Tempat
Kalla dalam Revolusi Jokowi
Fachry Ali ;
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi
dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
|
KOMPAS,
22 Agustus 2014
BAGAIMANA ”Revolusi Jokowi” harus digambarkan?
Pada 11 Juli 2014, saya mendapat pesan pendek dari Kak Ruqayyah
Ibrahim Na’im yang tinggal di Banda
Aceh: ”Gimana kira-kira bayangan capresnya, Dik? Aku galau nih.” Pada 17 Juli
berikutnya, pertanyaan pesan pendeknya kian menjurus: ”Adindaku! Bagaimana
Jokowiku?” Ketika saya menjawab, ”Terpilih, Kak”, ia merespons:
”Alhamdulillah. Allahu akbar!” Namun, ia kembali cemas, seperti terlihat pada
pesan pendek 19 Juli: ”Maaf adinda, seberapa pengaruh untuk JKW dengan pemilu
ulang di Jakarta hari ini?” Pada 2 Agustus lalu, saya melihat tanda miscall
darinya. Sambil mengucapkan selamat Lebaran, saya bertanya: ”Ada apa?” Dia
menjawab: ”Tidak ada masalah. Cuma resah gelisah menunggu keputusan MK.”
Fakta ini menarik karena ”kegelisahan” itu bisa dikategorikan
sebagai ”politik emosi”. Lawan dari ”politik kalkulatif”, ”politik emosi”
mengunggulkan keakraban dan rasa sepenanggungan daripada sekadar nalar dan
kepentingan pribadi atau golongan. Seperti akan diurai di bawah, efek kinerja
”politik emosi” inilah inti ”Revolusi Jokowi”.
Pemimpin pasca elite
Di tempat lain, saya menyebut Joko Widodo (Jokowi) sebagai
”pemimpin pasca elite”. Ini terjadi karena, menggunakan frasa sejarawan
Taufik Abdullah, ”kesewenangan sejarah” yang membuat Indonesia sejak awal
berada di bawah kepemimpinan kaum elite. Walau punya cita-cita ”sempurna”
tentang bagaimana rakyat Indonesia harus dipimpin dan dimakmurkan, kaum elite
”terperangkap” ke dalam dua aspek tak terhindarkan. Selain rumusan cita-cita
mereka diambil dari pengalaman negara dan masyarakat maju, watak kepemimpinan
mereka lebih dibentuk proses sosialisasi dan mobilitas vertikal di dalam
lembaga-lembaga politik dan birokrasi yang terpisah dari pengalaman
keseharian rakyat banyak.
Karena rumusan cita-cita elite itu terjemahan model negara maju,
membangun commercial foundation menjadi tak terhindarkan. Dalam bukunya, The Commercial Society (2007), Samuel
Gregg menyatakan bahwa fondasi itu adalah kebiasaan-kebiasaan, prosedur, dan
kelembagaan tertentu yang tanpa semua itu sebuah masyarakat komersial tak
mampu berkembang.
Maka, realisasi konkret cita-cita para pemimpin lapisan elite
ini pada esensinya adalah membangun commercial
foundation itu, yakni ”pemindahan” sifat dan struktur kehidupan serta
kelembagaan negara dan masyarakat maju ke Indonesia. Salah satu akibat nyata
kecenderungan ini adalah terciptanya struktur kehidupan elite-biased, yaitu pemberlakuan kebijakan, infrastruktur, dan
sarana artikulasi yang hanya cocok dan lebih menguntungkan lapisan masyarakat
atas.
Yang ”memilukan”, dampaknya berbeda antara rakyat dan elite.
Rakyat, tanpa tahu rangkaian sebab-akibat, terpukul. Melalui gabungan
depresiasi rupiah, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan energi yang
mendorong inflasi daya belinya turun. Sementara akibat suku bunga tinggi dan
pemotongan belanja negara, ekspansi usaha terhenti hanya untuk mengabadikan
pengangguran.
Bagi elite, di pihak lain, berlaku lukisan ekonom Joseph
Stiglitz. Dalam karyanya, The Price of
Inequality (2012), penerima hadiah Nobel bidang ekonomi ini melihat
sistem ekonomi Amerika Serikat telah lebih menguntungkan kalangan puncak atas
kerugian rakyat. Dan, ini terjadi di Indonesia dengan munculnya kalangan
”super kaya”. Laporan Kompas (18 Juni 2014) mendaftar kalangan ini dengan
terperinci. Mereka yang memiliki kekayaan Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun
sebanyak 344.000 orang, Rp 2,5 triliun-Rp 10 triliun sebanyak 208.000 orang,
Rp 10 triliun-Rp 50 triliun sebanyak 64 orang, dan Rp 50 triliun ke atas 13
orang. Semua ini kontras dengan pendapatan petani Rp 1 juta per bulan dan
upah minimum regional (UMR) Rp 2 juta per bulan.
Pembelahan tajam basis material ”elite-rakyat” inilah latar
belakang struktural ”Revolusi Jokowi”. Teralienasi dari proses akumulasi
material, rakyat tak bisa berharap kepada politisi dan partai-partai politik.
Sebab, pasca Orde Baru, dunia politik telah pula disesaki kekuatan modal.
Semua ini, pada akhirnya, meneguhkan kesadaran keterpisahan dunia rakyat dan
dunia elite.
Kehadiran Jokowi, dalam perspektif rakyat, adalah anti tesis
kecenderungan elite ini. Ia menjadi wahana mengembangkan laku politik baru,
”politik emosi”, yang tidak saja menolak impersonalitas, tetapi juga
mengedepankan persaudaraan dan pengorbanan. Melalui ”politik emosi” ini,
terjalin persaudaraan rakyat berdasarkan pola imagined community Benedict
Anderson, mulai dari Kak Ruqayyah di Banda Aceh bersambung hingga Goenawan
Sarosa di Solo, dan seluruh rakyat di seantero Indonesia untuk mengubah
keadaan. Maka, arti ”Revolusi Jokowi” bukan saja lahirnya ”pemimpin pasca
elite”, melainkan munculnya kesadaran rakyat bahwa mereka mampu ”memberontak”
melawan kekuatan modal, tekanan alienasi material dan impersonalitas
sosial-ekonomi dan politik produk elite, melalui prosedur demokrasi.
Akan tetapi, dukungan rakyat didasarkan ”politik emosi” ini
bukan tak berisiko. Betapa pun proses penyatuan ”rakyat-Jokowi” ini bersifat
”revolusioner” dan bersejarah, pemerintah barunya segera berhadapan dengan
apa yang disebut Huntington sebagai rising expectation, yaitu harapan rakyat
yang meningkat. Karena landasan politiknya hampir secara total bertumpu pada
dukungan aneka kelompok rakyat bawah, dalam logika Jokowi niscaya menerima
tuntutan perbaikan nasib ekonomi jauh lebih beragam dan rumit dibandingkan
dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya.
Secara teoretis, pemenuhan aneka tuntutan ini merupakan
pekerjaan berat sebab Jokowi harus melakukannya di atas setting kemapanan
sistem elite-biased. Sebuah sistem, telah disebut di atas, yang dicocokkan
dengan selera dan kemampuan artikulasi kelas menengah ke atas dan, terutama,
oligarki kapitalis ”super kaya”. Koreksi atasnya tak bisa secara tambal sulam
dan membutuhkan waktu panjang.
Secara teknikal, satu-satunya alat Jokowi memenuhi aneka
tuntutan itu adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun,
setidak-tidaknya sampai tahun pertama pemerintahannya, efektivitas APBN tidak
bisa diandalkan.
Sampai di sini timbul pertanyaan bagaimana Jokowi harus
merealisasikan nasionalisme ekonomi didasarkan kemandirian ekonomi jika
faktor utama di atas tak mampu ditangani?
”Partner teknikal”
Pada sisi inilah kita melihat tempat Jusuf Kalla, sebagai wakil
presiden terpilih, dalam ”Revolusi Jokowi”. Dalam catatan publik, sebagai
wapres di kabinet SBY (2004-2009), Kalla sangat membantu presiden dalam
kebijakan dan keputusan ekonomi.
Adalah Kalla yang jadi konseptor bantuan langsung tunai (BLT)
kepada rakyat guna menutupi ”kerugian” akibat keputusan pengurangan subsidi
BBM di awal tugasnya sebagai wapres. Juga, adalah Kalla yang mendesak
bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) membentuk dana konsorsium bagi
pembangunan jalan tol lintas Jawa di tengah-tengah suasana rendahnya fungsi
intermediasi perbankan. Bukankah kini Jokowi menekankan pentingnya
pembangunan infrastruktur? Dalam arti kata lain, jauh sebelum bergabung
dengan Jokowi, Kalla terbukti telah melaksanakan ”Jokowinomics” dengan tidak
membiarkan mekanisme pasar berlaku di wilayah-wilayah yang peran sumber daya
negara sangat dibutuhkan.
Ringkasnya, duet Jokowi-Kalla saling menguatkan. Sebagai wahana
rakyat melawan kecenderungan elitisme, Jokowi menjadi simbol penyatuan
”rakyat-pemerintah”. Akan tetapi, langkah ”revolusioner”-nya segera
berhadapan dengan sistem elite-biased di atas mana oligarki kapitalis siap
menghadang. Faktor-faktor teknikal kebijakan operasional ”Jokowinomics” yang
terhadang sistem itu berpotensi memaksa kesatuan ”rakyat-Jokowi” bubar.
Dengan latar belakang pengusaha dan pengalaman menangani
perekonomian nasional, Kalla punya kemampuan mengatasi problem teknikal
kebijakan ekonomi dan, pada saat yang sama, ”meladeni” kemungkinan intervensi
oligarki kapitalis.
Ringkasnya, mengingat umur, Kalla bukanlah ”pesaing” Jokowi lima
tahun mendatang, melainkan partner teknikal yang menjaga rel ”Revolusi
Jokowi” tetap lurus melalui saran-saran bersifat operasional kebijakan
ekonomi nasionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar