Jumat, 22 Agustus 2014

Revolusi Kepemimpinan

                                           Revolusi Kepemimpinan

Limas Sutanto  ;   Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang
KOMPAS, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Kemenangan Joko Widodo dalam persaingan Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia 2014 perlu digarisbawahi sebagai titik awal pengembangan kepemimpinan yang sama sekali baru dalam bangsa dan negara Indonesia.

Setelah selama hampir setengah abad bangsa dan negara berada di bawah kepemimpinan deduktif (kepemimpinan yang berpusat pada gagasan-gagasan besar sang pemimpin), kemunculan Jokowi di Solo, kemudian di Jakarta, dan kini kemunculannya sebagai presiden baru Republik Indonesia secara cukup cepat (revolusioner) menandai kemunculan kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia untuk berada di bawah kepemimpinan baru yang sama sekali berbeda dari kepemimpinan deduktif.

Kepemimpinan baru itu adalah kepemimpinan hermeneutika eksperiensial, kepemimpinan yang berpusat pada tindakan mengerti atau memahami secara tepat kehendak dan kebutuhan rakyat.

Terpilihnya Jokowi menggarisbawahi kehendak dan kebutuhan rakyat Indonesia akan pemimpin yang tidak terutama melahirkan gagasan-gagasan besar dari dirinya sendiri, tetapi pemimpin yang secara langsung mengalami hidup rakyat, berada di dalam hidup rakyat, merasakan hidup rakyat, mendengarkan suara rakyat, dan karena itu semua lalu menjadi mengerti rakyat dengan segala kehendak dan kebutuhannya.

Pada perspektif inteligensi majemuk Howard Gardner (1983) dapat dikatakan bahwa inti kecerdasan yang bekerja dalam kepemimpinan hermeneutika eksperiensial itu bukanlah kecerdasan kata (kecerdasan linguistik) dan kecerdasan angka (kecerdasan logis matematis), melainkan kecerdasan kemanusiaan (kecerdasan interpersonal) dan kecerdasan batiniah diri (kecerdasan intrapersonal). Karena pemimpin hermeneutika eksperiensial itu selalu mengambil inspirasi memimpin dari hidup rakyat (dan dengan demikian ia selalu berada di dalam rakyat yang sehari-hari hidup di tengah alam, flora, dan fauna Indonesia), ia juga unggul dalam kecerdasan tubuh dan tangan (kecerdasan kinestetik ragawi) dan kecerdasan alam-flora-fauna (kecerdasan naturalis).

Unggul cerdas

Dengan demikian, kita melihat betapa pemimpin baru yang dikehendaki dan dibutuhkan rakyat Indonesia itu justru adalah orang yang unggul dalam jenis-jenis kecerdasan yang selama ini tidak mendapat nilai yang penting dalam dunia akademik formal. Jenis-jenis kecerdasan itu memang sulit atau bahkan tidak bisa ditakar melalui proses-proses akademik formal karena mereka melebur langsung dalam keseluruhan pengalaman hidup sehari-hari manusia.

Bisa dikatakan, jenis-jenis kecerdasan yang menyokong kinerja pemimpin hermeneutika eksperiensial itu adalah jenis-jenis kecerdasan yang sangat penting untuk mewujudnyatakan hidup yang lebih manusiawi, bahagia, adil, dan baik, bukan sekadar hidup yang lebih kaya, melainkan eksploitatif terhadap manusia, menciptakan kesenjangan-kesenjangan yang makin parah, dan pada ujungnya adalah merusak hidup itu sendiri.

Kepemimpinan hermeneutika eksperiensial tidak bertitik berat pada rasio atau kepandaian akal yang lebih bertumpu pada kecerdasan kata (kita lihat para politisi biasanya pandai berkata-kata, memutarbalikkan kalimat dan ungkapan, hanya untuk melayani kepentingan diri sendiri) dan kecerdasan angka (kita lihat pemimpin deduktif biasanya gemar menunjukkan keberhasilan dalam kepemimpinannya dengan sekadar memamerkan angka-angka menjulang tentang pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya tidak identik dengan lebih bahagia, lebih adil, dan lebih baiknya hidup rakyat).

Justru hal yang menonjol dalam diri pemimpin hermeneutika eksperiensial adalah ihwal kepekaan rasa (afek). Pemimpin hermeneutika eksperiensial adalah orang yang begitu memperhatikan pengalaman afektif (pengalaman dalam dunia rasa) manusia.

Maka, tidak bisa tidak, sang pemimpin hermeneutika eksperiensial tampil nyata sebagai orang yang punya perasaan terhadap orang lain, punya perasaan terhadap rakyat, justru terutama terhadap orang lain dan rakyat yang menderita, berkekurangan, kurang berdaya, dan karena itu, perlu dikurangi penderitaannya, dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan diberdayakan.

Menonjolnya ihwal kepekaan rasa (afek) ini juga menandai ciri kejujuran dan kepekaan terhadap suara hati nurani pada pemimpin dan kepemimpinan hermeneutika eksperiensial. Kepekaan pada rasa justru membimbing pemimpin hermeneutika eksperiensial untuk tetap memperhatikan dan mendengarkan suara hati nuraninya, memperhatikan dan mempertimbangkan rasa bersalah yang sewaktu-waktu hadir dalam ruang batinnya, dan dengan demikian, ia terbimbing untuk bertindak benar dalam naungan kejujuran.

Itu semua hanya sekelumit gambaran tentang pemimpin dan kepemimpinan hermeneutika eksperiensial. Setelah melihat Jokowi di Solo dan di Jakarta, kita dapat meyakini, kehadiran Jokowi sesungguhnya adalah sebuah revolusi kepemimpinan, dari kepemimpinan deduktif yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun, hampir secara mendadak sontak harus berubah menjadi kepemimpinan hermeneutika eksperiensial.

Ketika Jokowi mulai jadi presiden dan harus memilih serta menentukan pembantunya untuk bekerja, pertanyaan penting menyeruak: bisakah orang-orang yang dipilih Jokowi untuk menjadi pembantu-pembantunya itu mengikuti sifat inti kepemimpinan Jokowi yang hermeneutika eksperiensial?

Menjelang Jokowi ditetapkan secara resmi sebagai presiden RI pun sudah begitu banyak orang, termasuk orang-orang yang dulunya adalah ”musuh” Jokowi dalam persaingan pemilihan presiden, yang menunjukkan keinginan untuk bisa dipilih menjadi pembantu Jokowi. Mereka lupa bahwa menjadi pembantu Jokowi berarti harus merevolusi diri mereka sendiri sehingga dapat mengikuti sifat hermeneutika eksperiensial dari kepemimpinan Jokowi. Merevolusi diri sendiri itu tidak gampang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar