ISIS
dan Islam Republikan
Syaiful Arif ;
Peneliti Forum Demokrasi
|
SINAR
HARAPAN, 18 Agustus 2014
Penetrasi Islamic State of
Iraq and Syiria (ISIS) ke Indonesia bukan hal aneh. Sejak runtuhnya Orde
Baru, negeri ini kebanjiran gerakan "Islam impor" transnasional
yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun
seperti yang sudah-sudah, ISIS pun tidak akan berdaya menghadapi kemapanan
bangunan bangsa dan Islam moderat yang telah membatini republik ini.
Tak disangkal, ISIS memang membawa angin segar bagi Islam
ideologis (islamisme) yang selama ini menjadi minoritas di negara Pancasila
ini. Keberhasilannya mendeklarasikan negara Islam (daulah Islamiyah) di dua teritori negara Arab—Irak dan
Suriah—menumbuhkan semangat baru di dada para aktivis islami.
Tak heran, Forum Aktivis Syariat Islam (Faksi) menyambut hal ini
dengan mendeklarasikan dukungan atas ISIS secara terang-terangan di Bundaran
Hotel Indonesia (HI), serta membaiat kekhalifahan Abu Bakr Al-Baghdadi di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Kesesuaian antara cita penegakan syariat melalui negara Islam
dan militansi serta kekuatan militer ISIS membuat para aktivis islami di
negeri ini mendapatkan amunisi baru. Tak ayal, ploriferasi ISIS telah
menyebar di beberapa wilayah, seperti Jawa Barat, Jakarta, Bekasi, Solo,
Lombok, Malang, dan Kalimantan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukham) langsung bereaksi
keras: dicabutnya kewarganegaraan RI bagi warga negara Indonesia (WNI) yang
mendukung ISIS. Hal ini wajar, mengingat dukungan atas ISIS berarti dukungan
atas keabsahan negara dan presiden (khalifah)
lain. Hal ini diperkuat seruan Al-Baghdadi yang menetapkan ISIS—yang beribu
kota di Raqqa, Suriah—sebagai rumah besar umat Islam. Dalam hal ini,
Al-Baghdadi telah mendelegitimasi eksistensi negara-negara bangsa muslim,
atas nama kesatuan umat (ummatan
wahidan) Islam.
Kepublikan
Dukungan sebagian kecil masyarakat kita atas ISIS serta seruan
"pindah negara" oleh Al-Baghdadi menyiratkan kesalahpahaman atas
apa itu negara Islam dan bagaimana status NKRI dalam pandangan Islam.
Padahal, pandangan yang telah mapan sejak Indonesia berdiri inilah yang
mementahkan gerakan ISIS.
Atas persoalan ini, kita perlu menengoki dua hal. Pertama,
pandangan Islam atas NKRI. Para ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama
(NU) sejak lama merumuskan hal ini. Dalam muktamar ke-11 NU di Banjarmasin
tahun 1935, terlontarlah pertanyaan, "Apakah
wilayah Hindia-Belanda (Nusantara) yang dikuasai pemerintahan kolonial
Belanda wajib dibela?".
Atas pertanyaan ini, para ulama menjawab: wajib. Kenapa?
Meskipun tidak di bawah pemerintahan Islam, wilayah kita merupakan dar
al-Islam (wilayah Islam) karena dua hal. Pertama, dilaksanakannya syariat
Islam oleh kaum muslim. Kedua, pernah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara. Dua argumentasi ini didasarkan kepada kitab Bughyatul
Mustarsyidin, satu kitab babon fikih karya Abdurrahman Ba'alawi. Berdasarkan
status ini, lahirlah Resolusi Jihad 1945 yang memberikan status pembelaan
NKRI dari penjajahan sebagai fardlu 'ain.
Dengan demikian, status syar'i Indonesia hingga kini adalah dar
al-Islam yang dibedakan dengan daulah Islamiyah (negara Islam) dan dar
al-harb (wilayah perang). Pemilihan status wilayah Islam dan bukan negara
Islam menandai pembentukan nasionalisme Islam (Islamic nationhood) yang bermakna strategis. Di satu sisi, umat
Islam di Indonesia memiliki kebangsaan sendiri yang berbeda dengan bangsa
lain, termasuk Arab. Di sisi lain, kebangsaan itu memuat derajat islami yang
membuat syariat sah ditegakkan.
Hal ini diperkuat pengesahan Presiden RI sebagai waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah:
pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syariat pada Munas Alim
Ulama 1954. Kedaruratan status pemimpin RI disebabkan ketiadaan imam al-a'dhom, yakni pemimpin besar
seluruh umat Islam dunia atau khalifah pascaruntuhnya Turki Usmani (1924).
Oleh karena itu, ketika kini Al-Baghdadi mengklaim diri sebagai
khalifah, ini gugur oleh pengesahan syar'i
atas Presiden RI sebagai ulil amri, yang membuat hukum Islam sah diterapkan
di Indonesia. Dari sini, perjuangan pendirian negara Islam Indonesia pun
sia-sia sebab merupakan pengadaan atas hal yang sudah ada (tahshil al-hasil). Hal ini terjadi
karena tujuan pendirian negara Islam adalah penerapan syariat. Sementara itu,
melalui NKRI, syariat Islam telah diterapan republik ini.
Hal kedua yang perlu ditengok adalah konsepsi politik Islam
mainstream muslim negeri ini. Konsepsi tersebut merujuk ke suatu “Islam republikan”. Dalam konsep ini,
politik Islam tidak berada dalam ranah negara, melainkan kepublikan. Hal ini
senapas dengan prinsip republikanisme yang meletakkan politik di ranah
ontologisnya, yakni kebaikan bersama (res
publica).
Di dalam ranah ini, negara memang menjadi instrumen utama,
tetapi bukan ranah utama politik itu. Ranah utama politik berada di ruang
publik, yakni perwujudan kebaikan bersama di luar ruang privat (res privata) atau kepentingan pribadi.
Oleh karena itu bagi para republikan, praktik kenegaraan bisa tidak bermakna
politik ketika tidak diarahkan demi kebaikan publik (Pettit, 2002:110).
Dalam Islam, kebaikan bersama (al-mashlahat al-'ammah) merupakan tujuan dari syariat Islam.
Kemaslahatan ini merujuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang dilindungi (daf'u dlaluri ma'shumin), termasuk
hak-hak nonmuslim. Berdasarkan hal ini, negara (hanya) menjadi alat bagi
tujuan kemaslahatan (al-ghayah wa
al-wasail).
Dengan demikian, ketika NKRI melalui sila kelima Pancasila, yang
memuat keadilan sosial, negara ini bisa menjadi tujuan bagi politik Islam.
Dengan cara ini, mainstream kekuatan Islam di Indonesia tidak mengejar
"bentuk negara", tetapi "fungsi negara". Kedua hal ini
menunjukkan hubungan Islam dan negara di Indonesia, merupakan misal gemilang
bagi penerapan substansi politik Islam di zaman modern.
Dua Kebijakan
Berdasarkan republikanisme Islam, pembaiatan ISIS kepada WNI
tidak hanya melanggar kedaulatan NKRI, tetapi juga bertentangan dengan
hakikat politik Islam. Memang saat ini medan perang masih terlokalisasi di
Irak dan Suriah, tetapi gerakan ISIS bukan murni politik, melainkan ideologi.
Dalam perjuangan ideologis, musuh utama terdapat di opsisi ideologis, yakni
negara-bangsa yang dianggap bertentangan dengan khilafah Islamiyah. Komitmen
pendukung ISIS mendirikan daulah Islamiyah di negeri ini menjadi bukti.
Hal yang berbahaya dari ISIS terlebih adalah watak
teroristiknya. Hal ini sudah terlihat jelas berdasarkan kekejaman terhadap
kelompok Syiah dan kristiani di Irak. Tak heran jika DK PBB pada 14 Mei 2014
mengeluarkan resolusi, ISIS adalah bagian dari terorisme. Di dalam negeri,
watak teroristik ini terlihat dari dukungan kelompok Mujahid Indonesia Timur
pimpinan Santoso, yang merupakan jaringan teroris buronan Densus 88 Antiteror.
Di titik ini, pemerintah RI perlu menempuh dua kebijakan.
Pertama, represif melalui pembekuan ISIS Indonesia. Ini karena berdasarkan
Undang-Undang (UU) No 17/2013 tentang Ormas, ISIS wajib dilarang karena
bertentangan dengan Pancasila. Pelarangan ISIS tanpa pembekuan organisasi di
setiap wilayah pertumbuhannya tak akan mampu membendung ploriferasi gerakan
ini.
Kedua, preventif melalui sosialisasi pendidikan kewarganegaraan
secara masif di dunia pendidikan dan kantong-kantong keagamaan. Sekadar
catatan, laporan tahunan pendidikan keagamaan tahun 2013 oleh Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) menemukan potensi
radikalisme di anak didik kita.
Sebanyak 52 persen mahasiswa aktivis Islam di PTAI setuju dengan
aksi kekerasan demi menegakkan nilai-nilai (ideologis) Islam (Penda,
2013:54). Keberadaan gerakan Islam radikal di kampus, seperti Hizbut Tahrir
dan Lembaga Dakwah Kampus, akan menyediakan basis kultural bagi tumbuh
suburnya ISIS. Pendidikan kewarganegaraan ini dihadirkan dalam konteks nilai "Islam republikan" di atas,
agar umat Islam menerima NKRI sebagai bagian dari cita-cita Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar