang berasumsi bahwa masyarakat pembacanya pasti sudah mengenal dan bisa membedakan seperti apa bendera ISIS yang asli dan bendera ISIS yang sudah dia parodikan. Hal yang sama mungkin juga asumsi yang ada dalam pertimbangan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat; maka dia meloloskan karikatur itu untuk dimuat pada edisi hari Kamis, 3 Juli 2014.

Persoalan mungkin akan menjadi sederhana dan selesai andai bendera hitam itu hanya menampilkan gambar tengkorak putih dan bertulikan kata ISIS, tetapi karikatur itu hanya akan menjadi ilustrasi saja, dengan meninggalkan kesan yang seram dan menakutkan. Begitu pula ketika gambar tengkorak itu dihilangkan, karikatur itu akan berhenti sebagai ilustrasi juga. Pada akhirnya mungkin kita harus belajar dan bertanya, bagaimana masyarakat pembaca situs Al Quds Al Arabi dapat merespons karikatur yang sama itu secara dewasa dan percaya diri. Itu kalau kita mau terbuka dan bersama-sama mawas diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar