Susila
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 10 Agustus 2014
Banyak orang Jawa bernama Susilo (termasuk nama Presiden kita,
SBY), yang jika dibahasaindonesiakan menjadi ”susila”, yang artinya sopan
santun.
Dengan demikian, hal-hal yang terkait dengan kesopanan dan
kesantunan disebut kesusilaan. Dalam bahasa filsafatnya disebut: etika.
Etika, logika, dan estetika, adalah tiga hal yang dibahas dalamfilsafat.
Etika adalah tentang kesopanan, logika adalah tentang kebenaran, dan estetika
adalah tentang keindahan. Yang ideal adalah jika kita bisa mencapai ketiganya
sekaligus: benar, indah, dan santun.
Tetapi nyatanya tidak bisa selalu begitu. Lukisan Picasso yang
menurut penggemarnya sangat indah, sehingga harganya bukan alang kepalang
mahalnya, menabrak logika sejadi-jadinya, karena mata bisa terletak di kaki
dan kuping terbang melayang entah ke mana. Begitu juga seni wayang orang yang
penuh keindahan seni tari, seni musik, seni drama, seni busana, dan seni rupa
banyak mengandung hal yang tidak logis, misalnya mau berperang kok menyanyi
dulu. Film India juga begitu, mau bercinta selalu menyanyi dan menari dulu,
berkejaran dan bersembunyi di balik pohon atau tiang bendera.
Tentu saja ketahuan. Tidak logis, bukan? Tetapi yang tidak logis
itulah yang digemari orang. Begitu juga dengan etika. Dalam pertemuan, rapat,
atau kuliah, yang datang duluan tidak mau duduk paling depan. Saf yang di
belakang dulu diisi, sehingga ketika acara akan dimulai deretan paling depan
kosong. Kalau MC (master of ceremony)
atau dosen meminta hadirin mengisi saf-saf paling depan, barulah dengan enggan
hadirin beringsut, itu pun hanya satu atau dua baris ke depan, sehingga saf
paling depan tetap kosong. Dihubungkan dengan logika, maka kesimpulannya
”Jaka Sembung” alias gak nyambung .
Walaupun Jaka Sembung orang Indonesia sangat memperhatikan etika.
Dalam upacara pernikahan adat Batak, misalnya, ada acara di mana semua
anggota keluarga kedua mempelai, satu per satu memberi nasihat kepada
pengantin. Waktu untuk tiap penyambut tidak dibatasi, sehingga jika banyak
anggota keluarga yang menyambut acara pun bisa berlangsung berjam-jam.
Buang-buang waktu, kata logika. Tetapi kalau ada satu saja anggota keluarga
yang terlewatkan, tidak tertutup kemungkinan perkawinan batal dilaksanakan.
Dalam bahasa Jawa, ada tiga sampai empat tingkatan bahasa, dari
yang paling rendah (ngoko) yang
digunakan antarteman atau oleh orang yang lebih tinggi martabatnya kepada
yang lebih rendah (misalnya orang tua pada anak), lebih tinggi (kromo madyo) yang digunakan oleh yang
lebih rendah kepada yang lebih tinggi (anak kepada orang tua), lebih tinggi
lagi (kromo), yaitu dari bawahan
kepada atasan atau bangsawan, sampai tertinggi (kromo inggil) yang biasa diucapkan oleh masyarakat atau bangsawan
biasa kepada sultan. Jadi, untuk satu kata dalam bahasa Indonesia, misalnya:
kepala, bisa ada empat kata padanannya dalam bahasa Jawa, yaitu (urut dari
yang tertinggi sampai ke yang terendah): mustoko, sirah, endas, dan gundul.
Jadi sebetulnya lebih sulit belajar bahasa Jawa daripada belajar
bahasa Inggris hanya karena ada satu kata untuk kepala: head. Setiap masyarakat atau suku bangsa punya tata susila atau
etika sendiri-sendiri. Bahkan etika satu masyarakat bisa berganti-ganti dari
masa ke masa. Dulu kalau bapak-bapak atau ibu-ibu saling bertemu palingpaling
hanya bersalaman, atau kalau cara Sunda: munjungan.
Tetapi kemudian di zaman Bung Karno kebiasaannya kalau bapak-bapak elite
bertemu ibu-ibu elite saling cipika-cipiki . Di zaman Soeharto tidak ada lagi
cipika-cipiki antarjenis kelamin, tetapi Bu Tien Soeharto mulai membiasakan
cipikacipiki di antara ibu-ibu.
Di zaman Habibie mulai ada cipika-cipiki
di antara bapak-bapak, dan saya lihat Jokowi punya kebiasaan menjedutkan
kepala kepada lawan bersalamannya yang sesama laki-laki (kebiasaan seperti
ini saya lihat sudah ada di lingkungan perwira tinggi Polri sejak lama).
Jangan heran kalau nantinya masyarakat pun saling menjedutkan kepala sebagai
pengganti cipika-cipiki. Itulah
susila yang bukan SBY. Di sisi lain, kita lihat sekarang kesusilaan banyak
dilanggar. Logika lebih penting. Daripada etika dalam berlalu lintas,
misalnya, bukan hanya kesopanan berlalu lintas, tetapi undang-undang pun
dilanggar.
Jalanan macet total karena sepeda motor menyemut, melawan arus.
Kalau ada pengendara lain yang menegur, yang melanggar itu justru lebih galak
marahnya, seakanakan hanya dia yang benar dan orang lain salah. Sikap mau
benar sendiri inilah yang merupakan akar kisruhnya tatanan masyarakat kita.
Apalagi kalau ”kebenaran” itu tidak perlu diuji lagi, melainkan bisa dibeli.
Buktinya, kebenaran yang harusnya dijaga baik-baik oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan undang-undang bisa jebol juga. Kalau ketua MK ketika itu, Akil
Mochtar, mempunyai etika yang tinggi, kasusnya tidak akan terjadi, dan citra
MK masih selamat sampai hari ini.
Sayangnya, etika ini tidak mendapat perhatian cukup dalam proses
pendidikan sejak anak usia dini sampai remaja, baik di sekolah maupun di
rumah. Pendidikan etika tidak sama dengan pendidikan budi pekerti atau
pelajaran agama, yang hanya berupa pengetahuan dan hafalan. Pendidikan etika
adalah pendidikan untuk bisa menghayati mana yang baik dan mana yang tidak
baik (bukan mana yang benar, mana yang salah).
Penghayatan akan etika hanya bisa dilakukan melalui latihan
perilaku yang berulang-ulang, dengan contoh konkret dari orang tua, guru,
atau pendidik yang lain. Kebiasaan berbahasa Jawa berjenjang, jika diajarkan
secara konsisten sejak kecil, mau tidak mau akan mendorong orang untuk
berbahasa sesuai tata krama yang tepat, sampai anak itu dewasa.
Tetapi ketika pendidikan sekarang lebih mengutamakan matematika
daripada etika, jangan heran kalau ulama dan profesor korupsi, bahkan anak
tega membunuh orang tua sendiri gara-gara tidak dikasih duit buat beli
narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar