Tiada
Lawan Abadi dalam Politik
Biyanto ;
Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 16 Agustus 2014
Mantan
dosen Fisipol UGM, Profesor Idris Adrianata Kesuma, pernah mengatakan: If a diplomat says yes, it means maybe. If
a diplomat says maybe, it means no. A diplomat never says no (Jika seorang diplomat berkata iya, itu
berarti mungkin. Kalau ia mengatakan mungkin, itu berarti tidak. Seorang
diplomat tidak pernah mengatakan tidak).
Posisi
diplomat layaknya politisi, pernyataan tersebut sesungguhnya juga berlaku
bagi mereka yang berkecimpung dalam politik praktis. Jika dikaitkan dengan
dinamika politik di Tanah Air saat pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan
kepala daerah (pilkada), terasa sekali pernyataan tersebut relevan digunakan
untuk menelaah perilaku elite dan partai politik (parpol). Perilaku elite
dalam setiap perhelatan pilpres dan pilkada tampaknya sangat sulit
diprediksi.
Tidak
jarang mereka kemudian mengambil keputusan yang sulit dinalar publik. Salah
satu indikatornya dapat diamati dari dukungan elite dan parpol saat
pengusungan calon presiden (capres), calon gubernur (cagub), calon bupati
(cabup), dan calon wali kota. Mereka seakan tidak lagi memedulikan persoalan
platform dan ideologi partai. Perbedaan visi antarpasangan calon yang maju
dalam pilpres dan pilkada juga diabaikan.
Tengoklah
yang terjadi pada pasangan capres dan cawapres dalam pilpres lalu. Menurut
pengamatan publik, pasangan Prabowo-Hatta sejatinya memiliki perbedaan yang
sangat fundamental. Visi pembangunan ekonomi Prabowo adalah kerakyatan.
Sementara Hatta lebih dikenal figur yang pro pada ekonomi liberal. Pasangan
Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) juga memiliki perbedaan dalam
senioritas, pengalaman, dan pandangan mengenai beberapa persoalan kebangsaan.
Masih
segar dalam ingatan publik bagaimana penilaian JK terhadap Jokowi saat
didorong berbagai elemen untuk maju dalam pilpres. Dalam wawancara yang
ditayang ulang beberapa televisi jelas sekali JK mengecilkan kapasitas
Jokowi. Dengan sinis JK bahkan mengatakan negara ini bisa hancur jika
dipimpin Jokowi. Tetapi, dinamika politik bergerak dengan cepat, JK yang sebelumnya
mengkritik keras ternyata bersedia untuk berpasangan dengan Jokowi dalam
pilpres lalu.
Pertanyaannya,
apa makna di balik perubahan sikap dari elite politik tersebut? Jawabnya,
semua bergantung pada kepentingan. Jika kepentingan masing- masingelite
telahmencapai kata mufakat, perbedaan yang terjadi dapat diabaikan. Pudarnya
kepentingan ideologi dalam proses menjalin kemitraan antarelite partai
semakin menegaskan bahwa budaya kontrak politik masih didasarkan pada
kepentingan pragmatis jangka pendek.
Ada
kalanya kepentingan itu berupa sharing kekuasaan bila calon yang diusung
memenangkan pilpres dan pilkada. Juga ada dugaan bahwa kekuatan uanglah yang
memengaruhi keputusan politik dari kelompok elite. Jika faktor uang itu
benar, rakyat selayaknya bersedih. Itu karena ideologi perjuangan elite dan
partai politik telah berganti dengan uang. Budaya politik uang inilah yang
telah mengikis nilai-nilai perjuangan para politisi.
Akibat
itu, kini sangat sulit menemukan ideolog partai politik yang benar-benar
berkarakter seperti Mohammad Natsir dan Mr Mohammad Roem. Partai pengusung
pasangan calon dalam pilpres dan pilkada juga seringkali mengabaikan
pertimbangan ideologi parpol yang menjadi mitra koalisinya. Parpol yang
secara ideologis tampak berseberangan ternyata justru menjalin berkoalisi.
Rekam
jejak calon yang didukung juga diabaikan. Elite partai pendukung dan calon
yang secara kasatmata berbeda ideologis pada saatnya dapat bersinergi untuk
membangun kekuatan. Fenomena inilah yang menarik untuk diamati dari
perkembangan politik Tanah Air. Perkembangan politik yang sangat dinamis
memungkinkan seseorang yang tadinya berkawan menjadi berhadap-hadapan, begitu
juga sebaliknya.
Apalagi
budaya politik Tanah Air kini sedang berkembang pesat politik transaksional
atau politik dagang sapi. Dalam politik transaksional itulah semua perbedaan
dapat dicarikan jalan keluar. Persyaratannya, ada kepentingan yang sama dari
mitra koalisi. Salah satu doktrin dalam politik mengajarkan prinsip who gets
what, how, and when . Politik itu persoalan siapa memperoleh apa, bagaimana,
dan kapan.
Karena
itu, persoalan sharing kekuasaan menjadi variabel yang penting dalam
menjelaskan dukungan politik dari elite dan parpol. Dalam budaya politik
transaksional rasanya tidak mungkin dukungan diberikan tanpa syarat. Pasti
ada kalkulasi politik yang disepakati antarelite dan parpol memberikan
dukungan. Kalkulasi itu bisa berupa sharing kekuasaan atau imbalan dalam
bentuk uang.
Itu
berarti memang tidak ada yang gratis dalam dukungan elite dan parpol. Dalam
politik juga berlaku doktrin bahwa perbedaan pendapat itu hal biasa. Yang
tidak boleh terjadi adalah perbedaan ”pendapatan.” Faktor perbedaan
”pendapatan” itulah yang sering memicu persoalan sesama mitra koalisi. Jika
dalam ilmu matematika dikenal ada sistem seperti perkalian, penjumlahan,
pengurangan, dan pembagian, sistem pembagian itulah yang paling krusial dalam
politik.
Karena
itu, jangan bermainmain dengan sistem pembagian dalam politik. Apalagi jika
itu berkaitan dengan sharing kekuasaan dan pendapatan. Jika pembagiannya
tidak adil, akan terjadi pecah kongsi. Itulah sebabnya dunia politik selalu
diwarnai perpecahan. Politik juga selalu menghadirkan kejutan. Elite politik
dan parpol yang sebelumnya tampak berseberangan bisa saling mendekat.
Mereka
yang dulu menjadi lawan politik pada saatnya berubah menjadi mitra.
Sebaliknya, mereka yang dulu menjadi mitra berubah menjadi lawan politik. Itu
menunjukkan bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi dalam politik. Sekali
lagi, yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Selama ada kesamaan
kepentingan, kemitraan akan berjalan baik dan begitu juga sebaliknya.
Dalam
proses menjalin koalisi yang melibatkan elite dan parpol, kita mendambakan
agar kepentingan jangka panjang yang diutamakan. Kepentingan itu masa depan
bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Harus
diakui, pemilu satu-satunya mekanisme yang dibenarkan konstitusi untuk
memilih pemimpin yang terbaik. Karena itu, elite dan parpol seharusnya tidak
menggadaikan masa depan bangsa dengan kepentingan pragmatis dan jangka
pendek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar