Selasa, 19 Agustus 2014

Urbanisasi dan UU tentang Desa

                               Urbanisasi dan UU tentang Desa

Imron Rosyadi  ;   Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI),
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
SUARA MERDEKA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

FENOMENA arus balik tiap tahun biasanya diikuti pergerakan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Realitas itu mengakibatkan pertambahan secara siginifikan jumlah penduduk di kota-kota besar di Indonesia, terutama di DKI Jakarta dan daerah penyangga terdekat. Dinas Dukcapil DKI memprediksikan pada tahun ini ada 68 ribu pendatang baru, sebagian besar dari Jawa dan Sumatra, bakal memadati DKI Jakarta.

Perkembangan terkini urbanisasi di Indonesia, berdasarkan sensus 2013 mencapai 44,3%, dan diproyeksikan mencapai 56,2% pada 2025. Berdasarkan hal itu, menarik menganalisis lebih lanjut persoalan urbanisasi, terlebih bila mengaitkan dengan kelahiran UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menelusuri penyebab urbanisasi, kita tak bisa mengabaikan teori migrasi, salah satunya push and pull factor. Teori itu menegaskan migrasi terjadi karena ada perbedaan karakteristik antara kota dan desa.

Perkotaan punya daya pikat bagi pendatang baru (pull factor), misalnya kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak, peluang mendapat pendapatan lebih besar, kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi, infrastruktur dan suprastruktur yang lebih memadai dan sebagainya. Adapun pedesaan, merupakan faktor pendorong (push factor), misalnya berkait makin langkanya sumber daya alam, kurangnya akses permodalan, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan kesejahteraan petani menurun.

Selain itu, berkurangnya lahan pertanian produktif, industrialisasi produk yang bersifat kearifan lokal tak berjalan lancar, bahkan mengalami kebangkrutan massal, serta terjadinya bencana alam dan sebagainya. Sejalan dengan teori itu, salah satu hasil riset Haryono (1999) menemukan fakta bahwa arus besarbesaran urbanisasi warga Desa Jetis Sukoharjo ke Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia yang dimulai 1970-an, disebabkan macetnya industri tenun yang merupakan kreasi asli desa itu.

Padahal tahun 1962, di Jetis terdapat 365 perusahaan tenun (dengan sekitar 550 unit mesin) yang bisa menyerap 750 tenaga kerja. Beberapa periset juga berpendapat bahwa modernisasi pertanian di pedesaan di Jawa memicu pergerakan penduduk desa, terutama kelompok petani gurem dan buruh tani, untuk ke luar.

Hal itu disebabkan pembangunan pertanian dengan teknologi lebih modern justru memperbesar jumlah buruh tani yang tidak memiliki lahan sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Beberapa peneliti lain juga menyimpulkan mobilitas penduduk merupakan salah satu strategi penting bagi rumah tangga pedesaan untuk mendapatkan dan meningkatkan penghasilan mereka.

Mendayagunakan Aset

Untuk mengendalikan arus urbanisasi yang sedemikian masif, diperlukan upaya serius dan strategis dari pemerintah desa yang harus didukung pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, dengan lebih menggalakkan pembangunan di pedesaaan.

Terlebih pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup warga desa, serta menanggulangi kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar. Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah desa untuk membangun desa sesuai dengan amanat UU. Pertama; membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya.

Pemerintah desa dituntut melakukan inovasi dan berkreativitas untuk menciptakan sektor ekonomi produktif pedesaan, seperti budi daya produk-produk yang berbasis kearifan lokal, antara lain hasil kerajinan, industri pangan/minuman tradisional, produk hasil bumi dan pertanian dan sebagainya.

Kedua; mengembangkan sumber pendapatan desa dan mewujudkan pembangunan desa secara partisipatif. Pemerintah desa harus bisa memanfaatkan dan mendayagunakan aset sebagai sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk membangun sarana dan prasarana. Aset desa berupa tanah kas, tanah ulayat, pasar atau pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, tempat pelelangan ikan/hasil pertanian, hutan milik desa, mata air/pemandian umum, dan aset lain milik desa.

Ketiga; pembangunan kawasan pedesaan yang meliputi penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota, membangun infrastruktur, meningkatkan ekonomi pedesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; serta pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi (Pasal 79 UU Nomor 6).

Keempat; mendirikan badan usaha milik desa (BUMDes) yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Hasil usaha badan usaha tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan membantu masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, atau dana bergulir yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar