Selasa, 26 Agustus 2014

Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru

Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru

Gun Gun Heryanto  ;   Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta,
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)
KORAN SINDO, 25 Agustus 2014
                                                


PERHELATAN pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai dengan beragam cerita yang mengiringinya. Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya.

Pemilu secara umum berjalan damai dan tiap pihak menghormati hukum, peraturan, etika, dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar negeri.

Tantangan Global
Presiden terpilih lima tahun ke depan akan dihadapkan pada kompleksitas persolan di segala lini. Karena itu, butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya politik berupa dukungan, dan public trust sebagai modal sosial.

Salah satu tantangan faktual di era baru ini adalah pengelolaan komunikasi pemerintahan dalam optimalisasi peran di dalam negeri, kawasan maupun dunia internasional.

Ada sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan pemerintah memiliki visi komunikasi yang jelas, terarah, dan adaptif dengan konteks perubahan yang terjadi.

Tantangan geopolitik terutama kompetisi di kawasan ASEAN dan dunia. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi mencakup lokasi, luas, serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijakan.

Kondisi geografi suatu negara tentu sangat memengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara bersangkutan seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, hubungan perdagangan. Jika kita identifikasi ada sejumlah tantangan nyata di depan mata.

Pertama, tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pemberlakuan action dari Masyarakat Ekonomi ASEAN ini bertujuan memenuhi target MDGs (MilenniumDevelopmentGoals). Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara sehat di berbagai bidang.

Dengan konsep area ASEAN sebagai pasar tunggal, pembebasan bea tarif masuk antarnegara dan kerja sama saling menguntungkan mengharuskan Pemerintah Indonesia mengoptimalkan strategi komunikasi di kawasan.

Indonesia harus meyakinkan pihak lain sebagai engine of growth bagi ekonomi kawasan dan dunia. Strategi komunikasi digunakan untuk promosi ekspor, membangun global brand, standardisasi internasional, penetrasi pasar baru di luar negeri, serta mengelola citra dan reputasi produk lokal kita kompetitif dalam persaingan global.

Kedua, di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini pun Indonesia belum tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah.

Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis bahwa keberadaan Indonesia hanya menjadi kanal kepentingan Amerika untuk merayu India dan China. Tentu stigma negatif ini harus diubah dengan mengoptimalkan peran di G-20 untuk kemajuan Indonesia.

Ketiga, tantangan zona perang informasi global yang bersifat asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Misalnya di pengujung 2013, SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia.

Ironis memang karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pasti memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013), menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global.

Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff.

Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Belum lagi tantangan perang cyber.

Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional.

Metode seperti ini misalnya yang dipilih Wikileaks yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Beberapa informasi yang dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia.

Prioritas Pemerintah

Tata kelola komunikasi nasional juga harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Komunikasi sangat vital sehingga perlu ditempatkan pada posisi yang strategis. Pemerintah baru harus mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi dan menjaga modal sosial berbentuk public trust.

Sejumlah tindakan komunikasi bisa dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan akses informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah, komunikasi strategis terkait isu kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan respons cepat pemerintah.

Pemerintah harus memiliki blue print yang jelas mengenai pengelolaan opini publik, public relations politik, marketing komunikasi, komunikasi sosial, komunikasi internasional, komunikasi antarbudaya dll. Oleh karena begitu penting dan strategisnya komunikasi bagi pemerintahan baru diperlukan kebijakan dan tata kelola komunikasi yang optimal.

Presiden SBY telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2014 yang ditandatanganinya pada 20 Januari 2014 mengenai pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas).

Detiknas adalah lembaga koordinasi eksekutif yang dibentuk dan diketuai Presiden Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 20 Tahun 2006. Detiknas memiliki visi untuk mempercepat pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia secara efisien dengan membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi program-program TIK di seluruh kementerian/lembaga.

Sayangnya, peran dewan ini antara ada dan tiada! Ke depan, menurut saya, harus ada tata kelola yang lebih fokus pada sinkronisasi komunikasi nasional dan internasional. Mampu merumuskan kebijakan umum, arahan strategis, koordinasi sistemik guna menyelesaikan persoalan komunikasi pemerintahan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar