Urgensi
Perluasan Jelajah KPK
Bambang Soesatyo ;
Anggota Komisi III DPR,
Presidium Nasioinal KAHMI 2012-2017
|
SUARA
MERDEKA, 19 Agustus 2014
“Ironis bahwa KPK yang
ditugasi memerangi koruptor di seantero negeri ini hanya berkantor di
Jakarta”
PENANGKAPAN Bupati Karawang, Jawa Barat, Ade Swara bersama
istri, Nurlatifah, makin memperlihatkan perlunya penguatan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu aspek penguatan yang terlihat
urgensinya adalah perluasan jelajah jangkau KPK hingga ke pelosok wilayah.
Tentu penguatan pada aspek lain juga diperlukan, sejalan dengan berkembangnya
modus tindak pidana korupsi (tipikor) dalam beberapa dekade terakhir.
Apalagi, praktik beberapa model kejahatan bernuansa koruptif
makin merebak akhir-akhir ini. Dari manipulasi BBM bersubsidi, penyelundupan
produk manufaktur yang jelas-jelas merugikan negara dari aspek bea masuk,
hingga penyalahgunaan wewenang dengan memberi ruang bagi praktik kartel.
Beragam kejahatan tersebut belum semuanya disentuh KPK.
Bagi mereka yang awam dengan persoalan moneter dan stabilitas
industri perbankan misalnya, kasus Bank Century terlihat rumit, bahkan sangat
njlimet. Memahami bangun kasusnya saja tak mudah, apalagi untuk sampai
kesimpulan telah terjadi kejahatan tipikor. Barangkali, faktor itulah yang
menjadi sebab penuntasan kasus ini harus memakan waktu.
Bagi institusi penegak hukum, konsekuensi logis dari contoh
kejahatan kerah putih pada kasus Century menjadi sangat jelas bahwa institusi
penegak hukum pun perlu memiliki tenaga ahli yang mampu memahami modus-modus
kejahatan pada bidang atau sektor tertentu di era modern ini. Karena itulah,
peran dan fungsi semua institusi penegak hukum, terutama KPK, perlu diperkuat
dari waktu ke waktu.
Masyarakat masih dan terus mendesak penegak hukum fokus
memerangi korupsi. Tentu saja, perhatian tertuju pada KPK. Belum lama ini, di
tengah hiruk-pikuk perhitungan perolehan suara Pilpres 2014, Pengadilan
Tipikor Jakarta dan KPK masih bisa menyita perhatian khalayak.
Pertama; Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis terdakwa kasus
dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan
penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya,
dengan pidana 10 tahun penjara. Setelah itu,
Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan menteri Pemuda dan Olahraga
Andi Alifian Mallarangeng dengan 4 tahun penjara.
Dengan tertangkapnya Ade
Swara-Nurlatifah, sudah tiga pasang suami-istri dijerat KPK. Yang lebih dulu,
Wali Kota Palembang Romi Herton dan istri, Masyitoh. Keduanya ditetapkan
sebagai tersangka pemberi suap Rp 19,8 miliar kepada mantan ketua MK, Akil
Mochtar. Sebelumnya lagi, mantan bendahara umum Demokrat, M Nazaruddin dan
istri, Neneng Sri Wahyuni, pada 2010. Suami istri itu ditangkap juga karena
sejumlah tindak pidana korupsi.
Mata KPK
Menarik untuk menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad
setelah penangkapan Ade Swara-Nurlatifah. ”KPK tidak tidur dan tidak tinggal
diam melihat keadaan yang makin memprihatinkan. Kami memang tak punya cabang
tapi punya mata di mana-mana. Bahkan di rumah Anda pun, kami punya mata.”
KPK mengakui penangkapan Ade Swara-Nurlatifah berawal dari
laporan masyarakat tentang sepak terjang keduanya yang sangat koruptif.
Berarti, mata dan telinga masyarakatlah yang masih jadi andalan komisi
antirasuah itu. Dalam kasus Ade Swara-Nurlatifah, patut disyukuri karena
masyarakat masih peduli. Apa jadinya andai mereka tidak lagi peduli atau
permisif.
KPK memang hanya ada di Jakarta. Ketika Abraham Samad mengatakan
KPK tak punya cabang di daerah, dia secara tidak langsung menggambarkan
keterbatasan jelajah jangkau lembaganya.
Riilnya, jelajah jangkau komisi itu memang sangat terbatas.
Bahwa ia masih bisa menjerat sejumlah tersangka korupsi dari beberapa daerah,
itu berkat partisipasi atau laporan masyarakat.
Ironis bahwa KPK yang ditugasi memerangi para koruptor di
seantero negeri ini hanya berkantor di Jakarta. Padahal, praktik korupsi
menggejala di semua daerah. Cobalah mendatangi tiap daerah dan mengorek
informasi tentang korupsi maka banyak cerita dituturkan, baik oleh warga
maupun pegawai pemda yang tentu saja minta identitasnya dirahasiakan. KPK pun
menerima banyak laporan dugaan tipikor dari sejumlah daerah.
Tak mudah bagi KPK merespons semua itu mengingat berbagai
keterbatasannya. Karena kecenderungan itulah, perluasan jelajah jangkau KPK
perlu diprioritaskan. Seperti institusi penegak hukum lainnya, wilayah kerja
komisi antikorupsi tersebut amatlah luas, terutama karena korupsi sudah
menggejala di hampir semua daerah. Maka, KPK perlu memiliki instrumen di
daerah.
Mungkin tidak harus berbentuk kantor cabang atau perwakilan.
Tampaknya, instrumen paling utama yang diperlukan adalah penempatan tenaga
yang berfungsi seperti investigator atau pengumpul data. Para investigator
ini beroperasi layaknya intelijen. Tidak terlihat tetapi masyarakat tahu
bahwa di daerahnya ada orang KPK yang siap mengintai atau merespons laporan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar