Revolusi
Kepemimpinan
Limas Sutanto ;
Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS,
22 Agustus 2014
Kemenangan Joko Widodo dalam
persaingan Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia 2014 perlu
digarisbawahi sebagai titik awal pengembangan kepemimpinan yang sama sekali
baru dalam bangsa dan negara Indonesia.
Setelah selama hampir setengah
abad bangsa dan negara berada di bawah kepemimpinan deduktif (kepemimpinan
yang berpusat pada gagasan-gagasan besar sang pemimpin), kemunculan Jokowi di
Solo, kemudian di Jakarta, dan kini kemunculannya sebagai presiden baru
Republik Indonesia secara cukup cepat (revolusioner) menandai kemunculan
kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia untuk berada di bawah kepemimpinan
baru yang sama sekali berbeda dari kepemimpinan deduktif.
Kepemimpinan baru itu adalah
kepemimpinan hermeneutika eksperiensial, kepemimpinan yang berpusat pada
tindakan mengerti atau memahami secara tepat kehendak dan kebutuhan rakyat.
Terpilihnya Jokowi
menggarisbawahi kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia akan pemimpin yang
tidak terutama melahirkan gagasan-gagasan besar dari dirinya sendiri, tetapi
pemimpin yang secara langsung mengalami hidup rakyat, berada di dalam hidup
rakyat, merasakan hidup rakyat, mendengarkan suara rakyat, dan karena itu
semua lalu menjadi mengerti rakyat dengan segala kehendak dan kebutuhannya.
Pada perspektif inteligensi
majemuk Howard Gardner (1983) dapat dikatakan bahwa inti kecerdasan yang
bekerja dalam kepemimpinan hermeneutika eksperiensial itu bukanlah kecerdasan
kata (kecerdasan linguistik) dan kecerdasan angka (kecerdasan logis
matematis), melainkan kecerdasan kemanusiaan (kecerdasan interpersonal) dan
kecerdasan batiniah diri (kecerdasan intrapersonal). Karena pemimpin
hermeneutika eksperiensial itu selalu mengambil inspirasi memimpin dari hidup
rakyat (dan dengan demikian ia selalu berada di dalam rakyat yang sehari-hari
hidup di tengah alam, flora, dan fauna Indonesia), ia juga unggul dalam
kecerdasan tubuh dan tangan (kecerdasan kinestetik ragawi) dan kecerdasan
alam-flora-fauna (kecerdasan naturalis).
Unggul cerdas
Dengan demikian, kita melihat
betapa pemimpin baru yang dikehendaki dan dibutuhkan rakyat Indonesia itu
justru adalah orang yang unggul dalam jenis-jenis kecerdasan yang selama ini
tidak mendapat nilai yang penting dalam dunia akademik formal. Jenis-jenis
kecerdasan itu memang sulit atau bahkan tidak bisa ditakar melalui
proses-proses akademik formal karena mereka melebur langsung dalam
keseluruhan pengalaman hidup sehari-hari manusia.
Bisa dikatakan, jenis-jenis
kecerdasan yang menyokong kinerja pemimpin hermeneutika eksperiensial itu
adalah jenis-jenis kecerdasan yang sangat penting untuk mewujudnyatakan hidup
yang lebih manusiawi, bahagia, adil, dan baik, bukan sekadar hidup yang lebih
kaya, melainkan eksploitatif terhadap manusia, menciptakan
kesenjangan-kesenjangan yang makin parah, dan pada ujungnya adalah merusak
hidup itu sendiri.
Kepemimpinan hermeneutika
eksperiensial tidak bertitik berat pada rasio atau kepandaian akal yang lebih
bertumpu pada kecerdasan kata (kita lihat para politisi biasanya pandai
berkata-kata, memutarbalikkan kalimat dan ungkapan, hanya untuk melayani
kepentingan diri sendiri) dan kecerdasan angka (kita lihat pemimpin deduktif
biasanya gemar menunjukkan keberhasilan dalam kepemimpinannya dengan sekadar
memamerkan angka-angka menjulang tentang pertumbuhan ekonomi yang
sesungguhnya tidak identik dengan lebih bahagia, lebih adil, dan lebih baiknya
hidup rakyat).
Justru hal yang menonjol dalam
diri pemimpin hermeneutika eksperiensial adalah ihwal kepekaan rasa (afek).
Pemimpin hermeneutika eksperiensial adalah orang yang begitu memperhatikan
pengalaman afektif (pengalaman dalam dunia rasa) manusia.
Maka, tidak bisa tidak, sang
pemimpin hermeneutika eksperiensial tampil nyata sebagai orang yang punya
perasaan terhadap orang lain, punya perasaan terhadap rakyat, justru terutama
terhadap orang lain dan rakyat yang menderita, berkekurangan, kurang berdaya,
dan karena itu, perlu dikurangi penderitaannya, dipenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, dan diberdayakan.
Menonjolnya ihwal kepekaan rasa
(afek) ini juga menandai ciri kejujuran dan kepekaan terhadap suara hati
nurani pada pemimpin dan kepemimpinan hermeneutika eksperiensial. Kepekaan
pada rasa justru membimbing pemimpin hermeneutika eksperiensial untuk tetap
memperhatikan dan mendengarkan suara hati nuraninya, memperhatikan dan
mempertimbangkan rasa bersalah yang sewaktu-waktu hadir dalam ruang batinnya,
dan dengan demikian, ia terbimbing untuk bertindak benar dalam naungan
kejujuran.
Itu semua hanya sekelumit
gambaran tentang pemimpin dan kepemimpinan hermeneutika eksperiensial.
Setelah melihat Jokowi di Solo dan di Jakarta, kita dapat meyakini, kehadiran
Jokowi sesungguhnya adalah sebuah revolusi kepemimpinan, dari kepemimpinan
deduktif yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun, hampir secara
mendadak sontak harus berubah menjadi kepemimpinan hermeneutika
eksperiensial.
Ketika Jokowi mulai jadi presiden
dan harus memilih serta menentukan pembantunya untuk bekerja, pertanyaan
penting menyeruak: bisakah orang-orang yang dipilih Jokowi untuk menjadi
pembantu-pembantunya itu mengikuti sifat inti kepemimpinan Jokowi yang
hermeneutika eksperiensial?
Menjelang Jokowi ditetapkan
secara resmi sebagai presiden RI pun sudah begitu banyak orang, termasuk
orang-orang yang dulunya adalah ”musuh” Jokowi dalam persaingan pemilihan
presiden, yang menunjukkan keinginan untuk bisa dipilih menjadi pembantu
Jokowi. Mereka lupa bahwa menjadi pembantu Jokowi berarti harus merevolusi
diri mereka sendiri sehingga dapat mengikuti sifat hermeneutika eksperiensial
dari kepemimpinan Jokowi. Merevolusi diri sendiri itu tidak gampang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar