Berlatih
dan Berlatih
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis
Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi
Universitas YARSI
|
KOMPAS,
24 Agustus 2014
BERLATIH
adalah cara penting untuk memperoleh hal yang kita inginkan. Termasuk melatih
kemampuan dalam menyampaikan pendapat sesulit apa pun dan dalam situasi
relasi sosial yang sulit sekalipun.
Timbul
pertanyaan, bagaimanakah cara belajar bertanya, menjelaskan perbedaan
pendapat kita, tetapi tetap mampu bersikap tenang dan jelas, meskipun saat
itu kita tidak mendapat respons dari lingkungan sosial kita?
Kita
bisa memulai berlatih dengan masalah yang sederhana. Kemudian kita dapat
berlatih bertanya atas suatu pertanyaan yang jelas tentang berbagai masalah
yang selama ini sebenarnya kita coba abaikan. Untuk kemudian akhirnya kita
dapat mendefinisikan di mana kita berada dan seberapa jauh perbedaan kita
dengan lingkungan sosial kita saat serta kiat apa yang seyogianya kita
lakukan untuk mengatasinya.
Jika
permasalahan khusus yang kita ingin diskusikan benar-benar sulit, seyogianya
kita membagi permasalahan menjadi dua langkah berikut:
Coba
berpikir dalam kaitan dengan keberadaan, paling tidak dua percakapan, atau serangkaian
percakapan yang dapat dibagi dalam kategori. Kategori pertama, dalam
percakapan, kita hanya berperan sebagai pendengar, dalam hal ini kita
bertanya dan mencoba untuk sekadar belajar memahami pernyataan orang yang
kita ajak berdiskusi.
Contohnya,
kita ajukan pertanyaan pada ibu kita sendiri: ”Ibu, apakah yang akan menjadi
pemikiran terberat bagi Ibu andai saya berpacaran dengan paman, adik ibu yang
bungsu?” atau ”Ibu, bagaimana reaksi ibu jika ternyata kakak yang saat ini
kuliah di fakultas kedokteran memutuskan untuk berhenti dan pindah ke jurusan
musik?”
Pada
kesempatan tersebut kita memberikan peluang kepada orang lain (ibu) untuk
mengetahui bahwa kita benar-benar berminat untuk lebih mempelajari perspektif
ibu tentang masalah yang kita tanyakan tersebut. Mendengar pendapat ibu
merupakan bagian terpenting dari pelatihan percakapan yang kita upayakan.
Kalau
kemudian kita memperluas konteks pembicaraan menjadi, misalnya, ”Ibu, menurut
pendapat saya, nenek adalah sosok yang sangat tidak toleran terhadap orang
yang terkesan memiliki perbedaan pendapat, ya Bu”. Pada saat kita sampai pada
konteks tersebut, sebenarnya kita mulai lebih bisa memahami dari mana orang
lain dengan perbedaan perspektif tersebut berasal.
Kita
juga akan merasa lebih tenang saat memahami orang lain yang memiliki
reaksi-reaksi terhadap lingkungan yang terkesan kurang peka dan penuh dengan
kecemasan serta kegalauan. Kita menerima situasi yang membuat kita akhirnya
dapat menerima bahwa respons seseorang bisa berbeda dengan respons kita
sendiri, karena lebih disebabkan oleh pemikiran mereka sendiri, dan tidak
terkait dengan diri kita. Dengan demikian, kita semakin memahami bahwa sikap
negatif, katakanlah dari ibu kita sendiri, misalnya terhadap sesuatu hal,
hanyalah sekadar informasi tentang cara ibu mengelola kecemasan.
Dalam
percakapan selanjutnya (kategori kedua), kita bisa berbagi tentang berbagai
perbedaan perspektif yang kita miliki walaupun sementara ini masih dengan ibu
kita sendiri.
”Ibu,
dari pembicaraan kita minggu lalu saya memahami bahwa antara Ibu dan saya
terdapat perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah. Namun, walaupun ada
perbedaan pandangan dalam berbagai masalah di antara kita, saya merasa bahwa
Ibu tetap sayang kepada saya, ya Bu.”
Dari
ungkapan perasaan kita terhadap ibu, kita akan mendapat latihan praktis yang
tidak berisiko karena kita tahu betul bahwa kasih sayang ibu kepada kita
tidak akan berkurang, walaupun ibu tahu bahwa ada perbedaan perspektif dengan
kita.
Pengalaman
yang kita peroleh melalui latihan mengutarakan perbedaan perspektif dengan
ibu meningkatkan kematangan kita untuk mampu menerima dengan tenang pendapat
yang berbeda dengan pendapat kita tentang sesuatu hal. Untuk kemudian kita
perluas lingkup sosial, di mana kita bisa melatih diri mengutarakan pendapat
kita tentang permasalahan apa pun, walaupun mungkin saja kita memiliki
perbedaan perspektif dengan lingkup sosial yang lebih luas, misalnya mulai
dengan sahabat kita, kemudian teman lain dan selanjutnya dengan lingkup
pergaulan yang lebih luas lagi.
Dengan
demikian, akhirnya kita yakin bahwa apa pun akan mampu kita capai apabila
kita mau berlatih, dan berlatih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar