Mitigasi
Kebijakan Mineral
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and
Finance
|
KOMPAS,
19 Agustus 2014
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Peraturan ini kelanjutan dari UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Kebijakan itu dimaksudkan untuk mendorong peningkatan nilai
tambah mineral di Indonesia karena selama ini bahan mentah tersebut dijual
tanpa diolah sehingga menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, mengganggu
upaya penguatan industri pengolahan di dalam negeri sehingga nilai tambah
ekonomi menjadi kecil. Kedua, memberi amunisi ekonomi bagi negara lain untuk
mengembangkan komoditas olahan. Ketiga, dalam jangka panjang menjadi faktor
penekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Peraturan ini tentu sudah tepat, tetapi pemerintah juga perlu
menyiapkan bantalan kebijakan untuk meminimalkan dampak, seperti perlambatan
ekonomi yang dirasakan sekarang.
Kerangka kebijakan
Salah satu contoh kebijakan ekspor bahan mentah yang dapat
menjadi amunisi bagi negara lain adalah ketergantungan sektor industri
Malaysia dari batubara Indonesia. Sekurangnya 60 persen kebutuhan batubara
untuk menopang sektor industri Malaysia didatangkan dari Indonesia (Indef, 2012).
Demikian halnya dengan kasus Uni Eropa. Akses terhadap bahan
mentah mineral (mineral raw materials)
merupakan keniscayaan untuk memompa perekonomian Uni Eropa. Bahan mentah
mineral itu dipakai untuk mendukung sektor konstruksi, kimia, otomotif,
dirgantara, mesin dan peralatan, dan lain sebagainya. Tak kurang nilai tambah
yang dihasilkan dari sektor-sektor tersebut, sekitar 1.300 miliar euro dan
menyerap 30 juta tenaga kerja (Tiess,
2010). Dalam banyak jenis bahan mentah mineral, Uni Eropa sangat
tergantung impor dari negara lain (Asia dan Afrika).
Dengan struktur ekonomi seperti itu, bisa dibayangkan dampak
yang akan terjadi apabila pasokan bahan baku ditutup sehingga mengakibatkan
nilai tambah ekonomi punah dan lapangan kerja di sana mengerut.
Tentu saja kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah tidak
dirancang untuk menghancurkan negara lain, tetapi harus dipahami sebagai
ikhtiar mendayagunakan sumber daya domestik untuk memperkuat ekonomi
nasional, baik dalam hal peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja,
keterkaitan dengan kebijakan ekonomi lain, maupun kelestarian lingkungan.
Pada titik ini, kerangka kebijakan mineral (minerals policy framework) harus sungguh-sungguh diformulasikan
demi mencapai tujuan itu. Kebijakan mineral ini diharapkan bisa memperkuat
akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi, harmonisasi dengan kebijakan
nasional yang lebih luas, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan
penyiapan aturan hukum. Di luar itu, kebijakan ini seyogian ya juga menyertakan peta jalan penguatan
kebijakan pertambangan, seperti yang telah dijalankan di Afrika Selatan,
Kanada, India, Malaysia, Pakistan, Rusia, dan negara-negara lain (Marinescu et al, 2013).
Oleh karena itu, kebijakan pelarangan ekspor bahan mineral itu
harus dilengkapi dengan kebijakan penataan strategi penguatan ekonomi secara
keseluruhan. Seperti kasus di Uni Eropa, pemerintah perlu memikirkan
bagaimana menempatkan bahan mineral sebagai pengungkit sektor ekonomi yang
belakangan kedodoran, khususnya pertanian dan industri. Di sektor pertanian,
misalnya, bagaimana mengintegrasikan kebijakan mineral dengan upaya mendukung
tujuan kenaikan produksi, seperti pestisida dan pupuk. Demikian halnya dengan
sektor industri, khususnya yang selama ini mengandalkan bahan baku impor,
perlu dipetakan secara detail subsektor apa saja yang akan dikembangkan
dengan mengandalkan bahan baku mineral tersebut. Pola pikir ini membutuhkan
cara kerja yang runtut dan utuh sehingga terlihat sistematikanya. Jika
kebijakan industri (industrial policy)
tidak tersambung dengan kebijakan larangan ekspor mineral tadi, efek terhadap
kemajuan ekonomi tidak bisa dirasakan.
Perlambatan ekonomi
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah kecenderungan
pemerintah mengabaikan dampak atas kebijakan sehingga luput mencarikan
pelampungnya. Pemerintah biasanya cuma fokus mengawal implementasi kebijakan
yang diproduksi, tetapi alpa memikirkan efek (negatif) yang bakal terjadi.
Misalnya, pada saat pemerintah menginisiasi produksi mobil murah hemat energi
(low cost green car/LCGC) yang
tidak menggunakan minyak subsidi, banyak pihak yang telah mengingatkan
prosedur dan mekanisme pengawasannya. Setelah kebijakan berjalan beberapa
waktu, Menteri Keuangan baru kaget terjadi peningkatan konsumsi minyak
subsidi, yang antara lain disumbang oleh konsumsi mobil murah itu. Model
seperti ini selalu direplikasi dan seakan menjadi tradisi tiap kebijakan
dikeluarkan. Tampaknya, pola ini juga akan berulang pada kasus pembatasan
ekspor komoditas minerba sehingga mitigasi atas dampak kebijakan itu perlu
dikenali dan dicarikan jalur solusinya.
Terkait dengan perlambatan sektor ekonomi tertentu dan penurunan
pertumbuhan ekonomi di daerah yang tergantung dari aktivitas tambang, skema
stimulus fiskal dan nonfiskal bisa dibangun oleh pemerintah. Harus diakui
kontribusi ekonomi yang berasal dari bahan minerba memang cukup besar
sehingga pembatasan ekspor itu memengaruhi potensi ekspor nasional dalam
jangka pendek. Stimulus fiskal diberikan kepada industri atau perusahaan yang
hendak mempercepat produksi barang olahan, misalnya penurunan pajak impor
untuk teknologi yang digunakan memproduksi komoditas olahan tersebut.
Sementara substitusi ekspor juga mesti lekas dipikirkan agar tekanan terhadap
pertumbuhan tidak makin keras. Insentif nonfiskal dalam wujud investigasi
kebutuhan barang ekspor di pasar internasional, promosi yang gencar di pasar
non-tradisional, pendalaman pengetahuan terhadap pekerja usaha kecil, dan
pendampingan proses ekspor merupakan langkah yang perlu lebih diintensifkan
lagi.
Bagaimana dengan perlambatan kegiatan ekonomi di daerah yang
bertumpu kepada aktivitas tambang? Ada tiga mekanisme yang dapat dijalankan
pemerintah. Pertama, selama ini terdapat instrumen dana alokasi umum dan
khusus (DAU dan DAK) yang dialokasikan kepada daerah. Daerah yang terkena
dampak langsung atas kebijakan itu bisa diberi tambahan anggaran lewat
instrumen tersebut sebagai substitusi perlambatan ekonomi. Kedua, pembangunan
infrastruktur yang menjadi program utama pemerintah mendatang diprioritaskan
kepada daerah yang terkena dampak atas kebijakan itu. Infrastruktur diarahkan
untuk aktivitas yang berpotensi mempercepat terciptanya industri pengolahan
tambang. Ketiga, menyiapkan kluster ekonomi baru di daerah agar tidak
terkonsentrasi di Jawa. Selama ini Indonesia hanya memiliki sedikit kluster
industri sehingga dalam 5 tahun ke depan bisa diinisiasi sepuluh kluster
industri baru di luar Pulau Jawa.
Jaring pengaman
Kebijakan di atas seharusnya dapat dikerjakan pemerintah karena
lebih banyak menyangkut komitmen pendanaan meskipun untuk pembuatan kluster
industri baru butuh upaya yang lebih keras. Di luar itu, terdapat mitigasi
soal lain yang lebih rumit. Sekurang-kurangnya dua problem mikro perlu
dipikirkan secara serius. Pertama, antisipasi terhadap perusahaan skala kecil
yang menutup usaha karena tidak mampu membangun smelter, baik karena
kebutuhan modal yang besar maupun skala ekonomi yang tak terpenuhi. Pemilik
usaha mungkin cukup gampang mencari kegiatan ekonomi pengganti karena masih mempunyai
modal dari profit yang diperoleh selama ini (atau jaringan ekonomi yang
dimiliki), namun bagi tenaga kerja yang terkena PHK tentu masalahnya lebih
rumit. Pemerintah daerah perlu mengidentifikasi jumlah dan kualifikasi
pekerja tersebut untuk disesuaikan dengan pengembangan aktivitas ekonomi atau
program baru sehingga akses pekerjaan diperoleh kembali.
Kedua, jaring pengaman (safety
net) bagi pelaku ekonomi yang selama ini menumpang dari kegiatan ekonomi
tambang. Model aktivitas ekonomi di Indonesia cukup khas, seperti layaknya di
negara berkembang lainnya. Setiap ada kegiatan ekonomi formal, pasti
dikelilingi aktivitas ekonomi informal dalam jumlah yang lebih besar,
misalnya warung, jasa (pemondokan, katering, cuci baju, dan lain-lain), serta
transportasi (ojek). Oleh karena itu, tidak heran apabila jumlah pekerja
informal di Indonesia sangat besar, mencapai sekitar 59 persen dari total
tenaga kerja. Bisa diprediksi, ketika satu atau beberapa kegiatan ekonomi
formal (perusahaan) berhenti, terdapat sekian banyak aktivitas ekonomi
informal yang turut terkapar. Jaring pengaman dapat dibuat dalam dua desain
besar, yaitu memberikan bantuan modal/keterampilan untuk mengembangkan usaha
di tempat lain atau menyediakan tempat usaha yang dekat dengan pusat ekonomi
formal.
Usaha informal (skala mikro dan kecil) ini harus benar-benar
menjadi perhatian pemerintah (pusat dan daerah) karena selama ini mereka
menjadi penyangga perekonomian, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja.
Pelaku ekonomi yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak memiliki kepastian
usaha (karena tidak ada jaminan legal), pekerjanya tidak dilindungi (misalnya
asuransi kesehatan dan pesangon), dan umumnya memperoleh upah yang sangat
kecil. Dengan demikian, ketika usaha formal yang menjadi tumpuan ekonomi
mati, harapan hidup mereka ikut pupus. Seluruh energi dan pemihakan
pemerintah mesti dikerahkan untuk memastikan tanggul hidup mereka tidak
jebol, antara lain, lewat cara-cara seperti yang telah disampaikan di muka.
Jika rangkaian mitigasi makro dan mikro tersebut dijalankan pemerintah dengan
solid, dampak atas kebijakan itu dapat dieliminasi sepenuhnya. Jika
pemerintah sekarang tak punya waktu lagi, semoga pemerintahan mendatang bisa
mengambil alih beban ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar