Pemeliharaan
dan Pengelolaan Jembatan
Gatot Rusbintardjo ;
Dosen Fakultas Teknik
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 18 Agustus 2014
SEPULUH hari menjelang Lebaran 2014, di tengah kesibukan para
pemangku kepentingan mempersiapkan jalan pantura Jateng supaya nyaman dan
aman dilalui pemudik, oprit (bagian di depan jembatan atau jalan/jalur
pendekat) barat Sungai Comal ambles. Akibatnya, jalur pantura lumpuh, dan
semua kendaraan harus memutar lewat jalur selatan/tengah Jateng, atau jalur
alternatif.
Terputusnya jalur utama di Jateng itu membuat kalang kabut para
penanggung jawab jalan dan jembatan di jalur pantura Jateng, terlebih terjadi
menjelang puncak arus mudik Lebaran. Tak pelak pejabat Kementerian PU, dari
menteri, dirjen Bina Marga, sampai kepala Dinas Bina Marga Jawa Tengah, turun
langsung memantau perbaikan oprit jembatan itu.
Pemangku kepentingan mengerahkan segala upaya, termasuk
mengerahkan prajurit TNI AD, supaya jembatan dapat dilewati kendaraan sebelum
Lebaran. Hasilnya, Menteri PU Djoko Kirmanto menyatakan bahwa mulai Jumat
(25/7/14) atau 3 hari sebelum Lebaran jembatan itu bisa kembali dilewati
kendaraan, dengan berat maksimal 10 ton. Mengapa oprit jembatan tiba-tiba
ambles pada 18 Juli 2014 itu? Tak pernah ada oprit/ jembatan ambles atau
mendadak runtuh.
Mustahil misalnya hari ini kondisi sebuah jembatan baik, tapi
besok ambles/mengikis, kecuali ada gempa bumi berskala besar yang merusak
struktur utama. Bisa dipastikan kerusakan oprit jembatan Comal disebabkan
kurangnya, bahkan tidak adanya pemeliharaan dan pemeriksaan secara rutin.
Untuk menelisik faktor penyebab kerusakan jembatan, termasuk bagian oprit,
mari kita lihat sketsa jembatan (gambar 1). Lantai dan rangka jembatan
biasanya diletakkan di atas kepala jembatan.
Dinding Sayap
Agar kepala jembatan aman dari gerusan air sungai, baik dari
belakang maupun bawah maka dibuat dinding sayap di samping kepala jembatan
(bisa lurus seperti dinding sayap kiri, atau miring seperti dinding sayap
kanan) dan pengaman di depan kepala jembatan. Dinding sayap berfungsi
mencegah air sungai masuk ke bagian belakang kepala jembatan yang akan
menggerus tanah di bawahnya.
Adapun pengaman kepala jembatan berfungsi mencegah air menggerus
bagian bawahnya. Sebelum memasuki jembatan, di bagian depan kepala jembatan
biasanya ada pelat pendekat (gambar 2). Fungsi pelat itu menjaga jembatan
agar tidak ambles secara mendadak andai tanah di belakang kepala jembatan
longsor/hanyut karena tergerus air.
Saya tidak tahu apakah jembatan Sungai Comal dilengkapi dengan
pelat pendekat atau tidak. Tapi kerusakan oprit jembatan Comal, bisa
dipastikan akibat ada air sungai masuk dan menggerus/ membawa tanah di bagian
belakang kepala jembatan. Hal itu pasti membuat bagian belakang kepala
jembatan ambles.
Perawatan Rutin
Dari mana air sungai bisa masuk dan menggerus tanah di belakang
kepala jembatan? Hampir dipastikan karena ada keretakan pada dinding sayap
sehingga air merembes/masuk ke dalam. Bisa saja karena retakan tidak segera
ditutup (mengingat tidak ada pemeliharaan dan pemeriksaan rutin yang memadai)
maka retakan itu membesar dan berdampak pada pecahnya dinding sayap.
Akibatnya, air sungai tak lagi merembes tapi masuk/ menerjang
dengan deras, menghanyutkan tanah di belakang kepala jembatan sehingga oprit
pun ambles. Kasus itu tidak bakal terjadi secara tiba-tiba tapi
perlahanlahan. Seandainya rutin diperiksa maka mustahil oprit ambles
mendadak. Untuk memelihara dan mengelola jembatan, pemangku kepentingan akan
mengacu bridge management system (BMS) atau sistem pengelolaan jembatan.
Berdasarkan sistem itu, semua data jembatan disimpan secara
lengkap, dari data konstruksi, ukuran bentang, lokasi, jenis bahan jembatan,
lebar sungai, serta bangunan-bangunan pelengkap seperti dinding sayap dan
sebagainya. Bahkan data harga satuan material di lokasi jembatan pun
tersimpan dalam program itu. Adapun protap bridge management system, pertama;
petugas Bina Marga di lapangan memeriksa secara rutin (minimal tiap bulan,
dan makin sering memantau berarti makin baik) kondisi jembatan yang ada di
bawah tanggung jawabnya.
Semua bagian jembatan, baik kepala jembatan, pilar-pilar,
dinding sayap, dinding pelindung kepala jembatan, rangka, dan semua bangunan
pelengkap, diperiksa secara seksama. Kedua; petugas tersebut membuat laporan
atas semua hasil pemantauannya kepada atasan, biasanya kepala Dinas Bina
Marga di daerah. Ketiga; kepala Bina Marga (atau PU) di kabupaten/kota meneruskan
laporan tentang kondisi jembatan kepada kepala Dinas Bina Marga provinsi.
Keempat; kepala Dinas Bina Marga provinsi kemudian mengirim data
kondisi jembatan ke Ditjen Bina Marga disertai usulan perbaikan, bila memang
harus ada perbaikan. Kelima; berdasarkan laporan itu, dan mengacu bridge
management system, Ditjen Bina Marga akan menganalisis, memberikan jawaban
perbaikan apa yang harus dilakukan, dan bahkan mengganggarkan biayanya.
Melihat prosedur bridge management system tersebut, bila
manajemen tersebut diterapkan secara konsisten, yang berarti ada pemeliharaan
secara rutin jembatan, amblesnya oprit secara mendadak jembatan Comal
mustahil terjadi. Saya bisa menyimpulkan, tak pernah ada pemeriksaan/-
pemeliharaan rutin, tidak pernah ada laporan ke Dinas Bina Marga, dan juga ke
Ditjen Bina Marga. Sebaliknya, dinas provinsi dan Ditjen Bina Marga juga
tidak pernah mengadakan pengawasan ke tingkat bawah. Tidak sedikit kerugian
akibat amblesnya oprit jembatan Comal.
Berapa biaya perbaikan darurat agar lalu lintas dapat kembali
lewat jembatan itu saat Lebaran? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
perbaikan permanen, yang kabarnya baru selesai akhir Desember 2014? Berapa
kerugian pengguna jalan, terutama truk angkutan barang, mengingat mereka
harus memutar lewat jalur tengah/ alternatif? Belum lagi terhambatnya
distribusi barang (muatan) karena truk besar memilih parkir menunggu supaya
bisa kembali lewat.
Termasuk perhitungan berapa liter BBM yang dibutuhkan bila lewat
jalur tengah/selatan, termasuk bertambahnya waktu tempuh dan stres yang
diderita pengemudi atau pemilik barang dan pihak pemesan? Kita bisa melihat
semua itu akibat tidak berjalannya bridge management system pada kalangan
pemangku kepentingan. Bila cara pengelolaan itu tidak dilaksanakan maka dapat
dipastikan jembatan-jembatan lain di Jateng bisa saja ”tiba-tiba” rusak, dan
kerugian lebih besar kembali terjadi.
Kita bisa berkaca pada rusaknya jembatan-jembatan kecil di jalur
alternatif karena menerima limpahan beban kendaraan yang melebihi
kekuatannya. Siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut, dan
apa bentuk pertanggungjawabannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar