Gagal
Bayar Argentina dan Kejahatan Kerah Putih (1)
Frassminggi Kamasa ; Mahasiswa S-2 Hubungan
Internasional di Victoria University of Wellington, Selandia Baru
|
SINAR
HARAPAN, 25 Agustus 2014
Praktik
jahat kreditor internasional kembali mencuat dalam sengketa utang-piutang
antara pemerintah Argentina dengan pengelola dana (hedge fund) NML Capital Ltd
dan Aurelius Capital Management Ltd.
Akhir Juli 2014, Argentina menolak membayar bunga utang dan sanksi sepihak
dari para kreditor itu sebesar US$ 1,5 miliar.
Kreditor
membeli obligasi-obligasi pemerintah Argentina dengan harga diskon dari para
investor, yang panik setelah default (gagal bayar utang) Argentina pada 2001.
Kemudian mereka menuntut Argentina mendapatkan 100 persen atas nilai obligasi
itu.
NML
Capital membeli obligasi itu pada 2008 dengan harga US$ 48 juta. Berkat
putusan hakim distrik New York pada 2012, Argentina diwajibkan membayar
kepada NML Capital sebesar US$ 832 juta, profit lebih dari 1.600 persen!
Sengketa
itu bermula pada 2001 saat Argentina mengalami default US$ 102 miliar,
terbesar sepanjang sejarah, serta menolak membayar semua utang luar negeri
karena sarat korupsi dan intervensi Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada
2005 dan 2010 Argentina bersedia membayar utangnya lewat restrukturisasi
utang. Sebanyak 97 persen kreditor sepakat dengan restrukturisasi itu dengan
diskonto utang rata-rata 75 persen. Namun, ada 3 persen kreditor yang
menolak, termasuk NML Capital. Meski demikian, Argentina tetap berkeras
dengan restrukturisasi tersebut.
Murni Kesalahan
Argentina?
Putusan
hakim federal pengadilan New York, Thomas Griesa, pada 2014 melarang
Argentina melakukan pembayaran senilai US$ 539 juta untuk cicilan bunga utang
US$ 29 miliar bagi para pemegang obligasi yang telah menyetujui
restrukturisasi piutangnya. Griesa mengancam, setiap perusahaan Amerika
Serikat (AS) yang bersedia menerima bayaran bunga utang dari Argentina
dianggap menghina pengadilan.
Padahal,
Argentina juga membayar cicilan bunga dan pinjaman utang selain utang US$ 29
miliar itu tanpa masalah. Karena itu, Bank of New York Mellon, wali amanat
obligasi yang diterbitkan Argentina, tidak berani mendistribusikan dana US$
539 juta yang ditransfer Argentina pada 30 Juli 2014 untuk cicilan bunga
utang itu.
Griesa
berdalih, Argentina harus lebih dulu memenuhi tuntutan NML Capital. Seperti
orkestrasi, lembaga pemeringkat AS, Standard & Poor’s, juga Fitch
langsung menyatakan Argentina dalam status default, sebagai isyarat pailit,
pada 30 Juli 2014, batas akhir pembayaran bunga utang.
Setelah
diumumkan default, pemerintah Argentina mengumumkan mereka adalah korban
pemerasan dari “kreditor pemangsa”. Argentina juga protes atas putusan hakim
Griesa yang dianggap mencederai kedaulatan Argentina untuk merestrukturisasi
utang-utangnya pada 2005 dan 2010.
Argentina
mempunyai alasan untuk itu. Pada 2014, Argentina masih mempunyai cadangan
devisa US$ 29 miliar. Sebagian besar kreditor internasional telah setuju atas
restrukturisasi utang Argentina. Pemerintah Argentina tidak ingin tunduk
terhadap praktik jahat kreditor internasional yang mengandalkan dukungan
penuh dari pengadilan dan pers AS.
Kekuatan Kreditor
Internasional
Kasus
Argentina menyoroti pergeseran strategis atas nama para kreditor. Lazimnya,
negara-negara dan perusahaan-perusahaannya memberlakukan sanksi dan melarang
masuk negara-negara yang terjerat utang dalam pasar modal internasional. Saat
ini, para kreditor menggunakan celah peradilan dan hukum untuk mengeruk
keuntungan lebih besar.
Menurut
John Pottow (2014), perusahaan pengelola dana, seperti NML Capital,
menggunakan mekanisme litigasi perdata untuk menagih obligasi pemerintah yang
macet. Miliarder Peter Singer menikmati hidup nyaman dengan mengejar
piutangnya di seluruh dunia dari Peru ke Kongo.
Elliott Management, induk NML Capital, mendapatkan profit di
pasar modal setiap tahunnya rata-rata 14 persen. Argentina hanyalah mangsa
terbaru dalam daftarnya.
Kasus
default Argentina mempunyai dua
implikasi yang saling terkait. Pertama, perusahaan pengelola dana yang
dimiliki segelintir orang kaya, seperti NML Capital, mempunyai hak hukum yang
sama dengan sebuah negara yang dihuni ratusan ribu hingga jutaan orang.
Kedua,
kasus default Argentina juga
memperlihatkan ketidakmungkinan suatu negara-bangsa untuk merestrukturisasi
utangnya. Konsekuensinya, kedaulatan suatu negara-bangsa terancam.
Setiap
orang dan perusahaan dapat dinyatakan pailit, tetapi negara-bangsa tidak
dapat dipailitkan. Dari implikasi itu, dapat diperdebatkan apakah penegakkan
hukum internasional telah gagal dan justru bertindak demi kepentingan
kreditor yang jahat, licik, dan suka memeras.
Kebijakan
Kirchnerismo memang jauh dari sempurna, tetapi tidak dapat disalahkan dalam
gagal bayar kali ini. Terputus dari pasar keuangan dan obligasi internasional
selama 12 tahun, saat ini pemerintah Argentina berupaya membiayai
program-program sosial dan investasi negara dengan menggunakan dana pensiun
dan mencetak lebih banyak peso.
Akibatnya,
Argentina tidak pernah mampu mengatasi inflasi. Perkiraan resmi menyatakan
pendapatan riil Argentina telah turun 6 persen pada 2014.
Namun,
para pakar ekonomi memperkirakan, Argentina sesungguhnya mengalami inflasi 40
persen. Akibatnya, default
Argentina kali ini dapat memiskinkan jutaan warga Argentina. Oleh karena itu,
sistem keuangan dan hukum internasional yang disfungsional patut mendapatkan
sorotan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar