“Warisan”
Robin Williams
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 15 Agustus 2014
Kematian
komedian Robin Williams menjadi duka dunia hiburan. Sebab kematian yang
diduga bunuh diri dengan menggantung adalah petaka yang menyisakan tanda
tanya. Mengapa aktor setenar dan sesukses Robin Williams memilih mengakhiri
hidup (seperti itu).
Barangkali
dengan meletakkan dalam konteks Indonesia, ada sesuatu yang bisa dipelajari.
Selain warisan ketenaran, juga tinggalan kewaspadaan, terutama berkaitan
dengan obat terlarang. Williams memulai karier sebagai pelawak di bar yang
dikenal dengan istilah lawak tunggal, stand-up
comedy, bentuk lawakan yang kini laris di sini. Media tersebut memang
tangga menuju ke panggung dunia melalui televisi. Williams kemudian meroket
lebih cepat lewat seri Mork & Mandy (1978). Film seri itu juga
ditayangkan di Indonesia. Maka, namanya relatif dikenal, terutama salamnya
dengan suara bertekuk “nanu-nanu”.
Memerankan tokoh dari planet lain, kemampuannya bersikap aneh, tak biasa,
menjadikan dirinya unik.
Tokoh
dari luar angkasa lain adalah Mr Bean yang memungkinkan sikapnya aneh-aneh.
Namun Williams bukan sekadar aneh. Lawakannya bukan jenis “melempar kue ke wajah”.
Dia termasuk komedian, kelas yang dianggap lebih berjiwa seni. Dia juga aktor
yang piawai. Empat kali diunggulkan dalam Piala Oscar adalah pencapaian yang
mengagumkan, apalagi berhasil menyabet satu untuk pemeran pembantu terbaik.
Dengan kata lain, dia lebih dari pantas dikelompokkan pada kelas atas.
Kehidupan keluarganya juga aman dan rukun.
Bahkan,
31 Juli lalu, ada video unggahan saat bersama putri tunggalnya, Zelda Rae,
waktu ulang tahun ke-25. Di situ tergambar hubungan yang akrab. Bahkan, di dalam
video tersebut ada penjelasan asal usul nama Zelda, tokoh dalam games
Nintendo, sekaligus juga nama seseorang. Dalam usia 63 tahun, Williams tak
mengalami gosip berat, selain kecanduan minuman keras yang mulai dikenal
sejak sukses memerankan Mork. Dia menyadari kebergantungan tersebut dan
sebenarnya sudah mulai menjaga diri.
Bahkan,
pada Juli kemarin, Williams telah mempersiapkan diri untuk mengikuti program
rehabilitasi dari kebergantungan. Sayang, maut datang lebih cepat dan dengan
cara yang tak diperkirakan. Lehernya kemungkinan tercekik tali. Ini masih
dugaan. Hanya, pihak keluarga tidak menginginkan hal ini dibicarakan.
Berkarier selama 36 tahun, Williams mengenal dan dikenal banyak bekerja sama
dengan nama-nama tenar lainnya. Dari era Steven Spielberg sampai generasi
yang lebih muda. Tak kurang Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pun
menuliskan pesan, “Dia datang sebagai
alien, tapi menyentuh jiwa kita sebagai manusia.” Ini menunjukkan ucapan
duka tidak harus selalu menggunakan standar umum yang baku seperti, “Kita kehilangan komedian terbaik.”
Akrab Godaan
Benang
merah dari beban yang dihadapi William, pertama-tama kecanduan minuman keras.
Ini sesuatu yang mendampingi meraih sukses besar di dunia pertelevisian dan
perfi lman. Situasi tersebut disadari tapi agaknya susah diatasi. Sebenarnya,
kecemasan besar mulai dirasakan ketika sahabat dekatnya, sesama komedian
cemerlang, John Belushi, meninggal karena overdosis. Williams merasa “kalah”
dan tak berdaya. Dia mengatakan, “Saya
tak bisa hidup dengan cara seperti ini.” Itu terjadi tahun 1982.
Tekad
berhenti dari obat bertambah kuat setelah setahun kemudian lahir putranya.
Dia berjanji untuk tak menyentuh minuman keras. Tekadnya sedemikian besar.
Dia dibantu keluarga yang dicinta dan mencinta. Takut akan nasib John Belushi
membuatnya bersih. Namun begitu, humor-humornya masih sekitar narkoba. Salah
satunya, “Caramu menunjukkan kekayaan
adalah dengan menggunakan kokain.” Ucapan ini kemudian disesali karena
dianggap membeli legitimasi.
Setelah
bertahan dalam kesuksesan selama 20 tahun, cobaan kembali menerkam. Saat shooting di Alaska, 2003, dia mulai
minum lagi. Ini yang diakui kemudian dalam sebuah wawancara. “Kalau bekerja
keras, minum-minum bisa menjadi pelarian.” Dia mengaku itu cara yang salah,
keliru. Penekanan ini menjadi penting dalam konteks Indonesia karena persoalan
“minuman keras” dan “teman-temannya” sebagai pelarian, pengisi waktu,
iseng-iseng yang ternyata berbahaya.
Kondisi
saat shooting sangat memungkinkan
untuk “mencoba-coba”, baik karena pertemanan dan terutama adanya jeda yang
menganga antara pengambilan adegan satu dengan lainnya. Atau bisa juga antara
adegan yang sama dalam scene berbeda. Semua itu soal waktu menunggu yang
lama, mengesalkan, dan membosankan. Suasana demikian menjadi alasan utama
untuk “melarikan diri”.
Barangkali,
saat-saat seperti itu pula yang melahirkan cinta lokasi. Inilah kekontrasan (shooting) dunia perfilman dan
pertevisian. Aktor dituntut selalu siap dan bersiaga, namun sebenarnya lebih
banyak waktu untuk menunggu. Dalam kaitan dengan Williams, yang pernah
menolak minuman keras, kesempatan itu dengan mudah menyergap, menenggelamkan,
dan membenamkan ke kecanduan berkelanjutan. Ini yang membuat dia kesal atau
depresi berkepanjangan. Pada titik tertentu, dalam bahasa pencandu, “tak ada
lagi pembeda”.
Istilah
bernada guyon ini bermakna tak (dapat) membedakan cewek cantik atau jelek,
penting atau tidak, makanan enak atau lezat sekali. Dalam skala yang lebih
luas dan dalam, tak ada bedanya shooting
atau tidak, bahkan hidup atau mati. Barangkali ini yang seharusnya menjadi
perhatian, terutama para komedian, artis, pekerja, kru, dan mereka yang
terlibat dalam dinamika sama. Dunia perfilman dan pertelevisian bukan hanya
program hiburan, tapi dalam pemberitaan, menuntut kerja berbeda dengan
pegawai kantoran yang bekerja dari pukul 08.00–17.00. Para wartawan pun
memiliki mekanisme kerja tersendiri, meski juga bukan sesuatu yang istimewa.
Artis pun demikian, tak ada pengecualian.
Artis
tak berarti berprivilese boleh melanggar tata krama. Mereka tak memiliki tata
nilai eksklusif. Robin Williams mengingatkan masyarakat bahwa sesungguhnya
memerangi godaan melawan minuman keras dan “teman-temannya” harus terus
dimenangi. Jangan ada kata menyerah atau mengalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar