Selasa, 19 Agustus 2014

Sosialisme Indonesia

                                                Sosialisme Indonesia

Ivan Hadar  ;   Direktur Eksekutif IDe (Institute for Democracy Education);
Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
SINAR HARAPAN, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia, disambut antusias oleh para pendukungnya. Hal tersebut bisa dipandang sebagai bentuk kerinduan terhadap pemimpin yang pro rakyat.

Satu hal yang banyak diapresiasi adalah upayanya membangun koalisi berbasis kerja sama (program), bukan bagi-bagi kursi. Meski, tentu saja, belum sepenuhnya mengacu kepada kesepakatan bersama terkait ideologi dalam strategi pembangunan bangsa ini.

Penyebabnya ada dua hal. Pertama, selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru, “pembangunan” menjadi panglima. Ideologi yang dianggap “kekiri-kirian” apalagi “kiri” menjadi hal yang tabu.

Tak heran Pancasila yang sebenarnya memiliki sila “kekirian”, misalnya keadilan sosial, meski diwajibkan menjadi asas tunggal, sebenarnya telah menjadi sekadar materi hafalan atau bahkan alat represi ketika kelompok yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto dituduh sebagai tidak pancasilais.

Kedua, berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat dan Timur, dua orientasi utama pembangunan yang berangkat dari paradigma modernisasi dan dependensia, seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Paling tidak, terdapat empat penyebab krisis ideologi pembangunan.

Sebagai teori, baik modernisasi maupun dependensia, tidak merasa perlu menganalisis diferensiasi dalam istilah “Negara Berkembang”. Kedua, meskipun beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi menanjaknya Korea Selatan empat dekade terakhir, menjadi sebuah negara yang mampu bersaing dengan negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat diterangkan dengan berbagai teori yang ada.

Menurut teori dependensia, pengintergrasian sebuah negara ke dalam pasar dunia, hanya akan “memicu keterbelakangan”. Ternyata, meski ditandai berbagai hal negatif, seperti relatif rendahnya gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal perkembangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan signifikan.

Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan oleh teori modernisasi, yang pada awalnya menyebut “Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu setelah mengamati keberhasilan beberapa negara Asia Timur, berbalik menyebut etika tersebut sebagai prasyarat keberhasilan.

Hal yang sama juga terjadi terhadap asumsi ekonomi pembangunan klasik, yang awalnya, mempropagandakan reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab ketiga dari krisis teori pembangunan. Sangat lama, semua sepakat tentang tujuan mengejar ketertinggalan dalam proses industrialisasi. Perdebatan hanya tentang “jalan yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu antara paham sosialisme dalam tradisi Marx dengan paham neo-klasik menurut Adam Smith.

Berbagai tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas tentang keterbatasan model pembangunan industrial dan upaya mencontohnya oleh semua negara di muka Bumi. Penyebab keempat kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan tersebut di atas.

Pada sisi teori, berbagai perkembangan tersebut telah menyebabkan melemahnya aspek dogmatik yang tadinya mewarnai perdebatan sepanjang tahun 1970-an. Saat ini, selain para ekonom neo-klasik dengan kepercayaan buta kepada pasar yang diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada seorang pun yang mengaku memegang kebenaran mutlak.

Jalan Tengah

Dalam membicarakan tatanan sosial-politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan “jalan tengah” antara kapitalisme dan sosialisme. Bangsa ini pun pernah mencoba mencari jalan yang sesuai kondisi sosial-budaya, termasuk kepercayaan penduduknya.

Pertanyaannya, apa mungkin ada “jalan tengah versi Indonesia” dan, bukan nantinya, hanya sinkretisme paksaan dua isme yang bertolak-belakang, sehingga dampaknya seakan mencampur minyak dan air?

Pertanyaan yang lebih konkret ialah, perlukah sosialisme Indonesia? Jawaban mudahnya, perlu, agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis yang menjadi persyaratan bagi berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia.

Di negara-negara kapitalis modern yang maju, telah berlaku demokrasi politik, meski masih banyak yang belum berhasil menciptakan demokrasi sosial-ekonomi.

Pencapaian demokrasi politik, secara historis tentu saja sangat penting, tetapi itu kurang lengkap. Ia sekadar merupakan demokrasi perwakilan yang pasif, di mana sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk mewakili kepentingan mereka. Ekonomi tetap terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat.

Eksperimen sosialisme (tepatnya komunisme) negara-negara Blok Timur telah gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis politik yang berujung pada tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur secara keseluruhan.

Tidak adanya demokrasi politik-ekonomi di negara-negara komunis waktu itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dengan akibat terjadinya stagnasi dan inefisiensi ekonomi serta lemahnya disiplin kerja.

Ketidakpuasan atas dua isme tersebut, memicu pencarian alternatif. Secara teoretis, hal itu telah memunculkan berbagai aliran sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang mengupayakan “Negara Kesejahteraan”, seperti yang berkembang di beberapa negara industri maju, seperti Jerman dan negara-negara Skandinavia.

Selain itu, kita pernah mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-Marxis, sosialisme-science-movement, sosialisme-utopis, dan sebagainya. Di negeri ini, kita pun pernah mendengar sosialisme-religius, yang merupakan pemikiran kelompok beragama untuk memberikan warna agamis dalam ideologi, yang diyakini mempromosikan keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Sosialisme Indonesia

Dalam catatan sejarah Indonesia, terdapat empat partai politik yang pernah menyandang kata “sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi partainya. Partai-partai itu adalah Partai Sosialis yang diketuai Amir Syarifuddin, Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang didirikan dan diketuai oleh Sutan Sjahrir. Kemudian ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua partai tersebut.

Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet Republik Indonesia sampai dengan pertengahan 1947, ketika terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) awal 1948 dan bertahan sampai 1960, ketika dibubarkan Soekarno.

Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal sederatan tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialis.

Namun, di antara tokoh-tokoh tersebut, barangkali bisa dikemukakan bahwa hanya Sjahrir  yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangannya. Ia bukan saja telah mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinan itu, melainkan jauh sebelum itu ia telah memikirkan secara mendalam tentang paham sosialisme apa yang paling cocok buat Indonesia.

Sjahrir dengan tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang terdapat di Eropa Barat, maupun sosialisme yang ditawarkan pihak komunis.

Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme yang totaliter, telah membawanya pada satu pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan. Bagi Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti dipahaminya, selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia.

Dalam catatan sejarah diketahui cita-cita sosialisme-kerakyatan dari Sjahrir ini tidak berhasil diwujudkan sebagaimana diharapkan. Namun, ketidakberhasilan ini barangkali bukan semata-mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun namanya, hanyalah suatu paham, suatu cita-cita yang masih berada di tingkat konsepsi.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan harus didukung seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun, tanpa itu ia hanya akan berhenti pada himbauan-himbauan moral atau etis, namun tidak membawa perubahan apa-apa.

Beberapa aksi dan kebijakan konkret Jokowi yang dilakukan untuk mengangkat derajat kaum papa, bila bersandar pada konsep para pemimpin-pemikir seperti Sjahrir, Soekarno, dan Hatta untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan terbaru di negeri ini, bisa menjadi bagian penting dalam pencarian tersebut yang bermuara pada terbentuknya (jalan bagi) Sosialisme Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar