Selasa, 12 Agustus 2014

Jilboobs dan Simbol Otokritik

Jilboobs dan Simbol Otokritik

Pangki T Hidayat  ;   Direktur Eksekutif
Research Center for Democratic Education, Jogjakarta
JAWA POS, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

BELAKANGAN ini fenomena jilboobs kembali marak dan menjadi perbincangan hangat di media massa maupun media sosial. Fenomena faktual tersebut terjadi sejak munculnya akun Facebook Jilboobs Community yang dibuat pada 25 Januari 2014. Hingga saat ini, akun tersebut telah mendapat lebih dari empat ribu likes pada halamannya dan terus meningkat pesat seiring dengan munculnya kontroversi jilboobs. Belakangan, di Twitter, akun-akun serupa yang mengusung nama dan mem-posting konten-konten yang berafiliasi dengan fenomena jilboobs juga terlihat mulai marak. Sebelumnya, fenomena yang sama menyeruak ke permukaan pada 2012, namun dengan istilah berbeda. Yakni, jilbab gaul dan jilbab funky.

Secara etimologi, istilah jilboobs merupakan gabungan dua kata. Yakni, jilbab dan boobs (dada wanita/orang dungu). Istilah itu merupakan sindiran kepada para perempuan muslim yang mengenakan hijab, tetapi sangat ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas, terutama bagian dada. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan konsep berpakaian Islam yang syar’i, yakni tertutup, tidak membentuk lekuk tubuh (longgar), dan tidak tembus pandang (transparan). Lebih jauh, Syaikh al-Bani dalam bukunya Jilbaabul Mar’ah Al- Muslimah mengungkapkan ketentuan syariat jilbab yang syar’i sebagaimana yang telah diriwayatkan Alquran. Dalam buku tersebut dijelaskan, ada delapan ketentuan syariat jilbab yang syar’i. Yaitu, menutupi seluruh badan selain bagian yang dikecualikan, tidak dijadikan perhiasan, tidak tembus pandang, tidak ketat, tidak dibubuhi minyak wangi (parfum), tidak menyerupai pakaian lelaki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan tidak berupa pakaian syuhrah (mencolok).

Simbol Otokritik

Munculnya fenomena jilboobs itu bisa jadi merupakan bentuk (simbol) otokritik terhadap mereka yang berhijab, tetapi tidak sesuai dengan kaidah dan syariat Islam. Hal itu senada dengan pernyataan pemilik label busana muslim La Perle Collection, Ira Mutiara. Yakni, fenomena jilboobs tersebut muncul karena kurangnya pemahaman sebagian hijabers (pengguna hijab) soal cara berhijab yang syar’i. Karena itu, otokritik ini harus disikapi dengan bijaksana, tidak malah menghakimi secara sepihak.

Bukan tidak mungkin ternyata mereka sekadar ikut-ikutan atau mendapat hasutan (propaganda) dari orang-orang yang ingin mengadu domba antar penganut Islam. Kondisi tersebut harus benar-benar dicermati. Mengingat, pasca pemilu presiden (pilpres), situasi nasional masih terasa panas. Selain itu, ada ancaman penjejalan ideologi oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Karena itu, tentu akan sangat berbahaya jika kelangsungan demokrasi nasional menjadi taruhan gara-gara isu sepele ini.

Di sisi lain, menarik dicermati, mayoritas muslimah yang gemar mengenakan jilboobs adalah mereka yang masih berusia remaja. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock 2003), remaja cenderung ingin selalu menjadi pusat perhatian. Karena itu, wajar bila dalam berpakaian mereka juga selalu berusaha tidak pernah tertinggal mode. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar psikologi pendidikan dari Universitas Indonesia (UI) Dr Rose Mini Ap MPsi bahwa fenomena jilboobs muncul karena sejumlah perempuan muslim berusaha keras agar terlihat mampu mengikuti fashion (tren mode), tetapi tidak mengerti bahwa yang dilakukan itu justru keliru dan menyalahi aturan busana muslim yang syar'i.

Karena itu, menghakimi jilboobers (pengguna jilboobs) secara sepihak jelas hanya akan membuat mereka merasa dilecehkan. Bukan tidak mungkin akibat penghakiman sepihak dan bullying yang terus-menerus malah membuat mereka melepas dan meninggalkan hijabnya. Karena itulah, mengatasi fenomena jilboobs itu harus dilakukan dari dua sisi. Yaitu, dari internal diri remaja dan desainer maupun pengusaha garmen, terutama yang menyasar pasar busana muslim di tanah air.

Upaya Persuasif

Bagi remaja, cara-cara persuasif harus dikedepankan dalam memberikan pengarahan berhijab yang syar’i. Hal itu penting dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran diri secara alami dan tanpa paksaan pada diri remaja. Misalnya, memberikan teguran secara halus, selalu memberikan contoh berhijab yang syar’i, dan selalu menekankan nilai-nilai agama dalam berbusana. Selain itu, upaya persuasif akan berdampak jangka panjang daripada menggunakan upaya-upaya yang bersifat paksaan maupun otoriter (Burgon & Huffer, 2002). Sementara itu, bagi para desainer maupun pengusaha garmen, penting diberikan pemahaman agar mereka tidak hanya mengutamakan unsur modis dalam mendesain pakaian muslim, namun juga harus memenuhi unsur kepatutan serta kepantasan sesuai dengan syariat-syariat Islam.

Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu berelaborasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mendorong industri busana muslim di tanah air agar menyediakan busana muslim yang lebih sesuai dengan syariat Islam. Yakni, tertutup, tidak ketat (longgar), dan tidak tembus pandang. Upaya tersebut penting dilakukan agar fenomena-fenomena serupa yang secara tak langsung melecehkan nilai jilbab sebagai busana kaum muslimah tidak terulang. Seyogianya, munculnya fenomena jilboobs ini bisa menjadi otokritik yang membangun bagi umat Islam, terutama bagi kaum muslimah, agar lebih mawas diri dalam memilih serta mengenakan pakaian. Pakaian yang dikenakan selain syar’i tentu juga harus bisa melindungi perempuan dari segala macam gangguan sebagaimana termaktub dalam surah Al-Ahzab ayat 59. Dengan demikian, umat Islam bisa menjalankan ajaran agama secara kaffah (total dan sempurna). Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar