Memerdekan
Rakyat dari Kemiskinan
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap Unika
Santo Thomas SU Medan. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security
Research (Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 16 Agustus 2014
Pekik
kemerdekaan akan kembali bergema ketika HUT Kemerdekaan RI diperingati pada
17 Agustus 2014 untuk ke-69. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana
anak bangsa ini mengisi kemerdekaan itu?
Apa
arti kemerdekaan bagi warga miskin? Dua pertanyaan ini sengaja diajukan untuk
mengisi ruang kontemplasi yang dalam bagi para pengelola negara sebagai
pengemban amanat konstitusi. Cita-cita proklamasi adalah Indonesia menjadi
bangsa merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, bila ditanyakan arti
kemerdekaan kepada petani miskin yang susah membeli pupuk bersubsidi,
kemerdekaan bagi mereka merupakan omong kosong.
Secara
formal Indonesia sudah merdeka, namun secara substansial tidak. Di usianya
yang ke-69 tahun– usia yang lebih dari cukup untuk mengisi kemerdekaan–
ketenangan dan kematangan hidup sebagai bangsa dan negara yang merdeka belum
tercapai. Hasil yang bisa dipetik dari perjalanan kemerdekaan belum
menggembirakan. Sekadar contoh, ketika sejumlahnegara didunia mengalami
krisis pangan dan berharap banyak pada produk pertanian, kita tidak segera
menangkap gejala itu guna memperbaiki sektor pertanian yang sudah lama
terpuruk di negeri ini.
Ironisnya,
sebagai bangsa agraris, sebagian warga Indonesia terpaksa mengonsumsi nasi
aking karena belum merdeka dari kemiskinan. Empat juta lebih anakanak hidup
dalam bayang-bayang gizi buruk dan busung lapar. Mereka terancam menjadi
sumber lost generation.
The Silent Tsunami
Setidaknya
100 juta orang miskin di Indonesia, versi Bank Dunia, terancam kelaparan
akibat krisis pangan global yang terjadi belakangan ini. Mereka menjadi warga
miskin setelah kenaikan harga BBM pada 2013 dan kian melambungnya harga
pangan. Kita cemas, warga yang terancam kelaparan makin banyak di negeri ini.
World Food Programme menyebutnya
sebagai the silent tsunami, petaka
yang melanda diam-diam.
Krisis
pangan global tidak lepas dari kecenderungan kenaikan harga gandum, kedelai,
beras, jagung, susu, minyak goreng, dan daging. Kendati krisis pangan baru
terasa signifikan saat ini, prosesnya sudah berlangsung lama seiring
perkembangan sistem penyediaan pangan yang berorientasi pada pasar
kapitalistik global. Ketika pangan diperlakukan seperti komoditas pada
umumnya bukan sebagai hak dasar manusia untuk hidup, orientasinya akan
berubah sesuai hukum pasar.
Bahan
pangan tertentu yang memiliki permintaan tinggi untuk dikonversi menjadi
bahan bakar nabati akan diutamakan dengan mengabaikan dampaknya terhadap
ketahanan pangan. Fenomena inilah yang terjadi saat ini. Amerika Serikat
dengan tatanan dunia baru (New World
Order) yang dikembangkan dalam bungkus perdamaian dunia berambisi untuk
menguasai pangan. Lewat dalil Henry Kissinger, ”Control oil and you control nations, control food and you control
the people ”, AS kian memantapkan eksplorasinya terhadap biofuel.
Konversi
jagung ke etanol dapat menjadi contoh untuk menyebut perwujudan ambisi polisi
dunia ini untuk terus menguasai dunia lewat monopoli pangan. Sekretaris
Jenderal PBB Ban Ki-moon telah mengingatkan, jika tidak ditangani dengan
tepat, krisis pangan dapat memicu kejatuhan pemerintah yang berkuasa.
Kombinasi
harga minyak yang mahal dengan permintaan biji-bijian untuk biofuel dan
dampak pemanasan global telah meningkatkan harga pangan. Ini telah memicu
kerusuhan berupa peningkatan ketidakstabilan sosial terutama di negara-negara
miskin dengan penduduk yang lebih dari setengah penghasilan mereka
dialokasikan untuk pangan. Sebelum pemanasan global menjadi suatu isu
penting, PBB selalu optimistis mengenai ketersediaan pangan.
Awal
2000-an FAO memprediksi untuk 30 tahun ke depan peningkatan produksi pangan,
terutama di negara-negara maju, akan lebih besar daripada pertumbuhan
penduduk dunia. Prediksi ini didasarkan pada data historis, peningkatan
produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%. Sedangkan laju
pertumbuhan penduduk hanya 1,6% per tahun. Namun, dalam beberapa tahun
belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu penting.
Banyak
kalangan yakin dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju
pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun. Di sisi lain
lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian cenderung semakin sempit.
Pandangan ini persis peringatan dalam teori Malthus yang memprediksi suatu
saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi pangan.
Kealpaan
akan peringatan Malthus dapat menyebabkan optimisme berlebihan terhadap
produksi pangan dalam negeri. Kekhawatiran ini mengingatkan kita pada
pernyataan pemerintahan SBY beberapa tahun lalu, Indonesia tidak akan
kekurangan pangan (beras) sebab bakal tercapai surplus beras hingga 10 juta
ton. Namun, di tengah optimisme surplus beras yang ternyata hanya isapan
jempol, masih banyak warga miskin perkotaan dan perdesaan mengonsumsi nasi
aking.
Baby Booming
Pemenuhan
hak atas pangan bisa terabaikan jika pemerintah lalai mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk. Program Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan
kelahiran kini mulai terabaikan seiring otonomi daerah. Akibat itu, Indonesia
mengalami ledakan jumlah penduduk atau baby booming yang diestimasikan
menjadi 250 juta jiwa pada 2015 dan 300 juta jiwa pada 2025.
Pertambahan
penduduk pemakanan nasi misalnya mencapai tiga juta jiwa lebih setiap tahun
karena laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih tinggi sekitar 1,4%.
Ini identik dengan pertambahan produksi beras nasional sekitar 420.000 ton
setiap tahun. Konsekuensinya, harus ada perluasan lahan sawah sebesar 162.500
ha, dengan produktivitas 4 ton padi/ha/tahun.
Meski
petani sudah menggunakan varietas unggul untuk meningkatkan produksi padi,
hasil yang diperoleh tidak dapat lagi dikatrol. Jelas ini masalah serius
bangsa. Ledakan jumlah penduduk akan menambah beban terhadap ketersediaan
lapangan pekerjaan, daya tampung lahan permukiman, kecukupan pangan,
pendidikan, dan kesehatan. Implikasi ledakan jumlah penduduk terhadap sektor
kesehatan tidak akan terlalu besar jika peningkatan jumlah penduduk itu
terjadi di kalangan warga menengah ke atas.
Masalahnya,
saat ini fenomena banyak anak justru muncul di kalangan masyarakat menengah
ke bawah sehingga menambah beban ekonomi keluarga yang berdampak terhadap
pemenuhan gizi bayi serta peningkatan angka pengangguran. Program
pengendalian kelahiran harus dilakukan secara serius. Dampaknya baru terasa
dalam jangka panjang, masalah kependudukan sering terabaikan.
Rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat juga turut memicu meningkatkan angka kelahiran.
Makin tinggi tingkat pendidikan, seseorang cenderung menunda usia pernikahan
dan makin sadar beratnya beban yang ditanggung jika memiliki banyak anak.
Memerdekakan warga dari kelaparan jelas membutuhkan pemimpin yang kuat dan
mampu memberikan inspirasi bagi rakyat untuk keluar dari masalah.
Negara
yang sedang mengalami persoalan besar seperti Indonesia selain memberikan
Raskin (Beras untuk Warga Miskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), warga
yang tergolong miskin dan terancam kelaparan menunggu pemberian kail
pemberdayaan ekonomi supaya bisa menangkap ikan. Jika rakyat terlalu sering
antre BLT, mereka akan terbentuk menjadi pengemis-pengemis baru.
Karena
itu, kebijakan pembangunan ekonomi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 patut
berpihak kepada petani di perdesaan yang selama ini menjadi ”korban”
kebijakan pembangunan. Pembangunan ketahanan pangan yang memerdekakan warga
dari kemiskinan dan kelaparan hanya bisa tercapai jika kepentingan petani
tidak dikorbankan.
Saatnya
inspirasi ini kita aktualisasikan sehingga gaung peringatan proklamasi kemerdekaan
yang ke-69 tidak sekadar menjadi momentum seremonial yang hampa tanpa makna.
Harus ada komitmen baru yang tulus dari pemerintah untuk memberi keadilan dan
kemakmuran kepada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar