Urbanisasi
dan UU tentang Desa
Imron Rosyadi ;
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI),
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 18 Agustus 2014
FENOMENA arus balik tiap tahun biasanya diikuti pergerakan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Realitas itu mengakibatkan
pertambahan secara siginifikan jumlah penduduk di kota-kota besar di
Indonesia, terutama di DKI Jakarta dan daerah penyangga terdekat. Dinas
Dukcapil DKI memprediksikan pada tahun ini ada 68 ribu pendatang baru,
sebagian besar dari Jawa dan Sumatra, bakal memadati DKI Jakarta.
Perkembangan terkini urbanisasi di Indonesia, berdasarkan sensus
2013 mencapai 44,3%, dan diproyeksikan mencapai 56,2% pada 2025. Berdasarkan
hal itu, menarik menganalisis lebih lanjut persoalan urbanisasi, terlebih
bila mengaitkan dengan kelahiran UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Menelusuri penyebab urbanisasi, kita tak bisa mengabaikan teori migrasi, salah
satunya push and pull factor. Teori
itu menegaskan migrasi terjadi karena ada perbedaan karakteristik antara kota
dan desa.
Perkotaan punya daya pikat bagi pendatang baru (pull factor), misalnya kesempatan
memperoleh pekerjaan yang lebih layak, peluang mendapat pendapatan lebih
besar, kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi, infrastruktur dan
suprastruktur yang lebih memadai dan sebagainya. Adapun pedesaan, merupakan
faktor pendorong (push factor),
misalnya berkait makin langkanya sumber daya alam, kurangnya akses
permodalan, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan
kesejahteraan petani menurun.
Selain itu, berkurangnya lahan pertanian produktif,
industrialisasi produk yang bersifat kearifan lokal tak berjalan lancar,
bahkan mengalami kebangkrutan massal, serta terjadinya bencana alam dan
sebagainya. Sejalan dengan teori itu, salah satu hasil riset Haryono (1999)
menemukan fakta bahwa arus besarbesaran urbanisasi warga Desa Jetis Sukoharjo
ke Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia yang dimulai 1970-an,
disebabkan macetnya industri tenun yang merupakan kreasi asli desa itu.
Padahal tahun 1962, di Jetis terdapat 365 perusahaan tenun
(dengan sekitar 550 unit mesin) yang bisa menyerap 750 tenaga kerja. Beberapa
periset juga berpendapat bahwa modernisasi pertanian di pedesaan di Jawa
memicu pergerakan penduduk desa, terutama kelompok petani gurem dan buruh
tani, untuk ke luar.
Hal itu disebabkan pembangunan pertanian dengan teknologi lebih
modern justru memperbesar jumlah buruh tani yang tidak memiliki lahan
sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Beberapa peneliti lain juga
menyimpulkan mobilitas penduduk merupakan salah satu strategi penting bagi
rumah tangga pedesaan untuk mendapatkan dan meningkatkan penghasilan mereka.
Mendayagunakan Aset
Untuk mengendalikan arus urbanisasi yang sedemikian masif,
diperlukan upaya serius dan strategis dari pemerintah desa yang harus
didukung pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, dengan lebih menggalakkan
pembangunan di pedesaaan.
Terlebih pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
dan kualitas hidup warga desa, serta menanggulangi kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar. Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan
pemerintah desa untuk membangun desa sesuai dengan amanat UU. Pertama;
membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya.
Pemerintah desa dituntut melakukan inovasi dan berkreativitas
untuk menciptakan sektor ekonomi produktif pedesaan, seperti budi daya
produk-produk yang berbasis kearifan lokal, antara lain hasil kerajinan,
industri pangan/minuman tradisional, produk hasil bumi dan pertanian dan
sebagainya.
Kedua; mengembangkan sumber pendapatan desa dan mewujudkan
pembangunan desa secara partisipatif. Pemerintah desa harus bisa memanfaatkan
dan mendayagunakan aset sebagai sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk
membangun sarana dan prasarana. Aset desa berupa tanah kas, tanah ulayat,
pasar atau pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, tempat pelelangan
ikan/hasil pertanian, hutan milik desa, mata air/pemandian umum, dan aset
lain milik desa.
Ketiga; pembangunan kawasan pedesaan yang meliputi penggunaan
dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan
sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota, membangun infrastruktur,
meningkatkan ekonomi pedesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; serta
pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan
kegiatan ekonomi (Pasal 79 UU Nomor 6).
Keempat; mendirikan badan usaha milik desa (BUMDes) yang
dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Hasil usaha badan
usaha tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa,
pemberdayaan masyarakat, dan membantu masyarakat miskin melalui hibah,
bantuan sosial, atau dana bergulir yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan
dan belanja desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar