Selasa, 26 Agustus 2014

Gagal Bayar Argentina dan Kejahatan Kerah Putih (1)

Gagal Bayar Argentina dan Kejahatan Kerah Putih (1)

Frassminggi Kamasa  ;   Mahasiswa S-2 Hubungan Internasional di Victoria University of Wellington, Selandia Baru
SINAR HARAPAN, 25 Agustus 2014
                                                


Praktik jahat kreditor internasional kembali mencuat dalam sengketa utang-piutang antara pemerintah Argentina dengan pengelola dana (hedge fund) NML Capital Ltd dan Aurelius Capital Management Ltd. Akhir Juli 2014, Argentina menolak membayar bunga utang dan sanksi sepihak dari para kreditor itu sebesar US$ 1,5 miliar.

Kreditor membeli obligasi-obligasi pemerintah Argentina dengan harga diskon dari para investor, yang panik setelah default (gagal bayar utang) Argentina pada 2001. Kemudian mereka menuntut Argentina mendapatkan 100 persen atas nilai obligasi itu.

NML Capital membeli obligasi itu pada 2008 dengan harga US$ 48 juta. Berkat putusan hakim distrik New York pada 2012, Argentina diwajibkan membayar kepada NML Capital sebesar US$ 832 juta, profit lebih dari 1.600 persen!

Sengketa itu bermula pada 2001 saat Argentina mengalami default US$ 102 miliar, terbesar sepanjang sejarah, serta menolak membayar semua utang luar negeri karena sarat korupsi dan intervensi Dana Moneter Internasional (IMF).

Pada 2005 dan 2010 Argentina bersedia membayar utangnya lewat restrukturisasi utang. Sebanyak 97 persen kreditor sepakat dengan restrukturisasi itu dengan diskonto utang rata-rata 75 persen. Namun, ada 3 persen kreditor yang menolak, termasuk NML Capital. Meski demikian, Argentina tetap berkeras dengan restrukturisasi tersebut.

Murni Kesalahan Argentina?

Putusan hakim federal pengadilan New York, Thomas Griesa, pada 2014 melarang Argentina melakukan pembayaran senilai US$ 539 juta untuk cicilan bunga utang US$ 29 miliar bagi para pemegang obligasi yang telah menyetujui restrukturisasi piutangnya. Griesa mengancam, setiap perusahaan Amerika Serikat (AS) yang bersedia menerima bayaran bunga utang dari Argentina dianggap menghina pengadilan.

Padahal, Argentina juga membayar cicilan bunga dan pinjaman utang selain utang US$ 29 miliar itu tanpa masalah. Karena itu, Bank of New York Mellon, wali amanat obligasi yang diterbitkan Argentina, tidak berani mendistribusikan dana US$ 539 juta yang ditransfer Argentina pada 30 Juli 2014 untuk cicilan bunga utang itu.

Griesa berdalih, Argentina harus lebih dulu memenuhi tuntutan NML Capital. Seperti orkestrasi, lembaga pemeringkat AS, Standard & Poor’s, juga Fitch langsung menyatakan Argentina dalam status default, sebagai isyarat pailit, pada 30 Juli 2014, batas akhir pembayaran bunga utang.

Setelah diumumkan default, pemerintah Argentina mengumumkan mereka adalah korban pemerasan dari “kreditor pemangsa”. Argentina juga protes atas putusan hakim Griesa yang dianggap mencederai kedaulatan Argentina untuk merestrukturisasi utang-utangnya pada 2005 dan 2010.

Argentina mempunyai alasan untuk itu. Pada 2014, Argentina masih mempunyai cadangan devisa US$ 29 miliar. Sebagian besar kreditor internasional telah setuju atas restrukturisasi utang Argentina. Pemerintah Argentina tidak ingin tunduk terhadap praktik jahat kreditor internasional yang mengandalkan dukungan penuh dari pengadilan dan pers AS.

Kekuatan Kreditor Internasional

Kasus Argentina menyoroti pergeseran strategis atas nama para kreditor. Lazimnya, negara-negara dan perusahaan-perusahaannya memberlakukan sanksi dan melarang masuk negara-negara yang terjerat utang dalam pasar modal internasional. Saat ini, para kreditor menggunakan celah peradilan dan hukum untuk mengeruk keuntungan lebih besar.

Menurut John Pottow (2014), perusahaan pengelola dana, seperti NML Capital, menggunakan mekanisme litigasi perdata untuk menagih obligasi pemerintah yang macet. Miliarder Peter Singer menikmati hidup nyaman dengan mengejar piutangnya di seluruh dunia dari Peru ke Kongo.

Elliott Management, induk NML Capital, mendapatkan profit di pasar modal setiap tahunnya rata-rata 14 persen. Argentina hanyalah mangsa terbaru dalam daftarnya.

Kasus default Argentina mempunyai dua implikasi yang saling terkait. Pertama, perusahaan pengelola dana yang dimiliki segelintir orang kaya, seperti NML Capital, mempunyai hak hukum yang sama dengan sebuah negara yang dihuni ratusan ribu hingga jutaan orang.

Kedua, kasus default Argentina juga memperlihatkan ketidakmungkinan suatu negara-bangsa untuk merestrukturisasi utangnya. Konsekuensinya, kedaulatan suatu negara-bangsa terancam.

Setiap orang dan perusahaan dapat dinyatakan pailit, tetapi negara-bangsa tidak dapat dipailitkan. Dari implikasi itu, dapat diperdebatkan apakah penegakkan hukum internasional telah gagal dan justru bertindak demi kepentingan kreditor yang jahat, licik, dan suka memeras.

Kebijakan Kirchnerismo memang jauh dari sempurna, tetapi tidak dapat disalahkan dalam gagal bayar kali ini. Terputus dari pasar keuangan dan obligasi internasional selama 12 tahun, saat ini pemerintah Argentina berupaya membiayai program-program sosial dan investasi negara dengan menggunakan dana pensiun dan mencetak lebih banyak peso.

Akibatnya, Argentina tidak pernah mampu mengatasi inflasi. Perkiraan resmi menyatakan pendapatan riil Argentina telah turun 6 persen pada 2014.

Namun, para pakar ekonomi memperkirakan, Argentina sesungguhnya mengalami inflasi 40 persen. Akibatnya, default Argentina kali ini dapat memiskinkan jutaan warga Argentina. Oleh karena itu, sistem keuangan dan hukum internasional yang disfungsional patut mendapatkan sorotan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar