Tantangan
Sektor Agraria
Idham Arsyad ;
Anggota Dewan Pakar KPA; Ketua Gerakan Desa Bangkit
|
KOMPAS,
19 Agustus 2014
Salah satu warisan pemerintahan lama yang bakal dihadapi pemerintahan
baru adalah masalah agraria yang akut, kronis, dan bersifat struktural. Jika
tidak menjadi prioritas penanganan di awal pemerintahan, akan menjadi
penghambat (bottleneck) dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika pun
terjadi pertumbuhan ekonomi, dipastikan tanpa pemerataan.
Persoalan pokok agraria di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi
tiga. Pertama, masalah mendasar berkaitan dengan pemilikan dan penguasaan
rakyat atas tanah yang sangat timpang serta akses rakyat atas kekayaan alam
yang sangat terbatas. Akumulasi dan monopoli atas sumber-sumber agraria oleh
sekelompok kecil orang di Republik ini bukan isapan jempol belaka.
Lebih dari 70 persen aset nasional produktif yang sebagian besar
berupa tanah hanya dikuasai 0,02 persen penduduk (Winoto, 2007). Dari 13,5 juta hektar lahan perkebunan sawit, 65
persen dikuasai perusahaan perkebunan, termasuk perusahaan negara (Sawit Watch, 2013). Di kehutanan,
terdapat 531 izin pengelolaan hutan dengan luas lahan mencapai 35,8 juta
hektar untuk perusahaan kehutanan. Untuk hutan kemasyarakatan, hutan desa,
dan hutan rakyat hanya ada 57 izin dengan penguasaan lahan 0,32 juta hektar
(Sirait, 2014).
Tak kalah memprihatinkan, distribusi penguasaan lahan di tingkat
petani. Badan Pusat Statistik
mencatat, sampai 2013 petani gurem mendominasi rumah tangga petani. Dari 26
juta petani pengguna lahan, sekitar 14,45 juta (55,33 persen) petani gurem.
Jika dikaitkan data Badan Pertanahan Nasional terkait rasio gini pengusahaan
lahan yang mencapai 0,54, distribusi penguasaan lahan ini patut dirisaukan.
Kedua, masalah lanjutan dari ketimpangan di atas adalah
kemiskinan masyarakat pedesaan yang semakin tinggi. Kemiskinan petani ini
adalah akibat dari kombinasi sempitnya penguasaan lahan dan kurangnya
perhatian pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur pertanian,
pendidikan, akses pasar, dan perbankan bagi petani. Masalah lanjutan lainnya adalah konflik agraria
yang terus merebak di hampir seluruh pelosok Nusantara.
Sampai di ujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono,
konflik agraria tak pernah sunyi diberitakan media. Data KPA menyebutkan,
tahun 2013 telah terjadi 369 konflik agraria yang melibatkan 139.874 keluarga
dengan luas lahan yang dikonflikkan 1.281.660.09 hektar. Konflik ini
mengakibatkan 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang mengalami
penganiayaan, dan 239 orang ditahan.
Ketiga, kuatnya ego sektoral setiap lembaga/kementerian yang
mengurusi masalah agraria. Ego sektoral ini merupakan cermin dari kebijakan
politik hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak sinkron.
Kajian BPN menyebutkan, terdapat 21 undang-undang, 49 peraturan
presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, 496
peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi Menteri Negara/Kepala BPN
terkait masalah agraria yang tumpang tindih. Masalah klasik ini pada dasarnya
telah menjadi mandat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk segera diselesaikan. Namun, sampai kini
belum ada penyelesaiannya.
Butuh komitmen politik
Beragam persoalan di atas menunjukkan, masalah agraria bukanlah
persoalan teknis belaka, melainkan persoalan struktural yang akarnya pada
ketimpangan sosial. Jadi, modal terpenting untuk menyelesaikannya adalah
komitmen politik yang kuat dari presiden terpilih.
Jika Jokowi-JK hendak becermin bagaimana pemerintah menempatkan
persoalan agraria, Soekarno-Hatta adalah cermin yang tepat. Bung Karno
berkata ”Melaksanakan land reform
berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960).
Demikian juga Bung Hatta berkata ”Baik
buruknya penghidupan rakyat bergantung pada situasi hak milik tanah. Tanah
tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas atau memeras
kehidupan orang banyak” (Ekonomi
Indonesia di Masa Depan, 1946).
Dalam visi misi Jokowi-JK, masalah agraria masuk dalam salah
satu agenda strategis. Jadi, hal prioritas yang segera dipersiapkan
pemerintahan Jokowi-JK di masa transisi ini adalah pertama, mengevaluasi
kelembagaan yang mengurus masalah tanah dan sumber daya alam. Yang
berlangsung saat ini, BPN tenggelam dalam pusaran ego sektoralisme
pengelolaan SDA. Jadi, ketimpangan dan konflik agraria tak tertangani baik.
Masalah agraria hendaknya diurus lembaga setingkat kementerian negara.
Kedua, janji Jokowi-JK membagikan tanah seluas 9 juta hektar dan
meningkatkan kepemilikan lahan petani gurem hendaknya diletakkan dalam
kerangka program reforma agraria. Reforma agraria berarti bukan sekadar
bagi-bagi tanah, tetapi di dalamnya ada perombakan penguasaan dan pemilikan
tanah. Jokowi-JK jangan mengulang kesalahan pemerintahan sebelumnya yang
hanya memprioritaskan sertifikasi dan legalisasi tanah.
Ketiga, perlu membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria yang
bekerja secara ad hoc dengan tugas
merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan reforma agraria,
mengoordinasikan kementerian terkait, menyelesaikan konflik agraria, serta
melaksanakan penataan pemilikan dan penguasaan tanah, termasuk 9 juta hektar
yang dijanjikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar