Kutukan
Tak Termaafkan
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
06 Desember 2014
Pada
Desember 1855, sajak ”Kutukan untuk
Sebuah Bangsa” ditulis Elisabeth Barrett Browning (1806-1861). Larik
awal, ia menulis begini: ”Aku mendengar
malaikat berbicara semalam. Katanya:
Tulislah! Tulislah (tentang) kutukan sebuah bangsa untukku dan
kirimkan ke penjuru Laut Barat”.
Pada bagian tengah, penggalan kritik langsung: ”Lamanya hatiku perih karena dosa-dosa negeriku sendiri: karena kaki
mungil anak-anak berdarah sepanjang jalan… karena parlemen oligarkis dan
suap”.
Browning
dikenal luas sebagai penyair politik. Puisi-puisinya mengisahkan tangisan
budak di pasar Amerika, jeritan pekerja anak di pertambangan di Inggris,
termasuk ketertindasan perempuan oleh falosentrisme.
Dalam
sejarah, istilah ”kutukan” kerap
dipakai meski dalam banyak konteks. Tahun 1993, Richard Auty memperkenalkan
”kutukan sumber daya alam”, mau melukiskan paradoks globalisasi. Negara kaya sumber alam justru lamban dalam
pembangunan ketimbang negara kuat yang sedikit sumber alam. Ungkapan ”minyak
adalah kotoran iblis” dari politikus Venezuela, Juan Pablo Peres Alfonso
(1903-1979), memperkuat paradoks ”kutukan” itu.
Mungkinkah
bangsa ini terkutuk? Demikian pertanyaan peserta sebuah diskusi di Jakarta,
tahun 2013. Bagi kaum Jokowian, pertanyaan itu relevan karena Jokowi terpilih
sebagai ”kehendak sejarah” untuk mematahkan kutukan itu. Benarkah Jokowi
dipanggil sejarah untuk itu?
”Kutukan”
ini mengacu pada kompleksitas masalah yang membelenggu dan seakan tak
terselesaikan. Pada matra politik, demokrasi masih sebatas prosedur.
Ketidakadilan masih dominan pada dimensi hukum. Situasi ini kian rumit
karena, pada matra sosial, masih tingginya kemiskinan, tunaaksara, tunawisma,
termasuk pengangguran. Situasi ini bertahun-tahun sama.
Ada
sedikit skeptisisme di awal pemerintahan Jokowi karena beberapa hal. Pertama,
kisruh internal parlemen yang mengarah pada kebekuan politik. Kedua, porsi
kader partai dalam kabinet yang tak sedikit. Ketiga, celah fiskal yang sempit
menyulitkan implementasi program populis
untuk orang miskin, nelayan, termasuk petani.
Sebagian
tantangan ini sudah terlewatkan. Maka, yang penting sekarang adalah bagaimana memanfaatkan
potensi yang ada pada pemerintah.
Pertama,
kepemimpinan yang berbasis pada kerja, bukan citra. Belum 100 hari, Jokowi
sudah meraup dukungan dunia internasional melalui penampilan di forum KTT
APEC Beijing. Para kepala negara bereaksi positif dengan gagasan ”poros
maritim”.
Kedua,
partai pendukung yang suportif. Partai pemerintah sejauh ini solid dan berada
di belakang Jokowi. Sempat terlihat lumpuh dengan terjadinya kebuntuan di
parlemen, tetapi ke depan partai pendukung diharapkan makin kuat dalam lobi
politik di parlemen.
Ketiga,
tingginya optimisme publik. Meski oposisi terus bersuara keras, sebagian
besar masyarakat politik masih optimistis terhadap pemerintahan ini. Survei
SMRC awal Oktober lalu bisa dijadikan klarifikasi. Ada 52,8 persen cukup yakin dengan pemerintahan
ini, 21,7 persen sangat yakin.
Keempat,
media massa yang kritis-konstruktif. Umumnya media bersikap positif terhadap
pemerintahan, meski ada juga yang bertendensi negatif. Tapi, itulah
demokrasi, setidaknya dalam konteks ”demokrasi permukaan” (Jeff Haynes, 1997). Dukungan dan
kritik keras adalah kekuatan yang
mendesak pemerintah bekerja keras.
Potensi-potensi
ini perlu ditopang oleh kinerja menteri yang maksimal, Jaksa Agung yang
bekerja untuk bangsa bukan partai, termasuk birokrasi yang profesional.
Dengan begitu, perubahan terjadi sehingga tak ada lagi tema ”kutukan untuk
bangsa ini”. Mudah-mudahan setelah lima atau sepuluh tahun, ”katakana” tak
lebih dari sekadar judul film sutradara seperti Kutukan Arwah Santet-nya
Hanny Mustofa (2012) atau kutukan Suster
Ngesot-nya David Poernomo (2009).
Kita
mesti yakin bangsa ini tak dilahirkan untuk menerima kutukan, tetapi untuk
membuktikan teleologi gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.
Bahwa ”sejahtera” itu bukan sekadar wacana seperti dalam literatur (neo-)liberalisme, melainkan prinsip yang
harus diwujudkan di bumi Pancasila. Entah dengan Trisakti Bung Karno atau
Nawacita Jokowi, yang jelas kutukan tak pernah untuk bangsa ini, kecuali
untuk mereka yang diberi tugas oleh sejarah untuk menjadi pemimpin, tetapi
ogah mengembannya.
Maka, kalau ada malaikat berbisik di malam hari, ”Tulislah kutukan untuk bangsa ini!”, bait Browning bisa kita
pelintir: Not so, my lord! Tidak
begitu, Tuhanku! Kalau kutukan itu harus, pilihlah orang lain untuk mengirim
kutukanmu, tapi bukan untuk bangsaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar